Jalan Panjang Mengadili Pelaku
Pelecehan Seksual Berjubah Agama Felix Nathaniel : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 22 Juli 2022
Kasus
pencabulan santriwati oleh terduga pelaku Moch Subchi Al Tsani (MSAT) telah
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sejak Januari 2022. Namun
pria yang kerap dipanggil Bechi ini baru berhasil ditahan pada Juli 2022. Ia sudah jadi
tersangka sejak 2020. Namun polisi tidak pernah mampu menghadirkannya untuk
diperiksa meski sebenarnya jika panggilan pertama dan kedua tidak dihiraukan
penjemputan paksa bisa dilakukan. Terlebih keberadaannya juga diketahui. Dia
sering menetap di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang yang tidak lain milik
ayahnya, Muhammad Muchtar Mu'thi. Dua tahun
lalu, 10 polisi datang ke tempat tersebut dan disambut massa yang jumlahnya
jauh lebih banyak. Polisi yang kekurangan tenaga memutuskan melepas tersangka
dengan alasan “menjaga kondusivitas.” Keluarga
beralasan kondisi kesehatan ayah MSAT sedang tidak baik. Karena sakit, MSAT
harus mendedikasikan diri untuk merawat ayahnya di rumah–kendati banyak
sekali orang di pesantren tersebut yang bisa melakukan hal itu. Bukan hanya
itu, tahun lalu MSAT juga melawan balik dengan mengajukan praperadilan. Tidak
hanya sekali tapi dua kali. Keluarga menuding polisi tidak menjalankan
prosedur yang tepat. Bagi mereka, tidak masuk akal MSAT bisa menjadi
tersangka padahal tidak sekalipun diminta keterangan sebelumnya (prosedur itu
memang kerap dilakukan polisi dalam beberapa kasus). Dia menuntut
uang Rp 100 juta sebagai ganti rugi fitnah dan pencemaran nama baik.
Permintaan yang akhirnya ditolak pengadilan. Ringkasnya,
penangkapan MSAT alia Bechi memang tidak mudah. Polisi bahkan
sebenarnya belum mampu menjemput paksa MSAT pada Kamis 7 Juli lalu. Aparat
dari Polda Jatim sudah sampai di pesantren sejak pukul 8 pagi, tapi lagi-lagi
dihalangi massa. Mereka terlibat aksi saling dorong. Akhirnya, pukul 23.35,
MSAT sendiri yang menyerahkan diri ke Polda Jatim. Beberapa jam
sebelumnya Kementerian Agama mencabut izin pesantren. Pemerintah pusat juga
menekan pesantren agar patuh pada proses hukum. Dalam sebuah
program CNN Indonesia yang tayang pada 2020 lalu, diketahui bahwa setidaknya
MSAT telah melakukan pelecehan seksual sejak 10 tahun lalu. Semakin parah
karena korban di tahun 2012 itu adalah anak di bawah umur. Korban tak lain
adalah santriwati di pesantren sang bapak. MSAT pertama
kali dilaporkan pada 2019 ke Polres Jombang. Salah satu yang berani untuk
mengadukannya adalah Ulfah, bukan nama sebenarnya. Laporan itu diterima
Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 dengan laporan polisi No: LPB/392/X/Res
1,24/2019/JaTim/Res JBG. Ulfah bersaksi
mengalami pelecehan seksual pada 8 Mei 2017. Pada hari itu semestinya Ulfah
diwawancara agar bisa diterima bekerja di Rumah Sehat Tentrem Medical Center
(RSTMC). MSAT memanggilnya dan duduk di depan Ulfa. Alih-alih bertanya
tentang latar belakang atau apa pun yang biasanya ditanyakan saat wawancara
kerja, MSAT justru mendesak agar Ulfah menjadi istrinya. Ia lantas
diminta melepas pakaian dengan dalil mentransfer ilmu. Ulfah tentu saja
menolak dan terjadilah pemerkosaan. Pada Desember
2017, Ulfah melaporkan kasus ini kepada ayah MSAT yang kerap disapa Kyai Tar.
Tapi bukannya mendapat perlindungan, Tar justru menuduh Ulfah memfitnah dan
mencemarkan nama baik. Menutup Diri demi Reputasi Kasus MSAT
menambah panjang daftar pelecehan seksual oleh mereka yang mendapat label
pemuka agama (MSAT pernah mengaku bahwa ia adalah mursyid atau guru agama
atau orang yang berbakti kepada Tuhan). Dari banyak kasus itu kita tahu bahwa
menyeret mereka tidak pernah mudah. Salah satu
skandal pelecehan seksual terbesar tersebut sempat diungkap oleh media lokal
The Boston Globe pada 2002 dengan judul Church Allowed Abuse by Priest for
Years. Mereka menemukan bahwa mantan pastor John Joseph Geoghan melakukan
pelecehan seksual sejak 1960-an sampai 1990-an dengan korban setidaknya lebih
dari 130 anak laki-laki di bawah umur. Gereja tidak
mengungkap hal ini kepada publik. Kardinal Bernard Francis Law yang bertugas
di Boston berusaha agar Geoghan tetap bisa bertugas. Geoghan diduga
pertama kali melakukan pelecehan saat bertugas di Gereja Blessed Sacrament
pada 1962. Saat itu ada orang melihatnya membawa anak laki-laki ke kamar
tidur. Geoghan menampik tudingan tersebut. Ia baru mengaku bahwa selama
bertugas di sana telah melecehkan empat bocah lebih dari tiga dekade
kemudian. Law tahu
tentang kasus ini setelah menjadi kardinal pada 1984. Namun bukannya mencabut
status klerus Geoghan ia malah menyetujui yang bersangkutan dikirim ke Paroki
Santa Julia pada tahun yang sama. Geoghan yang
punya masalah pedofilia justru diberikan tanggung jawab mengurus anak-anak
muda gereja, termasuk juga putra altar. Berkali-kali Geoghan dinyatakan
dokter “sehat untuk bertugas” dan berkali-kali juga melakukan pelecehan
seksual lagi. Geoghan baru
benar-benar pensiun pada 1993. Namun, dengan statusnya sebagai pensiunan
pastor, dia masih saja berusaha mendekati anak kecil. Lima tahun kemudian,
1998, barulah gereja benar-benar memecat Geoghan. Setelah
terungkap ke publik bahwa gereja bertahun-tahun “melindungi” Geoghan, Law
akhirnya memutuskan mengundurkan diri sebagai kardinal. Berbagai
catatan menunjukkan bahwa pelecehan seksual oleh pastor-pastor gereja sudah
ada sejak lama, masif, dan banyak yang belum terungkap. Salah satu hasil
penyelidikan yang keluar tahun lalu menyebut ada setidaknya 2.900-3.200
pelaku dan 216 ribu korban yang merupakan anak-anak dalam sejarah gereja
Prancis sejak 1950-an. Jumlah korban diperkirakan dapat meningkat hingga 330
ribu. Profesor
Alexis Jay asal Inggris, yang juga menyelidiki berbagai kasus pelecehan
seksual terhadap anak oleh pemuka agama, menyebut dalam banyak kasus gereja
telah melindungi para pelaku. Mereka sengaja menutupi kejahatan hanya demi
satu tujuan yang dianggap lebih penting dari apa pun: reputasi gereja sebagai
perpanjangan tangan Tuhan. “Selama
puluhan dekade, kegagalan gereja Katolik dalam menangani masalah pelecehan
seksual membuat lebih banyak anak-anak mengalami derita yang sama. Jelas
bahwa reputasi gereja dihargai lebih daripada kondisi para korban dengan
adanya perlindungan terhadap pelaku dan abai terhadap tuduhan-tuduhan yang
ada,” kata Jay dilansir The Guardian. Hal itulah
yang persis terjadi di Indonesia. Orang-orang membela dan melindungi MSAT
atas dasar nama baik keluarga atau keutuhan pesantren–termasuk ayah MSAT yang
menuding bahwa semua ini hanyalah fitnah. Penulis asal
Amerika Ijeoma Oluo memahami betul mengapa banyak yang percaya predator
karena ia sendiri pernah ada di posisi yang sama saat anggota keluarganya
dituduh sebagai pelaku pelecehan. Dalam kolom The Guardian, ia mengaku bahwa
setelah belasan tahun akhirnya sadar bahwa selama ini telah melindungi
seorang pemerkosa dan menyesalinya. Bagi Oluo,
“percaya korban” jadi lebih penting dari apa pun meski “kita harus tersakiti
dan merasa malu atas apa yang mereka katakan.” Pernyataannya
yang personal seakan jadi anjuran bagi siapa pun yang sedang ada di posisinya
dulu: “Rasa sakit dan patah hati keluarga pemerkosa tidak seharusnya menjadi
alasan memalingkan diri dari korban–dan saya tahu betapa sulitnya mengakui
kebenaran.” ● |
Sumber
: https://tirto.id/jalan-panjang-mengadili-pelaku-pelecehan-seksual-berjubah-agama-guhm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar