Uji
Formil UU Ditolak, Pemerintah Kian Mantap Bangun IKN Susana Rita Kumalasanti : Wartawan Kompas |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara tidak bertentangan
dengan konstitusi. Dengan demikian, UU IKN tetap memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Putusan itu juga membuat pemerintah semakin mantap melaksanakan
rencana pembangunan dan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara. MK menolak seluruh dalil yang diajukan oleh para
pemohon dalam dua perkara yang disidangkan, Rabu (20/7/2022). Kedua perkara
itu adalah perkara 24/PUU-XX/2022 yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan
Negara (PNKN) dan 36/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Azyumardi Azra, Din Syamsuddin,
dkk. PNKN, antara lain, mendalilkan bahwa proses pembentukan UU 3/2022 cacat
formil karena melanggar sejumlah asas pembentukan perundangan-undangan
seperti diatur di dalam UU 12/2011. Asas-asas itu, antara lain, asas
kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas
keterbukaan. Pemohon juga mempersoalkan terburu-burunya pembahasan UU IKN
yang hanya memakan waktu 42 hari. Dari semua dalil yang diajukan, MK menilai pemohon
tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung permohonannya.
Pemohon tidak dapat menyakinkan para hakim MK untuk mengamini apa yang mereka
anggap inkonstitusional. Salah satunya adalah pandangan bahwa UU IKN tidak
memiliki asas kejelasan tujuan. Hakim Konstitusi Saldi Isra, saat membacakan
pertimbangan, mengungkapkan, maksud dan tujuan pembentukan UU telah
dicantumkan dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara komprehensif dalam
penjelasan umum. Latar belakang pemindahan IKN juga disebutkan, yaitu adanya
keinginan untuk meningkatkan pembangunan kawasan timur Indonesia untuk
pemerataan wilayah. MK juga menyatakan bahwa dalil pemohon mengenai RUU
IKN tidak memiliki perencanaan legislasi tidak beralasan. Sebab, RUU IKN
telah masuk Prolegnas jangka menengah 2020-2022 sesuai dengan surat keputusan
DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020. Setiap tahun, RUU IKN juga masuk dalam
Prolegnas prioritas tahunan (tahun 2020, 2021, dan 2022). Berdasarkan fakta itu, kata Saldi, perencanaan
pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan
nasional dan dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan
diprioritaskan sejak tahun 2020. Ini makin menegaskan bahwa pembentukan IKN
telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan. ”Terlepas adanya dalil para pemohon yang menyatakan
bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah ’disusupkan’ dalam RPJMN tahun
2020-2025, menurut Mahkamah, alat bukti yang diajukan oleh para pemohon tidak
cukup membuktikan bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat
mematahkan argumentasi atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh
pemerintah dan DPR,” ujar Saldi. Sementara itu, terkait dalil tidak terpenuhinya asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan, hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan,
pemohon tidak memberikan bukti-bukti yang meyakinkan MK atas tidak berdaya
guna dan berhasil gunanya UU 3/2022. Pemohon yang mengajukan hasil survei
salah satu lembaga yang menyatakan 61,9 persen tidak setuju dengan pemindahan
ibu kota negara dengan alasan adanya potensi pemborosan anggaran negara. Bagi
MK, survei tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai pembentuk
undang-undang melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Menurut Arief, untuk melihat sejauhmana IKN
dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang harus
dilakukan adalah membaca secara komprehensif seluruh dokumen terkait UU IKN
dan seluruh bagian dari UU tersebut. Misalnya, bagian konsideran, dasar
filosofis dan sosiologis, serta bagian penjelasan umum yang menjelaskan latar
belakang suatu UU. Dari situ diketahui apakah asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan diabaikan. Mengenai asas keterbukaan, MK tidak menemukan bukti
bahwa pemerintah dan DPR benar-benar menutup diri atau tidak terbuka kepada
publik dalam pembentukan UU 3/2022. Meski pemohon sudah mengajukan beberapa
bukti, MK tidak melihat itu sebagai bukti bahwa ada tendensi dari pemerintah
dan DPR melanggar asas keterbukaan. MK justru mengungkap fakta-fakta hukum yang
ditemukan dalam persidangan, yakni Bappenas pada periode 2017-2019 telah
melakukan kajian pemindahan IKN yang ditindaklanjuti dengan dialog nasional
tematik untuk memperoleh masukan dari pakar, LSM, perguruan tinggi, dan
pemangku kepentingan lainnya untuk penyusunan Rencana Induk IKN. Pemerintah
sudah menerima masukan dan aspirasi dari publik terkait IKN dengan melakukan
lokakarya. DPR pun sudah menjaring masukan masyarakat melalui serangkaian
RDPU atau kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU IKN. Public hearing
(dengar pendapat publik) di berbagai universitas pun sudah dilakukan. ”Berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut di
atas, terbukti pemerintah dan DPR telah melakukan berbagai kegiatan untuk
menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh
masyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, pakar hukum tata negara,
dan kelompok masyarakat adat,” ujar Enny. MK justru mempertanyakan pemohon
yang tidak melibatkan diri secara proaktif dan responsif dalam memberikan
masukan terhadap proses pembentukan UU IKN. ”Fast track
legislation” Dalam permohonannya, PNKN mendalilkan bahwa
pembentukan UU IKN dilakukan dengan sangat cepat (fast track legislation)
karena hanya memakan waktu 42 hari, tepatnya sejak 3 November 2021 hingga 18
Januari 2022. Padahal, UU IKN bersifat strategis dan berdampak luas. Praktik
fast track legislation tersebut dinilai oleh para pemohon inkonstitusional
karena berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam
pembentukan undang-undang. Terkait dalil tersebut, MK mengatakan, proses
pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat
lambatnya pembahasan. Namun, yang penting proses pembentukan undang-undang
tersebut harus mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang seperti
diatur di UU 12/2011. Ditegaskan oleh MK, sepanjang semua proses dalam
tahapan (mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga
pengundangan) sudah terpenuhi dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan
penuh kehati-hatian, waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan cepat
atau fast track legislation merupakan upaya pembentuk UU untuk menyelesaikan
UU pada umumnya. UU 12/2011 juga tidak memberikan ketentuan definitif
mengenai frame waktu kapan suatu RUU yang telah masuk Prolegnas akan
diselesaikan. Hanya saja, MK menegaskan, pentingnya pembentukan
peraturan perundangan itu berpatokan kepada asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, meliputi asas kejelasan tujuan,
kelembagaan/pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki,
dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayaangunaan dan kehasilgunaan,
kejelasan rumusan dan keterbukaan. Atas putusan tersebut, Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota
Nusantara Sidik Pramono mengapresiasi putusan MK yang menolak permohonan uji
formil UU IKN. Putusan tersebut mengukuhkan argumentasi pihak pemerintah
bahwa seluruh proses penyusunan UU IKN telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. ”Putusan ini tentu menjadi tambahan energi untuk
menjalankan proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan nantinya juga
penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus di IKN,” ungkap Sidik. Sementara itu, kuasa hukum PNKN, Viktor Santoso
Tandiasa, mengungkapkan, MK terlihat sukses menjadi juru bicara untuk
menguatkan dalil-dalil pembentuk undang-undang. Menariknya, terhadap
dalil-dalil MK sendiri dalam putusan Nomor 91/2020 terkait meaningfull participation,
hal itu sama sekali tidak digunakan. ”Dan terkesan dibantah sendiri oleh MK
di pertimbangan hukum putusan 24/2022,” kata dia. Dalam pertimbangan hukum uji formil perkara 36/2022
yang mempersoalkan tidak terpenuhinya partisipasi yang bermakna, MK
menyatakan DPR telah melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi hak untuk
dipertimbangkan (the right to be considered) pendapat publik dan hak untuk
diberi penjelasan atas pendapatnya (the right to be explained) atas pendapat
yang diberikan. Pembentuk undang-undang tidak terbukti mengesampingkan kedua
hak tersebut karena telah dibukanya akses kepada masyarakat, baik terhadap
naskah akademik maupun RUU IKN, serta diakomodasinya masukan dan pendapat
secara daring. Sementara itu, Viktor juga mengkritik soal beban
pembuktian yang selalu diberikan kepada pemohon. Padahal, mendapatkan alat
bukti dalam pengujian formil adalah hal yang mustahil karena harus didapat
dari pembentuk undang-undang. Pihaknya sudah mengajukan permohonan untuk
meminta dokumen kepada pemerintah dan DPR, tetapi tidak diberikan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/07/20/uji-formil-uu-ditolak-pemerintah-kian-mantap-bangun-ikn |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar