Di Sini, Ongkos ke
Gereja Lebih Besar Ketimbang Kolekte Haris Prabowo : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 18 Juli 2022
Umurku masih
17 tahun saat pertama menginjakkan kaki di Cilegon pada 1990. Aku masih muda,
semangatku membara, dan siap kerja apa saja asal perut tak kosong di
perantauan. Namaku Masri
Marpaung. Banyak orang memanggilku Amang Jeckson—nama putraku satu-satunya.
Aku datang dari sebuah desa kecil di kaki bukit Kecamatan Porsea, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Saat kecil, aku harus menempuh 20 kilometer
jika ingin melihat wajah kota. Tak ada bayangan bagaimana bentuknya mobil,
apalagi tambal ban—profesi yang justru kujalani hingga hari ini. Sejak
pemekaran pada 1998, desaku ada di wilayah Kabupaten Toba. Orang tua
ingin sekolahkanku hingga SMA. Tapi aku terlalu malas. Aku sadar bangku
sekolah bukan duniaku. Tak terhitung berapa kali aku dipukul karena menolak
ke sekolah, yang justru bikin rasa malas itu makin menjadi. Namun akhirnya
banyak pemuda sepertiku yang menganggur. Tak ada penghasilan,
luntang-lantung, disuruh ke sawah pun tak sudi, termasuk juga diriku. Sebagai
tamatan Sekolah Dasar (SD), tak banyak yang bisa kulakukan. Dalam kultur
masyarakat Batak, orang tua akan menyuruh anaknya untuk merantau jika
menganggur—terlepas anaknya tamat sekolah atau tidak. Orang tua tak suka
melihat anak-anaknya tinggal di kampung halaman tanpa penghasilan. “Saat itu,
kalau ada kehilangan ayam atau hasil padi di kampung, mudah kali pemuda macam
ini kena tuduh,” kataku kepada seorang wartawan pertengahan Juni lalu. Akhirnya, satu
per satu dari kami mulai menghilang, berangkat ke tanah perantauan. Ada yang
ke Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Kami tersebar ke banyak daerah se-Indonesia.
Aku berangkat ke Jawa naik bus Pengangkutan Motor Horas (PMH), tanpa tahu
akan kerja apa. Kini, setelah
lebih dari 30 tahun di tanah rantau, aku punya usaha sendiri. Aku menambal,
mengganti, atau sekadar memeriksa ban kendaraan banyak orang agar mereka
mudah pergi ke mana pun. Tak seperti masa muda yang jauh dari agama, kini aku
lebih rajin ibadah saban Minggu ke gereja—walau harus menempuh 40 kilometer. Jarak yang
jauh sekali untuk beribadah, kau bilang? Nah, sini
kuceritakan bagaimana aku sempat jauh dari agama, kembali dekat ke Tuhan, dan
bagaimana sulitnya mencari tempat ibadah di Cilegon. *** Cilegon bukan
tanah perantauan pertamaku. Sebelumnya, aku sempat di Surabaya beberapa bulan
menjadi penjual es tebu dengan gerobak. Dari sedikit uang yang kukumpulkan,
aku berangkat ke Jakarta dan bantu cuci piring di sebuah lapo di Cakung,
Jakarta Timur. Kalau kau tak tahu apa itu lapo, itu rumah makan yang biasanya
jadi tempat kumpul, makan, bernyanyi, main catur, dan juga minum arak. Lapo
itu milik Inonguda—istri semarga yang urutan keturunannya setingkat dengan
ayah, tapi secara usia lebih muda. Sekitar 10
kilometer dari tempatku saat itu, ada Kampung Pulomas di Kecamatan Pulo
Gadung yang menjadi salah satu titik teramai para perantau Batak. Di Jakarta,
ada beberapa titik yang punya banyak lapo, di Kampung Mayasari di Cililitan;
di Kampung Peninggaran Kebayoran Lama; juga Jalan Pramuka di Utan Kayu. Di Jakarta kan
memang banyak orang Batak. Tahun 1970 sampai 1990* itu ada banyak kali orang
Sumatera Utara pindah ke Jakarta. Tahun 1990 konon ada 700 ribuan orang
Sumatera Utara yang datang ke Jakarta. Usia mereka banyak yang masih belasan.
Aku salah satu dari mereka. Karena itu pula, di Jakarta itu orang Batak dari
berbagai marga jadi etnis ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda. Tak lama di
Jakarta, aku memutuskan ke Cilegon dan berkenalan dengan kendaraan-kendaraan
jumbo. Tiga tahun pertama, aku jadi kernet salah satu truk milik PT Parna
Raya. Baru pada 1993, aku mulai menjajal menjadi supir truk, salah satunya
buat Krakatau Steel. Waktu itu aku
masih lajang, bebas ngapain aja, cuma kejar uang. Tak pernah aku beribadah
Minggu ke gereja. Aku masih jauh dari Tuhan, lah. Setelah
kupikir-pikir, ada beberapa alasan kenapa aku jauh dari Tuhan. Salah satunya
ya karena jauh dari rumah. Kalau di kampung, masih ada orangtua yang
ngingetin. Gereja juga ada di mana-mana. Nah, itu beda
waktu aku di sini. Aku minoritas, dan tak banyak tempat ibadah di tempatku.
Jadinya ya berat. Eh, ini tentu pengalaman pribadiku, ya. Mungkin aja
pengalaman perantau lain juga beda. Waktu aku
nikah di 1997 pun, ya sama aja. Istriku ngajak aku ke gereja. Kadang
kuiyakan, tapi sering juga kubiarkan. Di Cilegon,
aku jadi jemaat HKBP Maranatha. Sayangnya, jemaat ini tak punya gereja
sendiri. Beberapa kali jemaat ingin bangun gereja di Cilegon, tapi selalu
ditolak oleh warga hingga otoritas. Jika mau ibadah, aku harus pergi ke
gereja HKBP Kota Serang, yang kubilang 40 kilometer dari rumahku itu. Jemaat
gerejaku sudah empat kali mengajukan izin pendirikan rumah ibadat sejak 2006,
tapi selalu gagal karena ditentang masyarakat. Sejak tahun lalu, jemaat
gerejaku sedang berupaya mengajukan izin kelima kalinya. Semoga ada kabar
baik. Kau tanya
kenapa kami tak putus asa mengajukan izin pembangunan gereja? Gini. Ke
manapun orang Batak pergi, mereka akan selalu “bawa” gerejanya. Ada pameo
masyhur yang gini bunyinya. Molo adong dua halak Batak munsat tu luat na imbaru, pintor
mulai do nasida marminggu; Molo adang tolu halak Batak munsat tu luat na
imbaru, pintor dimulai do sada koor. Kurang lebih
artinya, “Bila ada dua orang Batak yang pindah ke suatu tempat yang baru,
dengan segera mereka akan membangun peribadatan; dan bila ada tiga orang
Batak pindah ke tempat baru, dengan segera mereka akan membentuk kelompok
paduan suara.” Seorang
budayawan Batak, Togarma Naibaho, juga pernah bilang kalau salah satu fungsi
gereja untuk orang Batak bukan cuma untuk agenda keagamaan, tapi juga
berbagai ritual adat. Jadi makanya
kami orang-orang Batak berusaha bikin gereja di tempat kami merantau, ya
karena di sana diadakan acara-acara adat. Buat bayi yang baru lahir, yang mau
dibaptis, orang yang mau nempati rumah baru, itu semua ada acara-acara di
gereja. Sebenarnya,
Krakatau Steel itu menyediakan bus buat beribadah ke Serang. Lumayan hemat
jadinya. Tapi ya harus siap sejak pagi. Suatu hari,
pernah aku dan istriku terlambat bangun tidur. Bus meninggalkan kami. Aku
putar otak dengan menyewa satu buah angkot yang khusus mengantar kami ke Kota
Serang. Namun, aku kaget ketika harga yang ditawarkan 150 ribu rupiah—angka
yang menurutku sangat besar saat itu. Aku sempat
berpikir, biaya tersebut belum termasuk makan ketika nanti selesai ibadah
pukul 10 pagi. Ibadah pagi hari dalam keadaan terburu-buru bikin perut selalu
kosong karena tak sempat sarapan. Aku terus mikir: buat ibadah uang 200 ribu
itu tak cukup. Lebih besar uang transportasinya ketimbang persembahan yang
kami kasih ke Tuhan. Padahal kata
Pendeta Hotman Marbun, dari 3.903 jemaat HKBP Maranatha, sebagian besar
adalah warga ekonomi kelas bawah. Sebagian besar mirip denganku profesinya,
tukang tambal ban. Di sepanjang jalan Cilegon-Merak, kayaknya hampir 98
persen orang Batak itu tukang tambal ban. Aku selalu
berpikir, gimana nasib kerabat sesama Kristen yang tak punya banyak uang,
pekerjaan tak menentu, atau penghasilan di bawah rata-rata, jika ingin ibadah
ke lokasi sejauh itu. Aku bisa memahami jika banyak jemaat tak sampai lagi
berpikir ke gereja karena beratnya waktu, tenaga, dan ongkos. “Segini
beratkah kita buat memuji Tuhan?” pikirku. *** Masuk abad 21,
nasib buruk menimpaku. Perusahaan terakhir tempat aku menyopir bangkrut.
Sebagai sopir borongan tanpa perjanjian, tak ada namanya Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Yang jelas, aku sempat menganggur beberapa saat. Saat itu,
istriku cari penghasilan tambahan dengan mengumpulkan ban-ban dalam kendaraan
besar yang sudah pecah. Ban-ban itu dikumpulkan dari para tukang tambal ban
di sepanjang jalan Cilegon-Merak. Seorang penadah berani membayar ban-ban itu
seharga 3.500 rupiah per kilogram. Seiring
berjalannya waktu, usaha yang dilakukan istriku cukup menggiurkan. Ia
perempuan yang gigih, berani, tak mudah menyerah. Aku pun akhirnya
ikut-ikutan. Metode mencari keuntungan lainnya adalah dengan menambal ban-ban
yang masih layak dan menjualnya dengan harga lebih tinggi. Kami bisa meraup
6-8 juta rupiah per bulan. Makin
bersemangatlah kami ya, kan. Ternyata ada uangnya. Sekitar 2004,
dari penghasilan itu semua, akhirnya kami bisa mengontrak di rumah yang layak
milik orang Batak bermarga Pardede. Kami juga bisa membeli kompresor tambal
ban yang juga milik orang Batak bermarga Sianturi dengan dicicil. Kami juga
pelan-pelan membangun usaha tambal ban dari nol. Aku tak bisa membayangkan
bagaimana hidup tanpa bantuan sesama kerabat Batak. Waktu terus
berjalan. Kami tak kekurangan, juga tak lebih—biasa-biasa saja. Tapi kondisi
keuangan kami membaik. Omzet harianku bisa mencapai 200 ribu rupiah—300 ribu
rupiah jika sedang ramai. Jika 30 hari keadaan berulang, minimal enam juta
rupiah sudah di kantong. Tapi perkara iman masih sama: aku masih jauh dari
Tuhan. Bahkan,
sekitar 2011-2012, tak cukup istriku yang mengingatkanku. Anakku Jeckson yang
saat itu duduk di bangku SMP, sampai ikut mengingatkanku. “Pak, ayolah
ke gereja. Bapak jangan takut kehilangan rezeki,” katanya suatu kali. Aku tetap
diam, cuek, tak menganggap ke gereja merupakan sebuah tawaran menarik. Aku
tak peduli omongan anak dan istriku saat itu. Satu hari,
seorang sintua HKBP Maranatha Cilegon datang dan bicara kepadaku soal
perlunya tubuh kita untuk istirahat. Setelah enam hari dalam seminggu manusia
bekerja, perlu ada satu hari digunakan untuk istirahat. Sintua itu tak
meminta aku untuk ke gereja, tapi untuk istirahat. Kata dia, awalnya memang
berat karena akan meninggalkan kebiasaan dan ada kerugian materil saat
manusia tidak bekerja. Saat itu, aku
tidak merespons. Aku hanya tertawa sembari tersenyum. “Wajar kalau amang
ngomong begitu, karena amang kan pengurus gereja,” kataku dalam hati. Namun,
ternyata omongan sintua itu tersimpan dalam ingatanku. Rekaman itu terus
terputar ulang. Hingga satu hari, aku coba tutup tambal ban di hari Minggu
dan pergi ke gereja. Selesai ibadah, aku makan siang, tidur cukup lama di
rumah, dan bangun dengan merasakan perbedaan signifikan. Hatiku merasa
tenang, nyaman, tanpa beban. Aku memutuskan mengulang hal serupa pekan-pekan
berikutnya. Bahkan, pernah
suatu hari, saat berdoa di gereja dengan kepala menunduk tanpa menengok
kanan-kiri, pipiku basah karena air mata. Aku tak tahu kenapa aku menangis.
Padahal aku tak merasa kesedihan apapun saat itu. “Semakin aku
tundukkan kepala, suaraku malah makin kedengeran. Istriku hanya tersenyum
melihatku saat itu. Sejak saat itu, aku hampir tak pernah absen ibadah di
gereja. *** Aku tak
sepenuhnya tahu kenapa harus ada penolakan upaya pembangunan gereja di
Cilegon. Tanpa keberadaan gereja, jemaat HKBP seperti aku dan kerabat Batak
lainnya di sini akan kesusahan. Seperti yang kukatakan di awal, akan selalu
ada beban jarak, waktu, hingga biaya yang tak terhitung jika tiap pekan kami
harus ke kota sebelah hanya untuk ibadah. Saat ini, aku
punya tiga orang karyawan dalam usaha tambal banku. Aku adalah salah satu
dari banyak pengusaha tambal ban beretnis Batak yang ada di Kota Cilegon.
Masalahnya, tak banyak pengusaha tambal ban di Cilegon yang penghasilannya
seperti diriku. Banyak di antara kami buka usaha tambal ban di atas lahan
ilegal di pinggir jalan yang berisiko tinggi, alat keamanan minim, hingga tak
satu-dua kali kecelakaan bikin tukang tambal ban bernasib sial. Faktornya
banyak: mulai dari kecelakaan lalu lintas yang berakibat ke usaha tambal di
pinggir jalan hingga risiko tinggi dari ban-ban kendaraan besar lintas
provinsi. Beberapa kali
ada kejadian ban truk yang sudah tidak layak meledak saat ditangani. Belum
lama ini orang meninggal di tempat, karena ring velg lepas dan menghantam
kepalanya. Pecah. Namun, banyak dari kami tetap kerjakan demi uang.
Keselamatan seperti nomor dua. Aku selalu
berpikir bagaimana sesama kerabat Batak yang kurang beruntung, hidup dengan
upah pas-pasan, bisa beribadah dengan mudah jika gereja pun jauh lokasinya.
Pikirku, manusia yang selama ini kerap berbuat dosa hingga jahat akan semakin
jauh dari gereja. Jauh dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena
itu, aku selalu bertanya mengapa untuk mendirikan rumah ibadah sangat sulit.
Aku dan kerabat lainnya sama seperti umat-umat lainnya yang menyembah Tuhan.
Dengan berusaha mendirikan gereja, tak akan pernah ada upaya mengajak orang
lain untuk masuk ke agama Kristen—yang kerap dibilang sebagai “kristenisasi”. Apalagi
membangun gereja untuk jemaat HKBP yang pada dasarnya khusus untuk yang
beretnis dan berbahasa Batak. Bagaimana mungkin kita bisa mengkristenkan suku
yang di luar Batak, sedangkan mereka tidak mengerti bahasa kami? Beri kami
akses untuk ibadah. Selama ini kami sudah cukup lelah, capek ibadah harus
sejauh itu ke Serang. *** 17 Juni 2022
pagi, sebelum seorang wartawan mengunjungiku, aku membuka galeri di ponselku.
Aku kembali menyaksikan video-video berisi raut wajah istriku di layar kaca.
Ia perempuan yang baik, selalu memberi dukungan, setia menemaniku selama ini,
ikut membesarkan Jeckson, hingga memaafkanku saat aku salah. Istriku pula
yang jadi salah satu figur paling penting dalam hidupku, terutama saat selama
ini mengingatkan dan mengajakku untuk ibadah ke gereja. Pada 15 Januari lalu,
istriku mengembuskan napas terakhirnya akibat sakit jantung yang dideritanya
sejak lebih dari dua tahun lalu. Saat itu, aku merasa hampa. Kejadian itu
jadi salah satu titik terendah dalam hidupku. Pagi itu aku
menangis. Aku masih mudah menangis kalau ingat istriku. Namun
bagaimana pun hidup harus tetap berjalan. Hanya tersisa Jeckson di hidupku
saat ini. Anakku inilah yang bikin aku tetap kuat jalani hidup. ● |
Sumber
: https://tirto.id/di-sini-ongkos-ke-gereja-lebih-besar-ketimbang-kolekte-gubp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar