Menolak
Warisan Pembelahan 2019 Fathorrahman
Ghufron: Wakil Katib PWNU
Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN
Sunan Kalijaga |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Dalam buku
Democracies Divided: The Global Challenge of Political Polarization (2019),
Warburton yang menyumbang tulisan tentang ”Polarization and Democratic
Decline in Indonesia” menjelaskan terjadinya peningkatan praktik pembelahan
(polarization) di Indonesia sejak tahun 2014, 2017, dan mencapai eskalasinya
yang sangat mendalam di tahun 2019. Salah satu pemicu praktik pembelahan
adalah penggunaan identitas agama oleh para kontestan yang berlaga dalam
pemilihan umum (pemilu), baik di level nasional maupun daerah. Masih segar dalam ingatan kita dua tagline ”kampret
dan cebong” yang digunakan oleh para kontestan untuk mendiskreditkan
antar-pendukung menjadi sebuah repertoar peyorifikasi yang kerap menghiasi
berbagai dinding maya dan ruang publik. Meskipun secara normatif,
narasi-narasi bercorak peyoratif lebih banyak diproduksi dan diprofilerasi
oleh para tim suksesnya. Namun, disadari atau tidak, setiap kontestan menjadi
bagian penting yang turut terlibat dalam memanasnya suhu persaingan yang
nyaris mematikan akal sehat. Bahkan, seusai pemilu yang sudah menetapkan salah satu
pasangan sebagai kepala daerah dan presiden yang sah, repertoar peyorifikasi
semakin berkembang biak menjadi narasi-narasi yang semakin lepas dari jangkar
keadaban. Tagar ”turunkan presiden” dijadikan sebuah amunisi pragmatis oleh
pihak-pihak yang tak puas dengan pembagian kue kekuasaan. Tak terkecuali pandemi Covid-19 dikomodifikasi oleh
pihak tak bertanggung jawab untuk menggalang kekuatan mosi tak percaya
terhadap pemerintah. Dampaknya, ingar-bingar pembelahan terus berlangsung di
sepanjang tahun dan diprediksi oleh sejumlah pengamat politik akan berpotensi
lagi dalam Pemilu 2024. Strategi depolarisasi Menyikapi berbagai kemungkinan praktik pembelahan
yang bisa terjadi di masa akan datang diperlukan langkah taktis dan strategis
untuk meredam berbagai riak ketegangan yang bisa mengarah pada praktik
pembelahan. Dalam kaitan ini, merujuk pada tulisan Abdul Rahman ”Tiga cara
depolarisasi dalam ketegangan politik atau krisis pandemi”, setidaknya ada
tiga cara yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak, terutama masyarakat sipil,
untuk mengantisipasi berbagai ceruk pembelahan yang oleh sebagian kontestan
masih dianggap sebagai cara potensial untuk merebut suara rakyat. Pertama, diperlukan jihad sosial antar-kalangan
dalam melakukan dekonstruksi masa lalu, terutama berbagai aspek yang terkait
dengan faktor-faktor penyulut yang selama ini dijadikan sebagai bandul
kontroversi. Semisal politik identitas yang berbasis agama, etnis, ras, dan
semacamnya yang mengarah kepada praktik pembelahan. Bahkan, apabila memungkinkan, dalam membongkar masa
lalu, diperlukan narasi tanding yang kreatif dan konstruktif tentang bahaya
latennya praktik pembelahan sebagai warisan kaum penjajah. Dengan harapan,
setiap kalangan masyarakat bisa diinjeksi dengan pemahaman baru tentang pentingnya
kerukunan dan saling menghargai perbedaan dalam menyikapi pemilu. Kedua, diperlukan penegasan pandangan antar-pihak
tentang pentingnya mengedepankan cita-cita bersama dalam merawat dan menjaga
akal sehat berbangsa dan bernegara. Kalaupun antar-pihak terlibat sebagai tim
sukses maupun pendukung bagi masing-masing kontestan pemilu, harus disadarkan
tentang pentingnya fokus pada masa depan perjalanan keindonesiaan. Setidaknya, setiap perbedaan sikap dan pilihan yang
terjadi antar-pendukung perlu diarahkan pada penguatan ideologi politik
daripada identitas agama dan semacamnya. Dengan berbasis kepada ideologi
politik, diharapkan setiap pendukung bisa mengkritisi kontestan lainnya lebih
pada pencermatan serta mengkritisi kebijakan dan program yang akan dilaksanakan
dalam roda pemerintahannya apabila berkuasa. Ketiga, dibutuhkan ruang bersama antar-pendukung
dalam menjelaskan berbagai kelebihan dan alasan ideologis mengapa kontestan
tertentu yang lebih dijagokan dalam pemilu. Bahkan, agar ruang bersama tidak
terkesan formal dan kaku, masing-masing pendukung bisa mendesain suasana
obrolan dengan santai dan menghibur. Setidaknya, berbagai pandangan dan
pilihan berbeda yang menjadi fitrah dalam sebuah persaingan, seperti pemilu,
tidak hanya dikanalisasi dalam ruang-ruang kampanye sepihak yang sarat
egosentrisme. Akan tetapi, setiap perbedaan disikapi sebagai
sarana untuk saling mengenali sekaligus memberikan masukan tentang
langkah-langkah humanis dalam mengatasi berbagai riak kontrversi di ruang
publik. Dengan cara ini, setiap pendukung bisa mengekspresikan perbedaan
pilihan di zaman yang aman, nyaman, dan damai. Peran masyarakat sipil Dari ketiga langkah tersebut, tentu peran masyarakat
sipil di berbagai lini, baik di lingkup keagamaan, sosial, budaya, pendidikan,
maupun kelompok kekuatan moral lainnya, harus menjadi tulang punggung
(backbone) dalam menguatkan pendidikan kewargaan (civic education). Sebab,
ketika nalar pendukung hanya dikendalikan oleh para kontestan dan tim
suksesnya, mereka hanya dijadikan sebagai pion yang asal serang dan membabi
buta dalam melakukan pembelaan. Bahkan, dalam situasi tertentu, mereka hanya
dijadikan sebagai tameng pengaman dan penangkal agar setiap kontestan bisa
berkelit dari berbagai siasat konspirasinya. Dengan catatan, masyarakat sipil yang terlibat dalam
kekuatan moral selama berlangsungnya pemilu dan dipercaya sebagai garda
terdepan dalam peneguhan spirit kebangsaan tak terjebak dalam mata rantai
dukung mendukung terhadap kontestan pemilu. Sikap netralitas dan obyektivitas
ini sangat penting agar masyarakat sipil yang menjadi salah satu modalitas
sosial penting dalam peradaban bernegara bisa konsisten menjunjung tinggi
etika kepublikan. Setidaknya, ketika masyarakat sipil mampu memerankan
dirinya sebagai pihak yang berdiri di atas semua kontestan dan golongan, dia
akan menjadi pijar-pijar keindonesiaan yang bisa mencerahkan setiap jalan
keluar yang dibutuhkan para kontestan. Selain itu, masyarakat sipil juga bisa
memosisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang ketika para kontestan dan tim
suksesnya menggunakan cara-cara tak beradab untuk memenangi pemilu. Oleh karena itu, menghadapi Pemilu 2024 yang jejak
persaingannya sudah semakin terasa dan setiap kontestan sudah mulai ”pasang
badan” agar mampu memperoleh perhatian rakyat, masyarakat sipil menjadi
sebuah taruhan utama untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari pandemi
pembelahan yang di tahun-tahun sebelumnya sangat mencemari sendi-sendi
kebangsaan dan roh kepublikan. Semoga, taktik pembelahan yang kemungkinan besar dirancang
oleh setiap kontestan sebagai strategi picisan untuk meraih kekuasaan bisa
diendus sedini mungkin agar masyarakat tidak kecolongan lagi. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/18/menolak-warisan-pembelahan-2019 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar