Mewaspadai Kebijakan
JKN KRIS
Tulus Abadi :
Ketua Pengurus Harian YLKI, dan Pemerhati
Kesehatan Publik
SINDONEWS, 23
Juli
2022
Kementerian
Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tampak ngotot ingin
memberlakukan kebijakan KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) untuk program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) atau disebut JKN non kelas. Selain karena alasan
mandat dari UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN);
secara sosiologis JKN KRIS dianggap sebagai kebijakan yang membumi, bahkan
egaliter. Sebab
pelayanan rawat inap di rumah sakit (RS), secara historis kultural merupakan
warisan kolonial. Ada semacam “kastanisasi” yakni kelas satu untuk warga
kulit putih, kelas dua untuk kulit berwarna, dan kelas tiga untukinlander,
pribumi. Namun, di sisi
lain, upaya mewujudkan kebijakan JKN KRIS justru bisa melahirkan
ketidakadilan baru, baik dari sisi ekonomi dan atau sosial. Dari aspek
normatif pun definisi JKN KRIS masih terbuka ruang untuk diperdebatkan. Berikut ini
beberapa catatan kritis terkait wacana kebijakan JKN KRIS, yang diberlakukan
pada awal Juli 2022 ini. Pertama, sejatinya dalam ranah terminologi, belum
jelas benar apa yang disebut dengan kelas standar itu. Apalagi jika dikaitkan
dengan faktor empirik kebutuhan konsumen, yang sangat mendesak adalah
standardisasi pelayanan, bukan kelas standar. Hingga kini
belum ada standardisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN.
Oleh karena itu, yang sangat dibutuhkan konsumen rumah sakit, adalah
standardisasi pelayanan. Sedangkan JKN KRIS, praktis tak punya landasan
filosofis dan sosiologis yang jelas dan konkrit. Kedua,
ironisnya, program JKN ini justru menjadi beban baru bagi konsumen. Dengan
program JKN KRIS, peserta kelas tiga akan mengalami kenaikan tarif/iuran, di
luar iuran reguler. Dan untuk peserta kelas satu, akan mengalami penurunan
kelas, yakni menjadi kelas standar (kelas dua). Sementara iuran yang
dibayarkan tetap yakni sebagai kategori kelas satu. Kerugian lain,
jika peserta kelas satu tidak mau dengan pelayanan kelas standar yang ada,
maka konsumen akan ditolak rumah sakit, dan diminta untuk memilih rumah sakit
lain. Rumah sakit lain yang dimaksud bisa rumah sakit swasta yang tidak bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan, yang notabene cenderung lebih mahal. Jadi,
program JKN KRIS berpotensi merugikan peserta JKN. Adapun bagi
pihak rumah sakit, program JKN KRIS juga akan menciptakan masalah baru,
bahkan menciptakan bom waktu. Misalnya,pertama, pihak rumah sakit harus
merogoh kocek tambahan (investasi baru) untuk menata ulang infrastruktur
rumah sakit, baik itu ruangan dan alat-alat kesehatan. Kedua, akan
menggerus pendapatan rumah sakit itu sendiri. Sebagai contoh, fenomena ini
yang dialami oleh RSUD Kota Tangerang, yang sudah lama menerapkan kelas non
standar. Menurut penuturan managemen RSUD Kota Tangerang pada penulis (Mei
2022), bahwarevenueyang diperoleh dari pelayanan non kelas hanyalah 38% saja.
Sedangkan sisanya, 62%, khususnya untuk gaji tenaga kesehatan dan karyawan
lainnya, ditanggung penuh oleh APBD Kota Tangerang. Soal minimnya
pendapatan RSUD Kota Tangerang tersebut tidak menjadi masalah, karena hal
tersebut sudah menjadi komitmen Pemerintah Kota Tangerang, yang sudah
dikuatkan pula via peraturan daerah. Artinya risiko finansialnya sudah
diketahui dan diantisipasi, plus telah disiapkan alokasi biaya yang cukup
untuk menomboki kekurangan biaya operasional RSUD tersebut. Beda cerita
apabila fenomena ini terjadi pada semua rumah sakit yang menerapkan program
JKN non kelas, lalu siapa yang akan menanggung selisih dan kekurangannya? Bahkan program
JKN KRIS akan berbuntut panjang, yakni akan menciptakan clustering baru rumah
sakit, yakni cluster rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan
klaster rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (RS
swasta). Tragisnya,
cluster RS berbasis JKN dianggap “RS kelas bawah”, dan di sisi lain cluster
RS non JKN dicitrakan sebagai RS dengan pelayanan yang lebih andal. Jadi program
JKN KRIS justru akan melahirkan feodalisme baru dalam pelayanan rumah sakit.
Apalagi, konon program JKN KRIS merupakan “janji politik” anggota komisioner
DJSN pada pihak RS swasta dan asuransi komersial, bahwa masih ada 40% stok
tempat tidur di RS yang bisa digarap oleh asuransi komersial. Jika benar
demikian, program JKN KRIS ini merupakan kebijakan “tukar guling” antara DJSN
dengan asuransi komersial? Inilah yang harus dikulik secara mendalam. Dengan kata
lain, jika kebijakan JKN KRIS terwujud, sangat boleh jadi ini merupakan upaya
sistematis untuk menenggelamkan program JKN. Alias menenggelamkan BPJS
Kesehatan, yang sejatinya kian eksis dengan performa pelayanan dan
finansialnya. Jadi klaim
bahwa program JKN KRIS untuk menyelamatkan sisi finansial BPJS Kesehatan,
menjadi tidak relevan. Sebab, sejak 1,5 tahun terakhir, aspek finansial BPJS
Kesehatan sudah mengalami surplus. Bahkan, Dirut
BPSJ Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menjamin hingga 2024 tidak akan ada
kenaikan tarif/iuran bagi peserta program JKN. Lumayan ciamik bukan? Dengan
demikian, maka tidak ada alasan yang cukup absah bagi Kemenkes dan DJSN untuk
memberlakukan kebijakan program JKN KRIS tersebut. Sebab endingnya program
JKN KRIS justru berpotensi merugikan banyak pihak: merugikan konsumen, BPJS
Kesehatan, bahkan dalam titik tertentu akan mengerdilkan program JKN itu
sendiri. Maka, Kemenkes
dan DJSN sebaiknya tidak perlu memaksakan program JKN KRIS. Oleh karenanya,
wacana kebijakan JKN KRIS seharusnya ditelaah terlebih dahulu demi
kepentingan konsumen sebagai peserta JKN. Jangan sampai di kemudian hari
menimbulkan berbagai anomali dan persoalan baru yang lebih complicated. Bagi konsumen, yang
sangat mendesak adalah standardisasi pelayanan, bukan kelas standar. ● Sumber
: https://nasional.sindonews.com/read/834733/18/mewaspadai-kebijakan-jkn-kris-1658560025?showpage=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar