Bagaimana Seorang
Penyair Mengenal Sapardi dan Keranjingan Berpuisi Irfan Satryo Wicaksono : Penyair, Penulis |
TIRTO.ID, 19 Juli 2022
Suatu kali,
ketika saya masih sekolah di Yogyakarta, kawan baik saya Suluh Pamuji
menyebutkan nama Sapardi Djoko Damono dalam sebuah obrolan kami soal puisi.
Saya belum pernah dengar nama itu dan karena ia bilang si penyair dari
angkatan tua, saya kira orangnya sudah meninggal. "Husss,
ngawur kamu. Masih hidup," katanya. Melompat
belasan tahun ke masa depan setelah obrolan itu, pada 2017, saya akhirnya
bisa melihat sosok Sapardi. Ia berjalan pelan dengan tongkat, memakai topi
pet berwarna krem, dan berkemeja polos ditutup dengan jaket bomber warna
hijau kodim. Sudah tua tapi kelihatan segar dan bersemangat. Kami berpapasan
di Gramedia Central Park, Jakarta Barat, di lorong utama menuju tempat
menjual mainan anak-anak. Ia akan menghadiri acara peluncuran buku puisi Buku
Latihan Tidur kepunyaan Joko Pinurbo dan menjadi pembicara di sana. Itu adalah
momen pertama saya berdepan-depan dengan Sapardi. Dia melihat saya dan saya
melihat dia. Saya membungkuk memberi salam hormat dan ia membalasnya dengan
senyum ramah sekali. Kami belum pernah berjumpa sebelumnya dan memang tak
saling kenal. Saya pun canggung dan terlalu pemalu untuk memperkenalkan diri
atau sekadar mengobrol singkat. Momen itu lewat begitu saja: Sapardi
melintasi saya, sementara saya cuma mematung seperti polisi wibawa. Mundur kembali
ke obrolan saya dengan Suluh Pamuji belasan tahun silam, saya akhirnya
memantapkan diri untuk mencari puisi-puisi Sapardi. Saya menemukan sebuah
puisi yang bikin saya tiba-tiba besar kepala dengan mengatakan ini di dalam
hati: puisi macam begini, saya pun bisa. Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan ("Berjalan
ke Barat Waktu Pagi Hari", 1982) Lalu, mulailah
saya berani menulis puisi-puisi dan bercita-cita menjadi seorang penyair. "Berjalan
ke Barat Waktu Pagi Hari" penting, setidaknya bagi saya, karena dua hal.
Pertama, ia memberi saya tenaga yang bikin saya percaya bahwa menulis puisi
bisa menggunakan bahasa sederhana. Tak ada kata-kata canggih di puisi itu.
Kata-katanya sudah akrab dan sering saya gunakan dalam percakapan
sehari-hari. Momen yang diceritakan dalam puisi itu pun momen yang sering
dialami siapa saja: berjalan kaki di bawah terik matahari sehingga ia
melahirkan bayang-bayang. Kedua, puisi itu menjadi pengingat bagi saya ketika
menulis, bahwa puisi yang oke adalah puisi yang berhasil menciptakan gambar
di kepala para pembaca. Lewat puisi
ini pula saya mulai belajar meniru. Sapardi seperti menuntun saya yang baru
belajar berjalan untuk perlahan-lahan membiarkan saya melangkah sendirian
bahkan kelak bisa lincah berlari. Selain puisi
"Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari", ada pula beberapa puisinya
yang penting dalam usaha-usaha saya untuk menulis puisi. Saya menemukannya
dalam kumpulan puisi Ayat-Ayat Api. Di sana saya menjumpai cara protes dengan
suara yang berbeda. Ada puisi tentang kasus Marsinah, kerusuhan, rombongan
sulap yang membakar kota, kematian mahasiswa, dan cerita soal tukang becak.
Saya merasa cocok juga akur dengan suara model begitu. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini. ("Dongeng
Marsinah", 1993-1996) Di luar
puisi-puisinya, ada nasihat Sapardi yang betul-betul menjadi pijakan saya
ketika ingin menulis puisi. Dalam beragam kesempatan, ia sering membagikan
nasihat ini: jarak estetik. Setiap orang
yang ingin menulis puisi mesti berada dalam kondisi yang santai dan rileks.
Peristiwa-peristiwa yang membikin perasaan jadi rusuh mesti diendapkan
terlebih dahulu. Ambil jarak dengan gejolak emosi yang meluap itu. Saya
memahaminya begini: jika Anda sedang dikuasai emosi melimpah-limpah, jangan
menulis puisi. Lebih baik berdemonstrasi, berkelahi, menangis, atau ditinggal
tidur saja. Menulis puisi
dalam kondisi santai dan rileks bikin kita bisa melihat dengan jernih
peristiwa yang membuat hati kita rusuh. Terlalu gembira atau terlalu berduka,
nikmati saja, tak perlu menulis apa-apa. Tapi jika memang ingin menulis untuk
menyalurkan emosi yang melimpah-limpah, ya silakan saja, bebas. Toh negara
ini negara demokratis. Nasihat ini
yang saya pikir membentuk cara saya menulis puisi. Kalau boleh dibikin
istilah, saya ingin menyebutnya sebagai metode "remuk di dalam, tenang
di luar"—sebuah metode untuk memendam gejolak emosi yang sedang
mengamuk, sedang gawat-gawatnya membikin gaduh, untuk kemudian dirasakan dan
dihafal tiap detailnya sehingga bisa diceritakan kembali ketika perasaan
sudah lebih tenang. Rekaman-rekaman
emosi ini akan memainkan perannya ketika sebuah puisi sedang menuturkan
sesuatu kepada pembaca. Saya pikir metode ini ampuh buat melahirkan puisi
dengan suara yang lembut meskipun memuat cerita yang perih luar biasa. Ini
saya dapatkan lewat pembacaan puisi-puisi Sapardi dan karena itu saya sungguh
punya utang besar kepadanya—yang saya cicil sedikit demi sedikit dengan terus
menulis puisi. Suatu siang,
dua tahun lalu, Suluh Pamuji mengabari saya via WhatsApp soal kepergian
Sapardi. "Sapardi kali ini meninggal beneran. Innalilahi wainaillahi
rojiun," tulisnya. Saya cuma
membalasnya dengan emotikon cucuran air mata. Sedih sekali. Saya mengingat
kembali momen pertemuan saya dengan Sapardi yang cuma terjadi satu kali itu.
Selesai menjadi patung, saya berjalan mengikuti Sapardi menuju tempat acara
peluncuran buku. Saya jadi ingat puisi "Berjalan ke Barat Waktu Pagi
Hari". Saya membayangkan kami bercakap-cakap soal siapa yang mesti
berjalan di depan. Dan momen dalam puisi tersebut tiba-tiba hadir begitu saja
waktu itu. ● |
Sumber
: https://tirto.id/bagaimana-seorang-penyair-mengenal-sapardi-dan-keranjingan-berpuisi-fR85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar