Kominfo Atur PSE Lingkup Privat,
Bagaimana Kebebasan Berekspresi? Irma Garnesia : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 22 Juli 2022
Seminggu
terakhir, wacana mengenai sanksi pemblokiran bagi Penyelenggara Sistem
Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang tidak mendaftar ke sistem pendataan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ramai dibicarakan. Pasalnya,
platform-platform besar yang banyak digunakan masyarakat seperti Whatsapp, Facebook,
hingga Netflix termasuk ke dalam PSE ini. Lebih jauh, peraturan Kominfo ini
juga ditakutkan pengamat bakal mengancam kebebasan berekspresi dan hak atas
privasi pengguna. Pada 22 Juni
lalu, Kominfo mengumumkan batas waktu pendaftaran PSE lingkup privat ke
sistem kementerian jatuh pada 20 Juli 2022. Dalam siaran pers lanjutan dari
kementerian tersebut tertanggal 19 Juli 2022, disebut bahwa kewajiban
pendaftaran itu berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020
(Permenkominfo No. 5/2020), yang menyebut bahwa setiap PSE Lingkup Privat
baik domestik maupun asing wajib mendaftar sebelum melakukan kegiatan usaha
di Indonesia. Pendaftaran
bisa dilakukan secara dalam jaringan online melalui Sistem Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik Berbasis Risiko, atau Online Single Submission
Risk Base Approach (OSS RBA) Kominfo. Jika tidak
mendaftar, sanksi dilakukan secara bertahap, mulai dari teguran tertulis,
denda administratif, hingga pemutusan akses atau pemblokiran. Selain
peraturan tersebut, peraturan terkait hal ini adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 5 Tahun 2020. Namun, apakah
sebetulnya PSE? Menurut Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, Penyelenggara Sistem
Elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan
masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem
elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem
elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Dengan
melakukan post-audit melalui OSS, Kementerian Kominfo menegaskan hal itu
merupakan upaya melindungi masyarakat sebagai konsumen. Direktur Jenderal Aplikasi
Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan meyakini
masyarakat tentu ingin menggunakan PSE yang terdaftar pada otoritas terkait
yang lebih menjamin perlindungan konsumen. “Kealpaan
dalam melakukan pendaftaran baik PSE yang lokal maupun internasional akan
dilakukan pemblokiran atau peringatan keras," katanya pada siaran pers
tertanggal 27 Juni 2022. Kominfo juga
mencatat bahwa per 19 Juli 2022, sebanyak 6.690 PSE domestik dan 127 PSE
asing telah mendaftarkan diri. Sejumlah nama besar PSE asing tampak di situ,
seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, Netflix, dan PUBG Mobile Jumlah ini
meningkat drastis dari 22 Juni, ketika baru 4.540 PSE, yang tediri dari 4.472
PSE domestik dan 68 PSE Asing lingkup privat, yang telah melakukan pendaftaran,
menukil dari siaran pers Kominfo. Menuai Kritik Regulasi baru
ini mendapat banyak kritik, salah satunya Perkumpulan Pembela Kebebasan
Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) bersama Koalisi Advokasi Permenkominfo
No. 5 Tahun 2020. Setidaknya ada
tiga hal yang diprotes oleh kelompok ini. Pertama, pemberitahuan masa
berakhirnya pendaftaran PSE Privat yang baru diumumkan satu bulan sebelumnya,
menurut SAFEnet dan Koalisi Advokasi, merupakan tindakan yang terburu-buru.
Apalagi informasi tentang waktu mulainya pendaftaran PSE Privat melalui
sistem OSS tidak jelas berlaku sejak kapan. Kemudian,
keduanya menilai aturan mengenai pendaftaran ini dilakukan meskipun
pemerintah belum melakukan perbaikan pada sejumlah permasalahan yang
menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta meningkatkan risiko
kriminalisasi pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Ketiga,
menurut SAFEnet dan Koalisi Advokasi, hingga kini keterlibatan publik dalam
pengembangan kebijakan atau pembentukan hukum peraturan perundang-undangan
terkait belum cukup, meskipun produk hukum Permenkominfo ini bagian dari
wewenang pilar eksekutif. SAFEnet juga
membahas hal-hal yang berpotensi melanggar HAM dalam Permenkominfo baru ini,
diantaranya terkait penerapan tata kelola dan moderasi informasi dan/atau
dokumen elektronik. Misalnya, pada
Pasal 9 ayat (3) dan (4) di Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, tercantum bahwa
PSE wajib memastikan agar pemilik platform tidak mencantum
informasi-informasi yang sifatnya “dilarang”, maupun memfasilitasi pertukaran
data-data yang sifatnya “dilarang”. Lebih jauh
lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat “dilarang” merupakan data yang
digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan
meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. SAFEnet
berpendapat bahwa pendefinisian “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu
ketertiban umum” sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda
yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik
yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap pihak berwenang. Kemudian, pada
Pasal 14 di regulasi yang sama, terkait permohonan untuk pemutusan akses juga
dianggap problematik. Pasal ini memberikan kewenangan bagi kementerian atau
lembaga, aparat penegak hukum; dan/atau lembaga peradilan untuk melakukan
pemutusan akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
dilarang. Selain itu
juga pada pasal 14 ayat (3), tertulis bahwa pemutusan akses dapat dilakukan
dengan “mendesak” apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan
konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Menurut
SAFEnet, bila dibaca bersamaan dengan pasal 9, pemberlakuan pelarangan untuk
data yang bersifat “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”
dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk
membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai. Pasal lain
yang dianggap berpotensi bermasalah adalah pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020
terkait permohonan akses data, informasi, dan/atau percakapan pribadi. Poin
ini memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE
lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data
pribadi. Hal ini
dianggap sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum,
terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan
isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua. Tirto juga
menghubungi Konsultan Keamanan Digital Teguh Aprianto untuk meminta pendapat
beliau mengenai Permenkominfo ini. Beliau pun
mengizinkan Tirto untuk mengutip cuitannya di Twitter pada 17 Juli lalu yang
menjelaskan bahaya ketika platform seperti Twitter, Google, dan Meta
(termasuk di dalamnya Facebook, Instagram, dan WhatsApp) mendaftar ke sistem
baru ini. Menurut Teguh, jika platform-platform ini mendaftar ke sistem
pemerintah, mereka akan melanggar kebijakan privasi yang telah mereka buat sendiri. Seperti
SAFEnet, Teguh juga mengkritik pasal-pasal seperti Pasal 9 ayat (3) dan (4)
dan juga pasal 14 ayat (3). Selanjutnya,
pegiat Periksadata.com ini juga menunjuk Pasal 36 yang membuat PSE Lingkup
Privat memberi akses terhadap data lalu lintas (traffic data) dan informasi
Pengguna Sistem Elektronik (Subscriber Information) yang diminta oleh aparat
penegak hukum. Dengan begini, menurut Teguh, penegak hukum bisa meminta
konten komunikasi dan data pribadi pengguna pada PSE. “Apa
jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau
menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah?” ucap Teguh. Berlawanan
dari sudut pandang ini, Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons
Tanujaya menyampaikan beberapa manfaat dari pendaftaran PSE ini, seperti
dikutip dari Katadata. Menurutnya, hal ini membuat posisi pemerintah lebih
kuat. Menurutnya,
dengan kewajiban pendaftaran PSE, berarti ada kontrol dari pemerintah
terhadap aplikasi yang bisa merugikan masyarakat. Tindakan pun bisa dilekukan
lebih cepat, tanpa harus tergantung dari pengelola layanan seperti Play Store
atau Apps Store. “Seharusnya
ini memang sudah dijalankan oleh pemerintah sejak lama. Meskipun terlambat,
setidaknya hal ini sudah dijalankan dan harapannya diawasi dan diamati dengan
saksama,” ujar dia seperti dilansir dari Katadata (18/7/2022). Alfons juga
membandingkan kontrol pada PSE ini dengan General Data Protection Regulation
(GDPR) yang berlaku di Uni Eropa. “Di Uni Eropa,
PSE sangat takut dan taat kepada mereka. Ini karena penegakan aturan yang
tegas, tidak pandang bulu, konsisten, profesional, didukung oleh semua negara
Uni Eropa dan menjadi tolok ukur bagi dunia," katanya. Beberapa
manfaat lain yang disampaikan Alfons mengenai regulasi PSE di antaranya adalah
kementerian akan memiliki sistem yang lebih sistematis dan terkoordinasi
untuk seluruh PSE yang ada di Indonesia. Lalu, PSE juga
bisa diajak bekerja sama untuk menjaga kesehatan ruang digital Indonesia.
Dalam hal ini seperti edukasi literasi digital dan bagaimana menggunakan
internet dengan positif. Terakhir, ada
pula manfaat pemutakhiran sistem regulasi. Melalui data dan informasi yang
diberikan platform digital, Kominfo bisa memastikan apakah mereka sudah
menaati persyaratan yang ditentukan regulasi, termasuk soal perlindungan data
pribadi. Namun, poin
terakhir ini tentunya masih diperdebatkan. Apakah aplikasinya tidak akan
mengganggu kebebasan berekspresi dan mengorbankan privasi pengguna? Blokir Sejak 2010 Antara tanggal
20 dan 21 Juli 2022, diketahui bahwa platform besar seperti Twitter, Google,
dan Meta (termasuk di dalamnya Facebook, Instagram, dan WhatsApp) telah
mendaftar ke sistem baru OSS RBA. Sehingga tidak terjadi pemutusan akses pada
platform-platform besar tersebut. Kemudian, per
21 Juli pukul 18:57, terdapat 8.127 PSE domestik dan 207 PSE asing yang
terdaftar. Namun
sebetulnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa Kominfo telah melakukan
langkah pemblokiran pada beberapa platform sejak 2010 melalui langkah
Internet Positif atau Trust Positif, yang memblokir akses pada website yang
dianggap mengandung konten tidak layak atau ilegal. Beberapa nama besar yang
pernah diblokir oleh Kominfo di antaranya adalah Vimeo, DNS untuk Tenor.com,
Telegram, dan juga Tumblr. Dalam
klarifikasinya Kominfo berdalih bahwa pemblokiran dilakukan karena adanya
aduan dari masyarakat terkait konten bermuatan negatif dan mengandung unsur
pornografi di Vimeo dan juga Tenor—platform penyedia GIF di aplikasi
WhatsApp. Sementara, pemutusan akses terhadap Telegram dilakukan karena
banyak ditemukan propaganda negatif dan radikalisme. Kominfo
menyediakan layanan aduankonten.id untuk memfasilitasi setiap orang
menyampaikan pengaduan konten negatif. Situs ini sendiri dipantau oleh Tim
Aduan Konten. Menurut
Laporan Tahunan Kominfo tahun 2020, telah ada 130,2 ribu konten negatif pada
situs yang ditangani oleh Kementerian ini dari Januari hingga Desember 2020.
Secara rinci, konten yang paling banyak diblokir adalah perjudian (72,2 ribu
konten), pornografi (46,1 ribu konten), dan penipuan (3400 ribu konten). Selain itu,
juga ada 183,4 ribu konten negatif yang ditangani dari media sosial. Paling
banyak dari Twitter (165,6 ribu konten). Selain tiga
kategori di atas, kategori lain yang juga ditapis adalah HKI, Konten Negatif
yang Direkomendasikan Sektor, Pelanggaran Keamanan Informasi, Berita
Bohong/Hoaks, Terorisme/ Radikalisme, SARA dan Perdagangan Produk dengan
Aturan Khusus. Hanya saja,
ada satu hal yang menarik dari pemaparan penanganan situs bermuatan negatif
ini, yakni adanya target jumlah situs yang ditangani pada 2020, yaitu
sebanyak 50 ribu situs. Sementara itu, realisasi pada 2020 adalah 313,6 ribu
situs. Penargetan penanganan ini tentu menimbulkan tanda tanya. Target ini
tidak ditemukan pada Laporan Tahunan Kominfo Tahun 2018 dan 2019. Saat ini,
regulasi terhadap PSE lingkup privat telah berlaku. Kemudian, meski platform
besar telah mendaftarkan diri, pasal-pasal bermasalah yang terdapat pada
Permenkominfo ini mesti diperhatikan. ● |
Sumber
: https://tirto.id/kominfo-atur-pse-lingkup-privat-bagaimana-kebebasan-berekspresi-guk5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar