Makna
Lawatan Biden ke Timur Tengah Smith
Alhadar : Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies
(ISMES) |
MEDIA INDONESIA 21 Juli 2022
UNTUK
pertama kalinya sejak menduduki Gedung Putih pada awal 2021, Presiden AS Joe
Biden melakukan lawatan ke Timur Tengah. Lawatan empat hari ini (13-16 Juli)
tak lepas dari masalah politik dalam negeri yang tidak menguntungkan Biden
menjelang pemilu sela (midterm election) pada awal November. Lawatan ke Timur
Tengah dipandang akan memberikan insentif politik yang dapat mengembalikan
populeritasnya di dalam negeri yang belakangan merosot akibat kenaikan harga
gasolin di dalam negeri dan meroketnya inflasi. Perang
Ukraina Tampaknya
NATO pimpinan AS telah salah perhitungan terkait krisis Ukraina. Mulanya, NATO
mengira Presiden Rusia Vladimir Putin tak akan menginvasi Ukraina mengingat
NATO telah mengeluarkan ancaman keras apabila hal itu dilakukan. Kalaupun hal
itu dilakukan, Rusia akan mengalami kekalahan tragis yang akan mengerdilkan
Rusia karena NATO akan membantu persenjataan Ukraina sambil melemahkan
kemampuan perang Rusia melalui embargo minyak dan gas yang menjadi sumber
pendapatan utama Rusia. Faktanya,
skenario itu tidak jalan. Putin tetap menginvasi tetangganya itu dan
menjelang lima bulan perang ini, kemampuan perang Rusia tetap terjaga karena
Tiongkok dan India tetap memborong energi Rusia dalam jumlah besar. Memang
Rusia juga mengalami inflasi yang relatif tinggi, tetapi tidak mengalami
kehancuran ekonomi sebagaimana diprediksi NATO. Yang
terjadi sebaliknya. Pengurangan secara drastis impor energi Eropa dari Rusia
justru menciptakan krisis ekonomi di ‘Benua Biru’, baik negara anggota NATO
maupun non-NATO. Juga mulai terjadi perpecahan politik di antara
negara-negara Eropa. Alhasil, perang Ukraina lebih memukul ekonomi Eropa
ketimbang Rusia. Di
AS, kenaikan harga barang, terutama krisis gasoline, telah memicu inflasi
hingga lebih dari 9%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Biden telah membujuk
perusahaan-perusahaan energi AS agar mengurangi margin keuntungan mereka
dengan menurunkan harga gasolin. Namun, tidak berhasil. Sementara itu,
popularitas Biden merosot tajam. Dalam jajak pendapat terbaru, dirilis pada
11 Juli lalu oleh Siena College-New York Times, ditemukan keseluruhan rating
approval Biden berada di level 33% yang menunjukkan sebagian pemilihnya dalam
Pilpres 2020 telah meninggalkannya. Ini
akan berdampak pada midterm election pada 8 November mendatang. Midterm
election, yang dilakukan pertengahan masa jabatan presiden, bisa dikata
merupakan referendum terhadap kinerja pemerintahan AS dalam dua tahun
terakhir. Realitas ini telah menimbulkan pesimisme di kalangan Demokrat,
partainya Biden, akan masa depan politik presiden sehingga hanya 26%
pendukung Demokrat yang menginginkan ia dicalonkan kembali dalam Pilpres
2024. Isu
nuklir Iran Sementara
itu, lobi Yahudi, Israel, beberapa negara Arab Teluk, dan para hawkish
anti-Iran di AS mengadakan resistansi terhadap upaya Biden memulihkan
kesepakatan nuklir Iran yang dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi
Komprehensif Bersama (JCPOA). JCPOA yang ditandatangani pada 2015 antara Iran
di satu pihak dan lima anggota tetap DK PBB plus Jerman (P5+1) di pihak lain
mengharuskan Iran membatasi program nuklirnya hanya untuk keperluan sipil.
Sebagai imbalan, ‘Negara Mullah’ itu diizinkan mengekspor minyak dan gasnya
ke pasar global. Namun,
pada 2018, Presiden AS Donald Trump mundur dari JCPOA yang diikuti tekanan
maksimum untuk memaksa Teheran bersedia merundingkan kembali kesepakatan itu
dengan menambahkan klausul yang melarang Iran menghentikan program rudal
balistiknya dan menarik diri dari Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman yang mana
terdapat milisi-milisi bersenjata Syiah bentukan Iran. Sekutu AS di Timur
Tengah--Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab--menyambut gembira kebijakan
Trump. Namun,
bukannya tunduk, Iran malah ikut melanggar JCPOA dengan meningkatkan
pengayaan uranium hingga 60% sehingga hanya dibutuhkan langkah kecil untuk
membuat bom atom dengan meningkatkan pengayaan uranium hingga 90%. Lebih jauh,
Iran melakukan destabilisasi Teluk Persia, sumber utama energi dunia, dengan
menyerang tanker-tanker internasional dan instalasi minyak Saudi. Tentu
perangai Iran itu mengganggu kepentingan sekutu AS di kawasan bahkan
mengganggu kepentingan AS sendiri saat pemerintahan Biden mengalihkan
fokusnya ke Indo-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok yang makin agresif dan
asertif di kawasan vital itu. Desakan Israel agar AS mengambil jalan militer
dengan menyerang situs-situs dianggap tidak realistis dan berbahaya. AS tidak
siap untuk perang baru menghadapi Iran yang sangat mahal dan dampak keamanan
di kawasan. Maka
itu, jalan diplomasi dianggap solusi terbaik. Perundingan pemulihan JCPOA
antara Iran di satu pihak dan P5+1 di pihak lain telah berlangsung sejak April
tahun lalu di Wina, Swiss. Banyak kemajuan dicapai. Namun, belum juga dicapai
kesepakatan final karena Iran menuntut AS mengeluarkan pasukan elite Quds,
bagian dari Korps Garda Revolusi Islam, dari daftar teroris. Biden enggan
melakukannya karena resistansi dari Israel, sekutu Arab, dan politisi hawkish
di AS. Untuk
menyenangkan sekutu Israel dan Arab serta menekan Iran, Biden berulang kali
menyatakan bahaya Iran ketika berada di Israel maupun di Saudi. Di Israel,
Biden dan PM Israel Yair Lapid malah menandatangani kesepakatan dengan tujuan
militer menyerang situs nuklir Iran bila jalan diplomasi menyelesaikan isu
nuklir Iran mengalami jalan buntu. Ketika menghadiri KTT di Jedah, Saudi,
yang menghadirkan pemimpin enam Negara Teluk plus Mesir, Yordania, dan Irak,
Biden menekankan bahwa AS tidak akan meninggalkan Timur Tengah dan
berkomitmen menjaga keamanan sekutunya dari bahaya ancaman Iran, Rusia,
ataupun Tiongkok. Kemenangan
MBS Masalah
politik domestik akibat perang Ukraina memaksa Biden mematahkan janjinya
mengisolasi penguasa de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin
Salman (MBS), terkait dengan pembunuhan wartawan senior Saudi Jamal Khashoggi
di Konsulat Saudi di Istanbul, pada Oktober 2018. Badan Intelejien AS
menyatakan MBS otak pembunuhan itu. MBS mengatakan sama sekali tidak
memerintahkan tindakan keji itu. Sebelum
melawat ke Timur Tengah, Biden memang tak pernah berkomunikasi dengan MBS
kecuali Raja Salman bin Abdulaziz. Selain komitmen pemerintahannya bagi
penegakan HAM di seluruh dunia, Biden juga menghindari para pengkritik
aktivis HAM di dalam negeri terkait MBS. Namun, akhirnya berlaku pameo ‘tidak
ada musuh abadi, yang abadi ialah kepentingan’. Biden akhirnya harus bertemu
dan menjabat tangan MBS. Terkait
dampak perang Ukraina, mau tak mau Biden harus menemui mitra Arabnya untuk
membantu AS dan sekutunya di Eropa dengan meminta negara-negara produsen
energi Teluk, khususnya Arab Saudi, memompa lebih banyak minyak ke pasar
dunia demi menstabilkan harga. Merasa
sudah menang, MBS bersedia menambah produksi minyaknya hingga 13 juta barel
per hari dari 11 juta barel saat ini. Namun, itu baru bisa dilakukan awal
bulan depan setelah OPEC+ yang mana Rusia merupakan anggotanya bertemu untuk
membicarakan pagu produksi dan harga baru dalam merespons krisis energi dunia
saat ini. Dengan
Biden datang menemuinya, bukan saja MBS telah keluar dari isolasi
internasional yang sudah lama diharapkannya, melainkan juga memberi
keuntungan lain pada negaranya. Biden mengumumkan penarikan pasukan
perdamaian AS dari Pulau Tiran di Laut Merah pada akhir tahun ini setelah
diplomasi senyap berbulan-bulan dan mentransfer area yang dulu mencetuskan
perang antara Mesir dan Israel menjadi tempat pembangunan pariwisata dan
ekonomi masa depan. Mesir
menyerahkan dua pulau kecil Tiran dan Sanafir, yang tidak berpenghuni, tapi
memiliki nilai strategis kepada Saudi pada 2016. Namun, status teritorinya
masih perlu diratifikasi Israel sebelum kedaulatannya dipindahkan.
Penyerahannya akan membuka akses kontak langsung Israel-Saudi karena
pulau-pulau itu merupakan satu-satunya akses Israel ke Laut Merah. Persetujuan
dari Israel tersebut tampaknya merupakan barter setelah Saudi mengumumkan
kebebasan Israel menggunakan langitnya bagi pesawat sipil yang terbang dari dan
ke Israel. Lawatan Biden memang telah memberi keuntungan besar pada MBS, tapi
belum tentu memberi insentif politik pada dirinya. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/508246/makna-lawatan-biden-ke-timur-tengah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar