Setelah Kominfo
Memaksa PSE Privat Mendaftarkan Aplikasinya Putu Setia :
Wartawan, Sastrawan |
KORAN TEMPO, 24 Juli 2022
Ini era digital. Punya
handphone bukan sesuatu yang mewah. Termasuk bagi penduduk yang selama ini
tercatat di kelurahan sebagai orang miskin. Seorang anggota staf kelurahan
menuturkan banyak diprotes kenapa kiriman raskin—beras untuk orang
miskin—seret belakangan ini. Bagaimana mereka memprotes? Lewat WhatsApp. Orang miskin memprotes
lewat WhatsApp? Kriteria orang miskin versi Badan Pusat Statistik adalah
orang yang penghasilannya sebulan kurang dari Rp 401.220. Ini secara
nasional. Untuk setiap daerah beda lagi. Seseorang tergolong miskin di
Jakarta jika penghasilannya sebulan kurang dari Rp 593.108. Di Kementerian
Sosial sudah tak ada sebutan orang miskin. Bantuan yang diberikan untuk
golongan bawah ini diberi label Program Keluarga Harapan. Tapi istilah yang
hidup di masyarakat tetap saja orang miskin, meski sudah punya handphone. Pemerintah seperti
mendorong setiap orang punya handphone karena di sana tersimpan berbagai
aplikasi. Istilah orang desa adalah “serba digital”. Beli minyak goreng harus
menunjukkan aplikasi PeduliLindungi. Apalagi nanti membeli Pertalite juga
perlu aplikasi. Kegandrungan serba digital ini masuk pula ke hal-hal remeh.
Beli bubur ayam yang cuma Rp 6.000 bisa membayar dengan dompet digital,
semacam Gopay. Itu dilakukan sambil bercanda. Luar biasa majunya desa kita.
Membuka rekening bank tak perlu lagi ke kantor cabang yang jauh. Agen
BRI—salah satu contoh—hampir ada di setiap desa, yang bisa membantu. Lalu maraklah penipuan
lewat “serba digital” ini. Banyak orang yang menyimpan data pribadi, termasuk
data perbankan, di hape-nya. Mereka mudah dibujuk dengan tipu muslihat untuk
membocorkan data itu saat mendapat pesan dari orang yang mengaku sebagai
petugas bank. Mereka baru sadar ditipu ketika saldonya di bank terkuras.
Kasihan mereka, meski secara nominal tidak begitu besar. Tapi orang-orang
lugu seperti itu layak dilindungi. Siapa yang harus
melindungi mereka? Pernah ada ketentuan, setiap pembelian SIM card untuk
telepon seluler, pengaktifannya hanya bisa dilakukan setelah melakukan
registrasi sesuai dengan KTP. Jika hal tersebut masih berlaku, penipu
sesungguhnya mudah dilacak karena nomor hape-nya jelas. Tinggal membuka data
kependudukan. Sayang, ketentuan itu ambyar. Orang mudah gonta-ganti nomor
telepon seluler dan menyerahkan pengaktifannya kepada penjual pulsa. Entah
bagaimana caranya dan data siapa yang dipakai. Apakah Kementerian
Komunikasi dan Informatika tak tertarik melindungi masyarakat yang gandrung
serba digital ini? Kembalikan sistem registrasi itu, bahkan lebih diperketat.
Begitu pula pengelola bank. Tidak adakah aplikasi yang canggih sehingga
pemilik rekening penerima transfer dari penipuan mudah diusut? Di tengah kegandrungan
orang melakukan transaksi digital, upaya melindungi masyarakat dari penipuan
tak kalah pentingnya dengan upaya Kementerian Kominfo memaksa para penyelenggara
sistem elektronik (PSE) mendaftarkan aplikasinya. Seharusnya para provider
telepon seluler juga diwajibkan mendaftarkan dengan benar siapa pembeli SIM
card-nya. Dengan begitu, penipuan lewat pesan ataupun suara bisa langsung
dilacak lewat nomor telepon yang digunakan. Akan lebih hebat lagi
kerja Kementerian Kominfo jika tak berhenti hanya pada pendaftaran aplikasi.
Seharusnya dibarengi dengan ketentuan agar pemakai aplikasi mendaftarkan akun
dengan nama yang sesuai dengan KTP agar tak ada lagi apa yang disebut dengan
akun abal-abal. Orang yang mengumbar caci maki dan fitnah keji, juga penyebar
hoaks, akan mudah ketahuan kalau semua akun sudah terdata siapa pemiliknya
yang sejati. Apakah kita tidak cemas atas keadaan saat ini, di mana merebak
caci maki di media sosial hanya karena sembarang orang bisa membuat akun
dengan menyembunyikan identitasnya? Mumpung sistem
daftar-mendaftar di dunia digital sedang dimulai, sebaiknya semua hal harus
didata dengan cermat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar