Dari
Drama ke Drama Budiman Tanuredjo : Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 23 Juli 2022
Dunia hukum
Jakarta terasa begitu pengap. Misteri tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua
Hutabarat, Jumat 8 Juli 2022, belum terungkap. Padahal, sudah dua minggu
kasus itu jadi perbincangan publik. Presiden Joko Widodo dua kali
mengingatkan Polri agar kasus itu dibuka apa adanya. ”Tak perlu
ditutup-tutupi,” tegas Presiden Jokowi. Cerita bervariasi. Variasi cerita berkembang di
media sosial. Tak bisa dibedakan lagi mana fakta, makna fiksi, mana
halusinasi. Siapa korban, siapa saksi. Semuanya kabur atau sengaja
dikaburkan. Kisah Bhayangkara Dua (Bharada) E, yang dikonstruksikan Polri
terlibat tembak-menembak dengan Brigadir J, sosoknya tidak pernah muncul ke
publik. Entah sampai kapan drama ”Duren Tiga” akan berakhir.
Apakah akan berseri-seri seperti sinetron di televisi? Langkah cepat
kepolisian meningkatkan kasus tewasnya Brigadir J ke penyidikan merupakan
sinyal positif, meski publik belum tahu kasus apa dan kasus mana yang
ditingkatkan ke penyidikan. Tinggal menunggu siapa yang bakal jadi tersangka. Drama Duren Tiga seperti menggantikan drama
gratifikasi Mandalika dengan aktor Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Lili menulis surat pengunduran diri sebagai Wakil Ketua KPK kepada Presiden
Jokowi ketika Dewan Pengawas KPK akan menyidangkannya dalam dugaan
pelanggaran etik. Presiden mengabulkan pengunduran diri. Dewan Pengawas KPK
menggugurkan persidangan etik. Alasannya, Lili sudah bukan lagi insan KPK.
Namun, apakah benar Lili menerima gratifikasi berupa tiket dan akomodasi
untuk menonton MotoGP di Mandalika, belum terkonfirmasi karena Dewas
menggugurkan kasus itu. Ibarat sebuah serial sinetron, kisah ini belum the
end. Semuanya dibiarkan menggantung! Drama di republik ini terus berganti-ganti. Ada pula
kisah di Mahkamah Konstitusi yang memunculkan rivalitas sunyi di kalangan
hakim konstitusi untuk memperebutkan posisi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Hakim MK saling bersaing untuk menjadi Ketua MK. Ini dampak dari revisi UU MK
dan putusan uji materi UU MK oleh MK sendiri. MK memutuskan pemilihan Ketua
MK akan dilakukan paling lambat sembilan bulan setelah putusan. Seorang budayawan Yogya mengirim pesan kepada saya.
”Kok ketulo-tulo terus negara ini,” tulisnya. Ia prihatin dengan keadaan
negeri ini. Ketulo-tulo istilah dalam bahasa Jawa bisa dimaknai bangsa ini
terus saja dirundung masalah. Dalam kepengapan situasi seperti saat ini, saya
teringat pada slogan politik ”Lebih Cepat Lebih Baik”. Slogan itu digunakan
Jusuf Kalla dalam kampanye presiden tahun 2009. Masalah yang muncul ke permukaan memang harus
dihadapi dan diselesaikan. Semakin lama drama Duren Tiga tak kunjung
berakhir, semakin liar pula spekulasi berkembang. Semakin lama pengungkapan
kasus itu tak diselesaikan, semakin kencang pula proses delegitimasi terhadap
lembaga kepolisian. Perasaan bercampur aduk ketika membaca berita,
pengacara keluarga korban Brigadir J meminta otopsi ulang terhadap jenazah
brigadir dengan melibatkan dokter independen dan dokter dari matra TNI.
Apakah ini indikasi ketidakpercayaan pada dokter yang sebelumnya menangani? Langkah cepat guna menjawab misteri tewasnya
Brigadir J dibutuhkan untuk menghentikan delegitimasi dan dekonstruksi
berkelanjutan pada lembaga kepolisian. Setelah proses delegitimasi bisa
dihentikan dengan keterbukaan dan kejujuran, rekonstruksi kelembagaan bisa
dilakukan. Sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi, kepercayaan rakyat terhadap
polisi harus dijaga! Penataan kembali juga perlu dilakukan di KPK.
Kekosongan posisi Wakil Ketua KPK perlu diisi dengan sosok yang bisa
memulihkan kepercayaan publik terhadap KPK. Namun, duduk soal kasus Lili
Siregar juga harus diperjelas. Begitu juga di Mahkamah Konstitusi.
Mengagendakan pemilihan Ketua MK sembilan bulan sejak putusan diucapkan
terasa terlalu lama. Belum lagi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi juga
belum terbentuk. Hakim konstitusi Wahiduddin Adams dalam
pertimbangannya menulis, langkah MK menguji perpanjangan masa jabatan hakim
MK menjadi 15 tahun atau hingga usia 70 tahun telah membuat situasi tidak
nyaman di MK. Terjadi suasana yang sangat kalkulatif sehingga di antara
sesama hakim konstitusi, baik diakui secara eksplisit maupun tidak, cenderung
mengambil sikap saling menunggu (wait and see) serta penuh harap dan pamrih
(full of stake) terhadap pilihan sikap dari hakim konstitusi lainnya. Mengutip pandangan Richard A Posner pada buku How
Judges Think, Wahiduddin Adams menulis, tendensi semacam ini secara
proporsional memang dinilai manusiawi karena hakim yang notabene juga manusia
biasa secara alamiah merupakan homo economicus (makhluk yang senantiasa
berhitung/kalkulatif), tetapi dalam lanjutan narasinya, Richard A Posner mengemukakan bahwa tendensi semacam
ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan jaminan supremasi hukum dan
konstitusi, sebab independensi dan imparsialitas hakim seharusnya juga
senantiasa terjaga, termasuk dari pengaruh koleganya, dalam semangat dan
prinsip kolegialitas. Gejala pengeroposan atau ”pembusukan” institusi di
dalam lembaga penegak hukum perlu dihentikan dan ditata ulang. Keprihatinan
budayawan di Yogyakarta bahwa negara ini kok ketulo-ketulo perlu dijawab
dengan slogan yang pernah digunakan Jusuf Kalla: lebih cepat lebih baik, agar
bangsa ini tidak terus tersandera dengan berbagai drama, sementara bayangan
kesulitan ekonomi di depan mata. Berbagai drama terjadi menyampaikan sebuah
pesan hilangnya nilai kejujuran di negeri ini! ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/22/dari-drama-ke-drama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar