Selasa, 26 Juli 2022

 

Jalan Panjang Mencari Teman Koalisi

Adi Prayitno: Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

MEDIA INDONESIA, 22 Juli 2022

 

                                                

 

MESKI pemilu serentak 2024 terbilang masih lama, semua partai politik sudah mulai saling berkomunikasi. Tentunya melakukan penjajakan koalisi. Secara faktual banyak bukti sahih yang bisa dijadikan parameter melihat agresivitas pergerakan partai politik. Mereka mulai pasang kuda-kuda persiapan menyongsong pesta demokrasi mahaakbar lima tahunan. Ada dua mazhab besar yang biasanya menjadi role model terbentuknya poros koalisi politik Tanah Air, yakni koalisi terbentuk di tikungan akhir jelang pemilu, dan koalisi yang dideklarasikan jauh sebelum pemilu dilaksanakan.

 

Akselerasi dan pergerakan politik belakangan menegaskan semua partai politik condong mengikuti mazhab kedua. Menjajaki kemungkinan koalisi sejak dini. Pertemuan antarelite partai politik nyaris tanpa jeda. Semua ini dilakukan karena pertarungan Pemilu 2024 lebih kompetitif. Tak ada petahana dan tak ada figur dominan yang elektabilitasnya menyentuh angka psikologis mengamankan kemenangan.

 

Penjajakan koalisi mesti dipahami dalam konteks melawan kutukan ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20%. Suka tak suka, semua partai politik dipaksa aktif bermanuver mencari mitra yang bisa diajak berkongsi. Bahkan PDIP, satu-satunya partai politik yang punya tiket emas pilpres, juga mulai berkomunikasi dengan partai politik lainnya. Itu artinya, koalisi ialah keniscayaan. Wajib hukumnya bahkan bagi yang merasa kuat sekalipun.

 

Tanda koalisi

 

Jika diringkus secara sederhana, setidaknya ada tiga fenomena politik yang bisa dijadikan variabel membaca tanda-tanda koalisi. Pertama, terbentuknya poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Meski koalisi ini belum menentukan jagoan yang akan diusung, setidaknya Partai Golkar, PAN, dan PPP saling mengikat komitmen kerja sama. Untuk saat ini ketiganya terlihat masih solid, meski sangat mungkin goyang rentan masuk angin karena godaan politik yang jauh lebih menggiurkan.

 

KIB mengeklaim, menjadi poros politik pertama yang berani mendobrak fatsun politik lama yang sering main di tikungan akhir, serta dominan jualan figur. Dalam batas tertentu, argumen KIB relatif masuk akal. Koalisi seharusnya lebih menjual program dan visi besar. Meski sejak terbentuk poros koalisi ini belum nyaring bicara problem krusial rakyat. Misalnya kisruh minyak goreng, harga kebutuhan pokok meroket, dan stabilitas ekonomi tak menentu. Wacana yang diembuskan sebatas daur ulang isu lawas melawan politik identitas, serta mengakhiri polarisasi. Pada ujung spektrum lain, jualan narasi politik normatif bagian dari alibi KIB karena tak punya figur kuat.

 

Kedua, Partai NasDem mendemonstrasikan jagoan pilpres. Berbeda dengan KIB yang jualan perahu koalisi partai minus figur kunci, Partai NasDem dalam rakernas Juni lalu menyebut tiga nama tokoh yang potensial diusung maju. Secara berurutan mereka ialah Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Bagi Partai NasDem untuk kepentingan politik nasional partai politik harus terbuka bagi seluruh kader terbaik bangsa. Partai politik jangan menghambat figur potensial maju pilpres. Partai NasDem terkesan menjadi partai politik yang siap menyediakan perahu politik, bagi siapa pun yang memiliki kriteria pemimpin masa depan.

 

Strategi politik Partai NasDem diapresiasi berbagai kalangan karena dinilai rela menggelar altar merah bagi siapa pun sosok, yang tak punya partai politik tapi layak diusung. Itu artinya, Partai NasDem menegaskan dirinya sebagai partai politik terbuka, yang siap mengantarkan figur potensial tersebut menjadi pemimpin.

 

Ketiga, potensi koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sedang dijajaki Partai Gerindra dan PKB. Meski belum ada deklarasi resmi, kedua partai politik merasa cocok. Saling beririsan antara partai politik nasionalis dan partai politik Islam. Yang menjadi pertanyaan, mengapa koalisi dua partai politik tak kunjung diresmikan menduetkan Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar, sebagai pasangan capres dan cawapres 2024. Toh, keduanya mengaku punya chemistry seirama. Publik menduga, jangan-jangan Partai Gerinda hanya mau berkoalisi dengan PKB, tetapi tidak dengan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo Subianto.

 

Jalan panjang

 

Politik ialah seni kemungkinan. Demikian diktum politik yang sering didengar khalayak. Maknanya begitu mendalam. Teori dramaturgi Erving Goffman tentang panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage) sangat relevan memotret pergerakan politik dewasa ini.

 

Sesuatu yang tampak di panggung depan tak bisa dibaca hitam putih secara permanen sebab panggung belakang selalu menyuguhkan realitas paradoksal saling bertabrakan yang serbamungkin berubah. Misalnya, Koalisi Indonesia Adil Makmur bubar setelah Prabowo dan Sandiaga Uno kalah Pemilu 2019. Koalisi Merah Putih (KMP) juga rontok efek kalah Pilpres 2014. Satu per satu partai politik pengusung Prabowo, yang berduet dengan Hatta Rajasa waktu itu iman politiknya berubah pindah haluan.

 

Jadi, semua kasak-kusuk yang terjadi belakangan sangat mungkin berubah jelang pemilu. KIB yang mengklaim solid bisa layu sebelum berkembang. Pertemuan informal Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekjen PAN Eddy Soeparno baru-baru ini menjadi kode keras bahwa partai politik yang bernaung di barisan KIB bisa menyusut bahkan bubar jalan. Padahal, bulan madu koalisi ini masih seumur jagung namun godaan politik sudah mulai bermunculan.

 

Fakta lainnya, soal pengakuan PKB yang diam-diam terlibat cinta segitiga dengan PKS dan Partai Demokrat siap membentuk Koalisi Semut Merah. Tak lama kemudian, PKB justru merasa lebih nyaman jika ‘menikah’ dengan Partai Gerindra. Awalnya, mengusung jargon Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya lalu berganti Silaturahim Indonesia Raya. Sayup-sayup, mulai terdengar PKB menyodorkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo Subianto. Kini, kedua partai politik terus saling puji, berbalas pantun mesra di ruang publik, dan merasa bisa saling melengkapi. Entah sampai kapan tanpa ikatan resmi.

 

Begitu pun dengan poros koalisi yang sedang digagas Partai NasDem tak bisa juga dibaca sebatas disambut baik PKS dan Partai Demokrat. Ketiga partai politik ini memang dinilai punya tarikan napas sama ingin melawan dominasi PDIP di Pemilu 2024. Pada saat yang bersamaan, Partai NasDem juga berkomunikasi aktif dengan Partai Golkar dan Partai Gerindra.

 

Korespondensi historis Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Gerindra jauh lebih kuat karena Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto pernah berjuang bersama di Partai Golkar.

 

Ini hanya sekelumit fakta politik mutakhir, yang bisa menjelaskan betapa koalisi politik masih cair dan serbadinamis. Jalanan yang ditempuh begitu panjang, terjal, berliku, dan mendaki. Pemilu masih lama. Apa pun bisa terjadi di kemudian hari.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/508610/jalan-panjang-mencari-teman-koalisi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar