Jalan
Panjang Mencari Teman Koalisi Adi
Prayitno: Dosen Ilmu Politik FISIP UIN
Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik |
MEDIA INDONESIA, 22 Juli 2022
MESKI
pemilu serentak 2024 terbilang masih lama, semua partai politik sudah mulai
saling berkomunikasi. Tentunya melakukan penjajakan koalisi. Secara faktual
banyak bukti sahih yang bisa dijadikan parameter melihat agresivitas
pergerakan partai politik. Mereka mulai pasang kuda-kuda persiapan
menyongsong pesta demokrasi mahaakbar lima tahunan. Ada dua mazhab besar yang
biasanya menjadi role model terbentuknya poros koalisi politik Tanah Air,
yakni koalisi terbentuk di tikungan akhir jelang pemilu, dan koalisi yang
dideklarasikan jauh sebelum pemilu dilaksanakan. Akselerasi
dan pergerakan politik belakangan menegaskan semua partai politik condong
mengikuti mazhab kedua. Menjajaki kemungkinan koalisi sejak dini. Pertemuan
antarelite partai politik nyaris tanpa jeda. Semua ini dilakukan karena
pertarungan Pemilu 2024 lebih kompetitif. Tak ada petahana dan tak ada figur
dominan yang elektabilitasnya menyentuh angka psikologis mengamankan
kemenangan. Penjajakan
koalisi mesti dipahami dalam konteks melawan kutukan ambang batas pencapresan
(presidential threshold) 20%. Suka tak suka, semua partai politik dipaksa
aktif bermanuver mencari mitra yang bisa diajak berkongsi. Bahkan PDIP,
satu-satunya partai politik yang punya tiket emas pilpres, juga mulai
berkomunikasi dengan partai politik lainnya. Itu artinya, koalisi ialah
keniscayaan. Wajib hukumnya bahkan bagi yang merasa kuat sekalipun. Tanda
koalisi Jika
diringkus secara sederhana, setidaknya ada tiga fenomena politik yang bisa
dijadikan variabel membaca tanda-tanda koalisi. Pertama, terbentuknya poros
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Meski koalisi ini belum menentukan jagoan
yang akan diusung, setidaknya Partai Golkar, PAN, dan PPP saling mengikat
komitmen kerja sama. Untuk saat ini ketiganya terlihat masih solid, meski
sangat mungkin goyang rentan masuk angin karena godaan politik yang jauh
lebih menggiurkan. KIB
mengeklaim, menjadi poros politik pertama yang berani mendobrak fatsun
politik lama yang sering main di tikungan akhir, serta dominan jualan figur.
Dalam batas tertentu, argumen KIB relatif masuk akal. Koalisi seharusnya
lebih menjual program dan visi besar. Meski sejak terbentuk poros koalisi ini
belum nyaring bicara problem krusial rakyat. Misalnya kisruh minyak goreng,
harga kebutuhan pokok meroket, dan stabilitas ekonomi tak menentu. Wacana
yang diembuskan sebatas daur ulang isu lawas melawan politik identitas, serta
mengakhiri polarisasi. Pada ujung spektrum lain, jualan narasi politik
normatif bagian dari alibi KIB karena tak punya figur kuat. Kedua,
Partai NasDem mendemonstrasikan jagoan pilpres. Berbeda dengan KIB yang
jualan perahu koalisi partai minus figur kunci, Partai NasDem dalam rakernas
Juni lalu menyebut tiga nama tokoh yang potensial diusung maju. Secara
berurutan mereka ialah Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo.
Bagi Partai NasDem untuk kepentingan politik nasional partai politik harus
terbuka bagi seluruh kader terbaik bangsa. Partai politik jangan menghambat
figur potensial maju pilpres. Partai NasDem terkesan menjadi partai politik
yang siap menyediakan perahu politik, bagi siapa pun yang memiliki kriteria pemimpin
masa depan. Strategi
politik Partai NasDem diapresiasi berbagai kalangan karena dinilai rela
menggelar altar merah bagi siapa pun sosok, yang tak punya partai politik
tapi layak diusung. Itu artinya, Partai NasDem menegaskan dirinya sebagai
partai politik terbuka, yang siap mengantarkan figur potensial tersebut
menjadi pemimpin. Ketiga,
potensi koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sedang dijajaki Partai
Gerindra dan PKB. Meski belum ada deklarasi resmi, kedua partai politik
merasa cocok. Saling beririsan antara partai politik nasionalis dan partai
politik Islam. Yang menjadi pertanyaan, mengapa koalisi dua partai politik
tak kunjung diresmikan menduetkan Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar,
sebagai pasangan capres dan cawapres 2024. Toh, keduanya mengaku punya
chemistry seirama. Publik menduga, jangan-jangan Partai Gerinda hanya mau
berkoalisi dengan PKB, tetapi tidak dengan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres
Prabowo Subianto. Jalan
panjang Politik
ialah seni kemungkinan. Demikian diktum politik yang sering didengar
khalayak. Maknanya begitu mendalam. Teori dramaturgi Erving Goffman tentang
panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage) sangat
relevan memotret pergerakan politik dewasa ini. Sesuatu
yang tampak di panggung depan tak bisa dibaca hitam putih secara permanen
sebab panggung belakang selalu menyuguhkan realitas paradoksal saling
bertabrakan yang serbamungkin berubah. Misalnya, Koalisi Indonesia Adil
Makmur bubar setelah Prabowo dan Sandiaga Uno kalah Pemilu 2019. Koalisi
Merah Putih (KMP) juga rontok efek kalah Pilpres 2014. Satu per satu partai
politik pengusung Prabowo, yang berduet dengan Hatta Rajasa waktu itu iman
politiknya berubah pindah haluan. Jadi,
semua kasak-kusuk yang terjadi belakangan sangat mungkin berubah jelang
pemilu. KIB yang mengklaim solid bisa layu sebelum berkembang. Pertemuan
informal Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekjen PAN Eddy Soeparno baru-baru
ini menjadi kode keras bahwa partai politik yang bernaung di barisan KIB bisa
menyusut bahkan bubar jalan. Padahal, bulan madu koalisi ini masih seumur
jagung namun godaan politik sudah mulai bermunculan. Fakta
lainnya, soal pengakuan PKB yang diam-diam terlibat cinta segitiga dengan PKS
dan Partai Demokrat siap membentuk Koalisi Semut Merah. Tak lama kemudian,
PKB justru merasa lebih nyaman jika ‘menikah’ dengan Partai Gerindra.
Awalnya, mengusung jargon Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya lalu berganti
Silaturahim Indonesia Raya. Sayup-sayup, mulai terdengar PKB menyodorkan
Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo Subianto. Kini, kedua partai
politik terus saling puji, berbalas pantun mesra di ruang publik, dan merasa
bisa saling melengkapi. Entah sampai kapan tanpa ikatan resmi. Begitu
pun dengan poros koalisi yang sedang digagas Partai NasDem tak bisa juga
dibaca sebatas disambut baik PKS dan Partai Demokrat. Ketiga partai politik
ini memang dinilai punya tarikan napas sama ingin melawan dominasi PDIP di
Pemilu 2024. Pada saat yang bersamaan, Partai NasDem juga berkomunikasi aktif
dengan Partai Golkar dan Partai Gerindra. Korespondensi
historis Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Gerindra jauh lebih kuat
karena Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto pernah berjuang
bersama di Partai Golkar. Ini
hanya sekelumit fakta politik mutakhir, yang bisa menjelaskan betapa koalisi
politik masih cair dan serbadinamis. Jalanan yang ditempuh begitu panjang,
terjal, berliku, dan mendaki. Pemilu masih lama. Apa pun bisa terjadi di
kemudian hari. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/508610/jalan-panjang-mencari-teman-koalisi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar