Partai Politik dan Asa
Demokrasi
Wim Tohari Daniealdi : Dosen FISIP Unikom Bandung
SINDONEWS, 22
Juli
2022
DALAM beberapa
pekan terakhir, kita merasakan aroma kuat persaingan pemilu, pilpres, dan
pikada serentak 2024. Di tambah pada 14 juni 2022 lalu Komisi Pemilihan Umum
(KPU) sudah memulai kick-off tahapan Pemilu 2024. Setelah
beberapa pekan saling kunjung mengunjungi antar elite politik, sebagian
partai politik agaknya sudah mencapai sejumlah kesepaham dan mulai membentuk
koalisi guna menyongsong perhelatan politik 2024. Namun terlepas
dari proyeksi pencapresan ataupun target elektabilitas yang pasti diincar
oleh setiap kontestan pemilu 2024, yang menarik perhatian penulis adalah misi
dan juga harapan yang ingin dilaksanakan oleh para elite politik ini dalam
berkompetisi pada 2024; yaitu membangun ekosistem persaingan yang sehat demi
kepentingan nasional yang lebih baik. Hal ini
tercermin di dalam plaform Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diusung oleh
Golkar, PPP, dan PAN, di mana mereka sepakat untuk mengakhiri politik
identitas, dan ingin mencairkan polarisasi massa Pilpres 2014-2019 yang
hingga kini masih menimbulkan "polusi" di ruang demokrasi kita. Harapan yang
sama juga disampaikan oleg Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam pidato
nya ketika membuka Rakernas Partai NasDem, 15 Juni 2022 lalu, bahwa di atas
politik kompetisi dalam pemilu, ada “politik kebangsaan” yang bertujuan
luhur, demi kebaikan dan keutuhan bangsa. Dalam kesempatan itu, Surya Paloh
meminta semua kader NasDem untuk lebih mengedepankan politik kebangsaan ini
dalam perhelatan pemilu, pilpres dan pilkada serentak 2024 ini. Dalam
pandangan penulis, misi yang diinginkan oleh para elite parpol ini perlu disambut
baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pasca Pilpres 2014 lalu, telah terjadi
“pembalseman” artefak konflik pilpres yang mengakibatkan polarisasi massa
pendukung kandidat presiden terfregmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan
kontra pemerintah. Pada tahap
selanjutnya, kondisi tersebut membentuk patern budaya politik yang
konfliktual, di mana hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda
politik, selalu menghadirkan dua sikap atau pendapat yang konfrontatif,
bahkan saling menegasikan satu sama lain. Sebagai dampak
lanjutan dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok, dan
tertutupnya jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua
kutub figur, yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur
alternatif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam kurun waktu Pilpres
2014 sampai 2019. Karena siapa pun akan diidentifikasi orientasi
keberpihakannya pada figur Jokowi atau Prabowo. Tanpa kita
sadari, fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru
merit-system. Para tokoh dan politisi di negeri ini lebih mengejar stigma
asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu
prinsip atau visi masa depan politik yang otentik. Sebagaimana
kita saksikan, persaingan Pilpres 2019 lalu bahkan tidak melahirkan profil
pemimpin baru, dan sepi dari gagasan orisinil. Tidak ada satupun dari
narasi-narasi yang muncul ke permukaan membawa sebuah konsep yang luas
diperbincangkan, dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul selalu
dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, “tetap Jokowi” atau “ganti
presiden”. Dampak
lanjutan yang muncul kemudian, adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik
Jokowi maupun Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tapi sekaligus
ditentang. Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya.
Akibatnya, terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita. Dari semula
bersifat institusional, menjadi personal. Mirip seperti
era Orde Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, bila pada kedua era sebelumnya,
baik Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya, dan
menghimpun dalam dirinya semua kekuasaan politik. Kini, baik Jokowi maupun
Prabowo, disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan.
Karena demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginsitusionalisasikan
sistem, bukan mempersonalisasikannya. Inilah yang
luput dipahami selama polarisasi ini berlangsung. bahwa pemilihan presiden
tidak bisa disimpifikasi menjadi sekedar proses pemilihan figur personal.
Melainkah sebuah mekanisme pemilihan sebuah lembaga politik. Maka tidak ada
yang aneh, ketika selesai Pilpres 2019, Jokowi merangkul Prabowo untuk masuk
bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara
konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari
kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisais kelompok yang ada. Tapi
sebagaimana kita saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut
nampaknya malah membentuk struktur polarisasi baru, tapi dengan format
komposisi yang mirip, demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Di mana
keduanya mencari figur alternatif untuk menggantikan sakralitas Jokowi dan
Prabowo. Jangan lupa,
polarisasi yang terbangun sejak Pilpres 2014 lalu itu, sudah beberapa kali mengalami
eskalasi puncak yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Bahkan
keduanya, pada titik ekstrem, telah secara serampangan membawa klaim
keagamaan dan kebangsaan. Sebagaimana
kita tahu, kedua klaim ini adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan
tingkat heterogenitas sekompleks Indonesia. Sebab secara geneologis, kedua
klaim ini memiliki daya pikat yang luar biasa. Seseorang,
ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya
ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup
atau mati. Sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang
dalam konflik atas nama agama dan bangsa (nasionalisme). Akan tetapi,
di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya
memiliki energi maha besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling
fundamental, yaitu hak hidup, dan hak mengenyam kebebasan, yang mana
merupakan cita-cita Pancasila serta UUD 1945. Sejarah
lagi-lagi menunjukkan, bahwa tak ada satu doktrin pun yang bisa demikian luas
melayani kemanusiaan, selain agama dan rasa kebangsaan. Maka tidak
mengherankan bila, para pendiri bangsa ini, menyusun rencana politik yang
sangat mapan, dengan membuat skema konvergensi kebangsaan baru di atas
pondasi keagamaan dan kebangsaan yang ada di Nusantara, yakni Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sayangnya,
yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya.
Di mana ancaman terhadap NKRI ini dibuat seolah-olah nyata sehingga glorifikasi
untuk menyelamatkan NKRI menjadi jargon yang terus mengemuka selama lebih
dari lima tahun terakhir. Demikian juga sebaliknya, wacana tentang ancaman
penistaan agama dan penghancuran agama secara sistematis oleh kelompok
tertentu terus didengungkan. Terkait dengan
itu, tidak bisa tidak, kedua klaim ini harus segera dirobohkan dengan cara
apapun. Bila tidak, hari-hari ke depan kita akan di bayang-bayang masa depan
yang kelam, di mana rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme, dan
nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan,
kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, melainkan akan menyeret
martabat kemanusiaan hingga ketitik terendah peradabannya. Pada titik
ini, partai politik adalah pihak yang bisa kita harapkan untuk membuat
demokrasi kita tetap tumbuh di atas koridornya. Partai politiklah kanal
aspirasi yang sepatutnya mengonversi tendensi-tendensi subjektif masyarakat
menjadi satu kritik yang objektif dan konstruktif. Partai politik
harus hadir sebagai sokoguru demokrasi yang mencontohkan kepada masyarakat
bagaimana caranya menyampaikan pendapat dengan baik dan akurat. Bagaimana
caranya beroposisi yang benar, sehingga narasi-narasi alternatif bisa tumbuh
secara elegan dan bisa dipertanggungjawabkan. Lebih dari
itu, partai politik harus menjadi sekolah demokrasi yang memproduksi
kader-kader berkualitas, sehingga masyarakat tidak terbatas pilihannya. Pada akhirnya,
persoalan utama kita bukan merumuskan siapa kandidat untuk 2024, tapi
membersihkan sampah konflik yang sudah berserak di tengah masayarakat.
Karena, tentu, kita tak ingin demokrasi yang kita banggakan bersama, harus
mati di altar provokasi. Bisakah koalisi-koalisi partai politik ini melakukan
hal itu? Wallahu’alam bi sawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar