Hari-Hari Terakhir Sutan Sjahrir Yus Ariyanto : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 21 Juli 2022
Sutan Sjahrir
tak bisa bicara. Sebelumnya, pada awal 1965, ia terjatuh di kamar mandi Rumah
Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Serangan stroke berulang. Dokter
melakukan operasi. Tangan dan kaki kanan bisa digerakkan, tapi kemampuan
bicara lenyap. Kondisi kesehatannya terus memburuk. Pada 21 Juli
1965, persis 57 tahun silam, perdana menteri pertama Republik Indonesia itu
diberangkatkan ke Zurich, Swiss, untuk berobat. Ia didampingi sang istri,
Siti Wahjunah atau Poppy, dan kedua anak mereka, Kriya Arsyah atau Buyung dan
Siti Rabyah Parvati atau Upik. Keberangkatan
dimungkinkan setelah Poppy menyampaikan permohonan ke Presiden Sukarno agar
suaminya diperkenankan berobat ke luar negeri. Sukarno mengabulkan. Hanya,
seperti dicatat sejarawan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in
Indonesia, ada satu syarat: pengobatan tidak boleh di Belanda. Pilihan jatuh
ke Swiss lantaran alasan bahasa, yaitu Sjahrir bisa sedikit berbahasa Jerman
– yang dipakai sebagian warga di sana. Jurnalis
Rosihan Anwar turut mengantarkan ke Bandara Kemayoran. “Bung akan baik lagi,”
kata Rosihan lalu mencium kedua pipi Sjahrir, seperti dituliskannya dalam
Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965. Sjahrir hanya
mengeluarkan bebunyian tanpa makna. Itulah hari terakhirnya di Tanah Air
sebelum wafat. Pendiri Partai
Sosialis Indonesia (PSI) tersebut diberangkatkan ke Swiss dengan berstatus
tahanan. Menjelang fajar, pada 16 Januari 1962, ia dicokok di rumahnya di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Juga ditangkap mantan Menteri Luar Negeri
Anak Agung Gde Agung, politisi PSI Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II
Alkadri. Pun ditahan para petinggi Masyumi: Prawoto Mangkusasmito, Yunan
Nasution, Isa Anshary, dan Mohamad Roem. Tuduhan
dialamatkan ke mereka setelah menghadiri upacara ngaben Raja Gianyar pada 18
Agustus 1961. Anak Agung Gde Agung, putra sang raja, mengundang sejumlah
rekan untuk menghadiri ngaben di kampung halamannya. Para undangan khusus itu
adalah mantan Wapres Mohammad Hatta, politisi PSI Hamid Algadri, Sjahrir,
Sultan Hamid, Soebadio, dan Roem. Upacara
berlangsung lancar. Tapi beberapa bulan kemudian, bergulir laporan ke pihak
intelejen: para tokoh hadir di Gianyar untuk membahas upaya penggulingan
pemerintahan Sukarno. Semua ini
terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang awalnya ditandai Dekrit 5 Juli
1959. Sukarno kembali menjadi kepala pemerintahan, bukan lagi sekadar simbol
seperti masa Demokrasi Liberal. Di sisi kanan, ada Angkatan Darat. Partai
Komunis Indonesia (PKI) menempati posisi kiri. Keduanya bersaing,
memperebutkan rangkulan Pemimpin Besar Revolusi. Pada Agustus
1960, PSI dan Masyumi telah dibubarkan karena dianggap terlibat
PRRI-Permesta. Di luar tuduhan itu, keduanya niscaya juru kritik paling
lantang terhadap Sukarno di awal Demokrasi Terpimpin. Penggranatan di Makassar Sebuah
peristiwa penting dan terkait Sukarno menjadi titik picu berikutnya. Pada 7
Januari 1962, Sang Proklamator berkunjung ke Makassar. Tiba-tiba sebuah
granat dilemparkan ke iring-iringan mobilnya. Ia selamat tapi tiga warga
tewas dan puluhan lain terluka. Insiden ini lantas ditarik sampai ke tudingan
konspirasi yang dibicarakan di Gianyar. Demikianlah.
Kecuali Hatta dan Algadri, para tokoh nasional yang hadir di Gianyar dicokok
polisi militer. Konon perintah datang dari Penguasa Perang Tertinggi
(Paperti) yang dipimpin Sukarno. Surat penahanan diteken Menteri Luar
Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio dan Menko Pertahanan
Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Sjahrir, Roem,
dan Prawoto diinapkan di sebuah rumah di Jl Daha, Kebayoran Baru.
Masing-masing diberi sebuah kamar. Lokasi ini dirahasiakan, bahkan dari
keluarga. “Tapi, melalui
Ditpom, keluarga boleh mengirim makanan, pakaian, buku, dan lain-lain barang
yang kami perlukan….Salah satu barang yang pertama kami minta dari keluarga
adalah foto keluarga. Foto itu mempunyai fungsi untuk dilihat, kalau kami
merasa kangen dengan keluarga,” kenang Roem dalam esai Kekeliruan Sjahrir
(1966). Pernah pada
suatu pagi, Roem masuk ke kamar Sjahrir untuk mengantarkan surat kabar.
Terlihatlah si empunya tempat sedang menciumi foto anak-anaknya. Diplomat dan
mantan menteri di sejumlah kabinet itu menyaksikan hidung Sjahrir yang merah
dan air mata yang mengembang. Sjahrir sangat
mencintai anak-anak. Pulang dari pembuangan di Banda Neira, pria kelahiran 5
Maret 1909 itu memiliki tiga anak angkat: Lili, Mimi, dan Ali. Bisa
dibayangkan kepedihan hati berpisah dengan Buyung dan Upik. Saat ayah
dijemput aparat, Buyung baru 5 tahun, Upik 2 tahun. Dua bulan
kemudian mereka diboyong ke penjara di Jalan Wilis, Madiun, Jawa Timur. Dalam
esai Bung Kecil yang Berbuat Besar (1981), Roem menulis, Sjahrir kerap
menyendiri saat di Madiun. Saban malam para tahanan main bridge atau
scrabble, namun pria yang kuliah hukum di Leiden itu tak pernah ikut. Agak
aneh mengingat ia ditahan bersama orang-orang yang dikenalnya secara dekat,
kecuali Sultan Hamid. Menurut
Rosihan, penahanan kali ini lebih berat ketimbang pembuangan di Boven Digul,
di pelosok nun jauh Papua. Dulu masih bujangan, sekarang Sjahrir sudah
berkeluarga dan memiliki anak. Kenyataan harus terpisah dari orang-orang
tercinta sangat mengganggu pikirannya. Protes Bung Hatta Penahanan
Sjahrir dan kawan-kawan memancing protes. Salah satunya berasal dari Hatta.
Seperti diceritakan Rosihan dalam Sebelum Prahara, Hatta menulis surat untuk
Sukarno. Semula surat tersebut sangat keras, misalnya, dengan menyebut
tindakan penangkapan sebagai “tindakan kolonial.” Tapi kemudian Hatta agak
melunak, termasuk membuang frasa tersebut. “Saya yakin,
Sjahrir dan lainnya itu prinsipiil menentang segala macam teror dalam politik
karena bertentangan dengan sosialisme, dengan peri kemanusiaan…Mereka itu
tidak segan melakukan oposisi yang tegas dalam politik, seperti ternyata
dalam pergerakan mereka dahulu, tetapi akan ikut dengan perbuatan teror, itu tidak
masuk akal,” tulis Hatta dalam suratnya -- surat yang tak digubris. Sukarno
agaknya meyakini benar keputusan memenjarakan Sjahrir karena percaya Bung
Kecil itu memang ingin memakzulkannya. “Aku dapat
memahami, bila orang-orang yang tidak senang mencoba membunuhku. Karena itu
aku pun memahami, bahwa aku harus membalas dan berusaha menangkapnya.
Beberapa waktu lalu Sjahrir mengadakan komplotan untuk menumbangkanku dan
merebut pemerintahan. Sjahrir sekarang berada dalam tahanan. Aku tidak
dendam. Aku menyadari, ini adalah pertarungan hebat antara dua pihak yang
bertentangan dalam mana aku terlibat. Pertarungan untuk mempertahankan
hidup,” ujar Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia. Pada awal
November 1962, Sjahrir dipindahkan dari Madiun ke RSCM Jakarta. Kamarnya
dijaga para prajurit. Tak boleh dijenguk. Hanya pada hari Minggu, dengan izin
Kejaksaan Agung, keluarga dekat boleh mengunjungi. Pada suatu
ketika, Hatta mesti check up ke RSCM. Ia menyempatkan diri menjenguk Sjahrir.
Kunjungan ini tak bisa dicegah tapi beberapa hari kemudian Sjahrir dipindah
ke RSPAD Gatot Subroto dengan penjagaan lebih ketat. Dari RSPAD, ia
dikirim ke rumah tahanan di kawasan Jakarta Kota. Sementara, Poppy menulis
surat ke Sukarno dan menunggu. Tak lama berselang, Sjahrir dipindahkan lagi
ke RTM Budi Utomo. Setelah
bertahun-tahun, akhirnya izin berobat ke luar negeri terbit. Sebuah apartemen
disiapkan untuk Sjahrir dan keluarga di pinggiran kota Zurich. Sejumlah teman
pun satu per satu menyambangi. Salah satunya, mantan Kepala Staf Angkatan
Perang RI, TB Simatupang, yang mencatat begini dalam esai Apa Arti Sutan
Sjahrir bagi Kita Sekarang Ini? (1980): “Kami makan siang dan saya
bercakap-cakap sebentar dengan Zus Pop. Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi
tetap memperlihatkan perhatian yang besar terhadap apa yang kami bicarakan.” Saat
Simatupang pamit, Sjahrir bergerak mengambil topi, mantel, dan syal.
Permintaan Poppy agar sang suami tak ikut mengantar diabaikan. Mereka bertiga
jalan kaki menuju halte bus. Malang tak
dapat diadang. Tekanan darah Sjahrir kembali melonjak sangat tinggi. Ia
dilarikan ke rumah sakit. Setelah tujuh hari terbaring koma, pada 9 April
1966, Sjahrir wafat -- belasan ribu kilometer dari Tanah Air yang sangat dicintainya. Enam hari
setelah kematiannya, turun keputusan Sukarno soal penobatan Sjahrir sebagai
“Pahlawan Nasional.” Jenazah
Sjahrir diterbangkan ke Indonesia. Pada 19 April 1966, puluhan ribu orang
berdiri di sepanjang jalan menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata untuk
memberi penghormatan. Hujan turun deras. Hatta, senior dan sahabat dekatnya
sejak era kolonial, menyampaikan pidato perpisahan. "Ia
berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka.
Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam
tahanan Republik Indonesia yang merdeka," kata Hatta. Saat di
Madiun, Roem bilang, Sjahrir mengaku keliru. Ia dibui dan dibuang pada masa
kolonial. Namun, Sjahrir tak pernah menyangka bakal menjadi tahanan politik
ketika Indonesia telah merdeka. Wafat sebagai
tahanan, ia tidak pernah dihadapkan ke pengadilan, tidak pernah punya
kesempatan membela diri. ● |
Sumber
: https://tirto.id/hari-hari-terakhir-sutan-sjahrir-guiD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar