Semarak
Awal Tahun Ajaran Baru Anggi
Afriansyah : Peneliti sosiologi pendidikan di
Pusat Riset Kependudukan BRIN |
MEDIA NDONESIA 19 Juli 2022
AWAL
tahun ajaran baru tahun ini terasa lebih semarak. Anak-anak kembali masuk
sekolah secara aktif, pembelajaran tatap muka sudah diterapkan. Meriah sekali
awal tahun ajaran tahun ini ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Di tengah
semarak situasi sekolah, tentu ada beberapa poin yang perlu diperhatikan
bersama. Pertama,
perhatian terhadap situasi psikologis anak. Anak-anak yang terbiasa di rumah
tentu akan mengalami situasi yang berbeda ketika harus bertemu guru ataupun
teman-teman di sekolah. Tidak semua anak memiliki kemampuan untuk mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru. Orangtua dan pihak sekolah harus dapat mengawal
anak-anak memasuki kehidupan persekolahan. Kedua belah pihak harus melakukan
komunikasi intensif agar anak-anak dapat memasuki dunia baru dengan gembira
dan bersemangat. Kedua,
penguatan nilai-nilai sosial. Ada banyak ragam nilai yang terserak di masyarakat
sekolah. Dalam perspektif sosiologis, sering ditempatkan sebagai arena
penguatan nilai. Penting bagi pihak sekolah untuk memetakan nilai-nilai
sosial apa yang dibutuhkan bagi anak-anak dalam mengarungi kehidupan saat ini
dan nanti. Internalisasi nilai-nilai tersebut sangat penting bagi tumbuh
kembang anak. Dalam
hal ini, nilai yang coba diinternalisasikan tidak akan ampuh jika menggunakan
pola doktrinasi. Selain pemahaman terkait dengan nilai-nilai sosial, praktik
secara langsung juga akan lebih ampuh. Solidaritas, kepedulian, empati,
misalnya, disebutkan menjadi nilai-nilai sosial yang menjadi penting di
tengah hiruk pikuk dunia yang serbaindividualis hari-hari ini. Internalisasi
nilai-nilai sosial tentu sangat bergantung pada visi dan misi sekolah. Ketiga,
pengembangan karakter. Sudah sering disebutkan bahwa pendidikan karakter
sangatlah penting dan mendasar. Bahkan, dalam konteks kebijakan pendidikan di
Indonesia, kita mengenalnya menjadi pendidikan karakter, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, dan lain sebagainya. Pemerintah sangat menyadari
pentingnya karakter. Mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradap berdasarkan falsafah Pancasila, misalnya,
disampaikan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional
2005-2025. Nilai
religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong juga diamanatkan
pada Peraturan Presiden RI No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter. Sekarang ada profil pelajar Pancasila dengan enam ciri, yaitu
beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berkebinekaan global,
bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Semua
nilai tersebut tentu baik. Namun, pertanyaannya, bagaimana agar nilai
tersebut melekat pada diri anak? Tentu perlu desain yang komperhensif dari
sekolah. Untuk anak sekolah dasar, misalnya, apakah sekolah memiliki peta
jalan, dalam enam tahun anak-anak di sekolah apa yang akan menjadi fokus
penguatan karakter? Pola pendidikan apa yang akan diberikan agar anak mampu memiliki
profil pelajar Pancasila? Semua
bukan hanya sebatas di pemahaman, melainkan juga lebih kepada bagaimana
implementasi yang dapat dilakukan anak-anak secara mudah. Dari amatan
sementara, banyak sekolah yang sudah mencoba menginternalisasikan nilai-nilai
tersebut, tetapi masih dalam sebatas pemahaman bagi siswa dan kurang kreatif
ketika berupaya membangun nilai-nilai itu dalam aktivitas keseharian. Keempat,
kemampuan menilai diri dan merefleksikannya. Sekolah tampaknya perlu kerja
keras untuk membuat anak-anak dapat menjadi anak-anak yang memiliki refleksi
diri yang baik. Pertanyaan-pertanyaan filosofis nan sederhana, seperti ‘untuk
apa kamu sekolah?’, ‘untuk apa kamu belajar?’, ‘mengapa saya harus
bersekolah?’, ‘mengapa saya harus belajar materi ini?’, dan lain sebagainya
harus jadi ajuan utama ketika memulai kegiatan. Refleksi itu penting agar
anak tidak mudah terombang-ambing di tengah kehidupan yang semakin kompleks,
agar anak-anak tahu apa yang dimau dan dalam jangka panjang mereka tahu visi
dan misi hidup mereka. Pembelajar
dan mandiri Kelima,
menjadi sosok pembelajar dan mandiri. Sosok pembelajar dan mandiri dapat
dibangun melalui kegiatan pembelajaran di sekolah ataupun di rumah. Di tengah
situasi yang problematik dan kompleks, menjadi pembelajar dan mandiri menjadi
sangat penting. Anak-anak model ini merupakan mereka yang memiliki rasa ingin
tahu tinggi. Mereka biasanya mau mengulik berbagai hal dengan rasa bergairah.
Gairah tinggi belajar menjadi kunci dalam memahami berbagai aspek dalam kehidupan.
Fokus pada tujuan yang ingin digapai dan tidak mudah menyerah. Semua didasari
keinginan untuk terus belajar dan tidak bergantung pada asupan pengetahuan
dari guru dan orang dewasa. Keenam,
beri kesempatan anak berpendapat dan bertanya. Membangun masyarakat
demokratis dimulai dari berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks pendidikan,
memberi kesempatan anak berpendapat dan bertanya menjadi sangat penting.
Anak-anak yang memiliki ruang berpendapat akan lebih eksploratif dalam
memandang kehidupan. Ketika anak-anak diberi kesempatan bersuara, mereka
dapat mengartikulasikan berbagai gagasan yang ada di dalam pikiran mereka
secara sistematis dan logis. Membangun daya kritis dimulai dari memberi
kesempatan anak berpendapat dan bertanya. Dari sini juga kemampuan berdialog
dan menyikapi perbedaan dikukuhkan. Ketujuh,
beri ruang untuk membaca buku meski dunia semakin terdigitalisasi dan
anak-anak bisa dengan mudah membaca melalui gawai mereka. Namun, membaca buku
tetap menjadi hal yang perlu diasah dan dikuatkan. Buku-buku pelajaran
biasanya kaku dan tidak mencerahkan. Maka itu, perlu ada desain pembelajaran
di sekolah yang memungkinkan anak-anak untuk membaca ragam buku yang sesuai
usia. Buat program yang mana anak-anak memiliki waktu untuk membaca di
sekolah. Membaca buku juga menjadi sarana untuk membangun siswa yang
imajinatif dan reflektif. Membangun habitat membaca perlu upaya yang
sistematis. Kedelapan,
tidak fokus pada sisi akademik. Ada anak-anak yang memang berbakat mencerna
pelajaran dengan cepat. Namun, banyak anak yang kesulitan memahami pelajaran
yang diberikan guru di ruang kelas. Sistem persekolahan memang tampaknya
lebih berpihak pada anak-anak yang cerdas secara akademik. Karena itu, kadang
lupa memperhatikan anak-anak berbakat di bidang lain. Maka itu, diferensiasi
perlakuan di sekolah perlu dikuatkan. Tidak mudah, tetapi harus diupayakan
jika ingin anak-anak melejit potensinya. Ada
banyak hal yang bisa dikuatkan di sekolah. Namun, jika sekolah sudah bisa
menguatkan delapan hal tersebut, tampaknya sekolah akan menjadi tempat yang
lebih semarak dan membuat anak-anak bahagia. Anak-anak akan merayakan
keceriaan di sekolah. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/507632/semarak-awal-tahun-ajaran-baru |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar