Citayam Fashion Week ”Kami
Cuma Butuh Ruang...” Riana A Ibrahim dan Elsa Emiria
Leba : Wartawan Kompas |
KOMPAS, 24 Juli 2022
Nama Citayam-Bojong Gede, Jawa Barat, kini mendadak
menjadi buah bibir di dunia maya dan di dunia nyata. Serbuan anak muda dari
Citayam dan daerah lain melantai ke jantung Ibu Kota untuk mencari tempat
nongkrong justru ”mendiktekan” tren gaya hidup urban ala mereka. Dari
pakaian, perilaku, hingga deretan istilah khas. Citayam sudah ada sejak zaman Belanda. Lokasi
perkebunan dan persawahan dengan setu yang mengairi dikendalikan oleh tuan
tanah Belanda kala itu. Ratusan tahun berselang diikuti revitalisasi jalur
kereta api Jakarta-Bogor yang melintas, kebun dan sawah bersalin rupa menjadi
rumah penduduk yang sebagian tergusur dari Ibu Kota. Hanya setu yang masih bertahan meski luasannya
berkurang. Setu Citayam namanya yang menjadi pusat kehidupan warga setempat.
Dari pinggir setu ini, cerita bermula. Sekitar lima menit melewati gang sempit selebar 1,5
meter dengan pemandangan rumah-rumah petak tua berdempetan dan sampah rumah
tangga yang tidak terurus di luarnya, hamparan setu berwarna hijau menyambut.
Terlihat kapal eretan di beberapa titik untuk menghubungkan kampung satu dan
lainnya yang terpisah dengan setu. Jika mengacu pada penanda arah di Stasiun Citayam,
kampung yang mengitari Setu Citayam itu merupakan Kampung Lio. Sementara
warga setempat menyebut kampung yang terletak di seberang Stasiun Citayam ini
sebagai Kampung Pinggir Setu. Di siang yang terik itu, warga memancing atau
sekadar duduk sambil ngobrol. Sementara itu, anak-anak menikmati udara luar
sambil duduk di pinggir setu. Ada juga yang bermain atau berlarian ke sana
kemari sambil saling menggoda dan tertawa meski tidak banyak ruang. Namun, begitu mendengar kata SCBD yang merupakan
akronim dari Sudirman-Citayam-Bojong Gede-Depok, aktivitas mereka terhenti
sejenak dan dengan fasih menyebutkan beberapa nama yang sedang naik daun dari
fenomena itu. Bahkan, sebagian remaja yang tengah ngadem di gubuk
desa yang juga menjadi tempat mengaji itu merupakan para pemuda yang ikut
meramaikan Dukuh Atas, Jakarta, yang saat ini viral. Ada juga kelompok remaja
yang tengah asyik kongkow di sebuah warung kopi dengan konsep perdesaan dekat
gubuk desa itu. Mereka juga pernah menghabiskan waktu di Dukuh Atas. ”Ke sana, ya, cuma duduk-duduk gabut, ngopi aja. Ada
yang bikin konten juga. Pemandangannya enak di sana. Di sekitaran sini enggak
ada yang begitu. Ga pengin banget juga viral, dikata kita seleb apa. Cuma
butuh ruang. Ha-ha-ha,” ujar Perdiansyah (16), remaja Kampung Lio, Citayam,
yang disepakati oleh keempat temannya yang saat itu juga sedang ngopi dan
bermain gitar. Mereka mengaku senang jika unggahan mereka di media
sosial direspons dengan banyak likes atau berhasil menambah follower. Itu pun
sebenarnya tertuju hanya pada lingkaran pertemanannya, bukan yang kemudian
menyebar luas tak terkendali, bahkan viral nyatanya membuat mereka tak
nyaman. Seperti Ali yang masuk salah satu akun konten kreator Tiktok dan
videonya ditonton hingga 3,4 juta viewers sejak diunggah pada 16 Juni 2022. ”Nyesel juga. Jadi dikatain gitu, ya, di sekolah,
ya, di sini (di lingkungan rumah) juga. Datang ke sana cuma ikut teman aja,
main. Ada yang ngajak wawancara. Ditanya mau nembak apa enggak. Padahal, ketemunya
sama cewek itu, ya, di situ. Enggak lagi, deh,” ujar Ali Uroihdi (15) ketika
dijumpai di dekat rumahnya seusai memancing belut di dekat setu. Ia memancing belut untuk mencari uang tambahan
sepulang sekolah. Belutnya dijual dengan hitungan per ember. Uang dari
berjualan belut itu kadang digunakan untuk beli kuota, kadang digunakannya
untuk ongkos main ke Dukuh Atas. ”Pas yang terus viral itu, cuma bawa Rp
12.000, belum termasuk beli tiket kereta. Biasanya kadang Rp 50.000 atau Rp
40.000 ribu,” ujar Ali yang ibunya bekerja di kantin dan ayahnya marbot
mushala. Ali masih sekolah, sementara Perdiansyah, Riana Gita
(16), Muhammad Rizky (17), dan Ahmad Faisal (17) sudah tak lagi bersekolah.
Lepas SMP, mereka tak berkesempatan lagi untuk meneruskan pendidikan. ”Masih
pengin sekolah. Cita-citanya pengin jadi dokter tadinya, tapi dari orangtua
enggak bisa sekolah lagi,” ungkap Gita yang sempat bekerja di pabrik. Rizky Nur Nabila (16) pernah ingin menjadi pilot,
tetapi kini dirinya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor di
Tambun setelah putus sekolah. Pergi ke Dukuh Atas pun seolah menjadi pelepas
rasa penat sekaligus mencuci mata dengan suasana baru. Terlebih lagi
lokasinya mudah dijangkau dengan ongkos yang murah menggunakan kereta rel
listrik yang kini terhubung. ”Ada di Cibinong, tapi beda. Lagian kalau ke situ
ribet, enggak punya motor kitanya, kan. Ini tinggal jalan kaki udah stasiun.
Bolak-balik juga cuma Rp 8.000,” ujar Rizky. Terjangkau Alasan ini pula yang membawa Rahmawati (18) dan Salsabila
(15) dari Kampung Utan masuk ke gerbong kereta rel listrik di Stasiun
Citayam, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/7/2022) sore itu. Kedua kakak beradik
ini mengenakan kaus gombrong, celana baggy jeans, dan sepatu kets hits.
Rupanya mereka sudah janji bertemu Gayo (18) dan Akmal (15) yang naik dari
Stasiun Depok. Sesampainya di Dukuh Atas, mereka duduk di tangga
seberang hotel Holiday Inn Express. Kondisinya cukup ramai. Ratusan
pengunjung tengah menonton ”peragaan busana” dadakan dari anak muda modis yang
melangkah di atas zebra cross. Ada pula yang memilih untuk duduk di Warung
Dua yang bersisian dengan kedai kopi kekinian. Warung Dua menawarkan jajanan,
seperti gorengan, kopi, dan minuman dingin, dengan harga murah. Tak sedikit yang memilih berwara-wiri sambil sibuk
berkenalan agar diperhatikan dan diajak membuat konten atau hanya duduk-duduk
saja sambil membeli minuman dingin dari abang penjaja kopi bersepeda yang
dikenal dengan starling atau Starbucks keliling. Sementara di sekeliling
mereka banyak orang yang wajahnya cukup familier di sosial media sedang asyik
membuat konten berbaur dengan media yang juga ingin mengabadikan momen
keramaian itu. Riuhnya usai viral sebutan Citayam Fashion Week di
media sosial dari sebuah akun Tiktok yang menyoroti gaya berpakaian anak-anak
mejeng di sekitaran Dukuh Atas itu memiliki dua sisi. Sebagian menikmati dan
berharap bisa juga kecipratan tenar, sebagian lagi ada yang merasa malas
karena niatnya sederhana saja untuk bermain. Kalaupun membuat konten memang
tidak ditujukan untuk khalayak luas. Dukuh Atas sendiri tidak hanya berisi anak-anak
Citayam. Ada dari Tangerang, Bekasi, Rangkas Bitung, hingga dari sekitaran
Jakarta, seperti Kemayoran, Klender, dan Tanjung Priok. Sebagian dari mereka
putus sekolah. Mereka sudah menjajaki kawasan itu sejak 2019. Namun, pada
2021, setelah kondisinya semakin dipercantik dan pembatasan karena pandemi
mulai longgar, jumlah yang datang pun makin banyak. Baru pada awal 2022, para konten kreator membuat
konten di sana dengan konsep mewawancarai mereka yang nongkrong berbingkai
hubungan asmara si remaja. Pertama kali, justru nama Nadia dan Tegar yang
muncul. Kemudian, muncul nama pemengaruh baru. Hingga memasuki pertengahan Juni 2022, bertepatan
dengan libur sekolah yang meningkatkan jumlah pengunjung di kawasan itu,
sebuah akun Tiktok sengaja memotret aneka gaya mereka, lalu diberi sebutan
Citayam Fashion Week, yang semula bernada sinis, tetapi justru ditangkap
berbeda oleh anak-anak tersebut. Mereka malah jadi getol berdandan. ”Walau Citayam beda sama kota, tapi gaya dan outfit
kami enggak kalah keren dari orang Jakarta, kayak anak Jaksel. Aku jadi
bangga aja orang tahu Citayam gitu,” kata Rahmawati tersipu. Perebutan
ruang Pengamat komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy
menilai, ramainya kawasan Dukuh Atas yang mengantarkan pada fenomena Citayam
Fashion Week ini terjadi karena kerinduan besar anak muda akan ruang
berekspresi setelah pandemi dan kebutuhan ruang publik yang layak untuk
hiburan dan rekreasi. Citayam, lanjut Idi, merupakan representasi
daerah-daerah yang mengalami peminggiran ruang dan psikologis. Citayam ini
masuk kecamatan Tajur Halang, kabupaten Bogor. Mengacu pada Badan Pusat
Statistik, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak
nasional, yakni 491,24 ribu pada Maret 2021. ”Kehadiran mereka di sana, termasuk yang di bawah
secara ekonomi, menunjukkan siapa pun bisa merebut ruang itu dan kesenjangan
seolah hilang,” kata Idi. Apalagi jika fenomena ini muncul secara organik,
tanpa penggerak, maka bisa bertahan lama, bahkan ditiru daerah lain. ”Biasa
yang tumbuh dari bawah akan sulit hilang, kecuali interaksi yang terjadi
membuatnya menjadi ruang interaksi yang negatif,” ujar Idi. Di sisi lain, bentuk ekspresi anak muda lewat busana
ini dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan atas selera arus utama yang
dikuasai kalangan mapan meski tidak ada niat dari para anak muda itu untuk
melakukan perlawanan seperti yang terjadi di Jepang dengan Harajuku atau di
Eropa pasca-Perang Dunia II. Mereka hanya sesederhana mencari ruang yang
sesuai untuk menghibur diri dan bersosialisasi. Seperti tak mau kalah atau tertinggal, para politisi
hingga pesohor ikut juga beraksi di sana. Anak-anak tersebut kembali hanya
sebagai penonton yang menyaksikan si populer mencuri perhatian. Walau
sebagian mengaku aksinya sebagai bentuk rangkulan kepada anak-anak ini dengan
mengajari cara bergaya hingga mengajak kolaborasi, terasa ironis mengingat
sebelumnya dari kalangan ini kerap sinis dan menjadikan anak-anak ini
olok-olokan. ”Kehadiran elite di sana bisa dilihat dari dua sisi.
Bisa juga sebagai pencaplokan ruang kreativitas yang sudah dibuat orang lain
untuk membangun citra atau bisa sebagai legitimasi tempat itu cocok untuk
melakukan hal kreatif,” kata Idi. Fenomena yang disebut juga sebagai Haradukuh ini
sejatinya bisa menjadi bentuk kritik juga bagi pemerintah di daerah luar
Jakarta itu agar tidak sibuk membangun gedung atau perumahan saja, tetapi
abai dengan kesejahteraan warganya, termasuk pemenuhan ruang publik yang
memadai dan menarik. Meski di sisi lain, Jakarta pun menjadi lebih inklusif
untuk semua kalangan. Sekali lagi, mereka hanya para remaja yang mencari
ruang untuk berekspresi. Tak perlu juga mereka yang bergelimang ruang dengan
segala privilesenya ikut nebeng bertameng alasan bijak. Apa salahnya
memberikan mereka sedikit privasi di tengah keterbatasan ruang dengan tetap
diarahkan agar mereka mampu menjadi versi terbaik dari diri mereka dan tidak
kebablasan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/gaya-hidup/2022/07/23/kami-cuma-butuh-ruang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar