Dor! Pentingnya
Belajar Mengarang Wina Armada Sukardi : Wartawan Senior |
CEKNRICEK.COM, 23
Juli
2022
Sewaktu kita
sekolah dahulu, ada pelajaran mengarang. Pada tingkat SD sampai dengan SMA,
biasanya, pelajaran mengarang hanyalah bagian dari pelajaran Bahasa
Indonesia. Pada tingkat perguruan tinggi barulah “pelajaran mengarang”
mengalami pendalaman. Para mahasiswa diminta membedah karya-karya pengarang
terkenal. Diperkenalkan pula analisis struktur, karakter tokoh, gaya, ciri khas, jalinan cerita dan tafsir
makna dari karya-karya besar tersebut. Walaupun pada
sekolah mengarang cuma dianggap sebagai tambahan atau pelengkap, sebenarnya
pelajaran mengarang memiliki arti penting bagi pemahaman siswa terhadap
lingkungan peristiwa. Dengan begitu, pelajaran mengarang dapat membantu para
siswa membangun karakternya dan lebih cerdik dalam menghadapi kehidupan dan
penghidupan. Sebagian isi
kitab suci pun disampaikan dengan cara “bertutur” atau “bercerita.” Bedanya,
kalau dalam pelajaran mengarang, sebagian besar isinya fiktif, sebaliknya
dalam kitab suci isinya diyakini sebagai kebenaran faktual. Kitab Suci
diyakini para pemeluknya bukan hasil rekayasa, melainkan pengaturan langsung
dari Sang Pencipta. Sesuatu yang riil baik di alam nyata maupun nanti di alam
baka. Namun penyampaiannya juga banyak yang lewat cara bercerita atau
bertutur. Dari sana, manusia diajak berpikir, merenung dan meyakini
kisah-kisah yang ada di kitab suci. Oleh karena
itu, sejatinya pelajaran bertutur, bercerita atau mengarang menjadi penting.
Pada tingkat SD kita baru diajarkan pada tataran perlunya mengekspresikan
diri secara tertulis. Menuangkan pengalaman dan perasaan kita atau orang lain
secara sederhana. Sering dulu para siswa memulai hasil karya mengarangnya
dengan kalimat “pada suatu hari…” Pada tingkat SMP sedikit dikembangkan lagi.
Sudah mulai diberi pengetahuan siapa-siapa saja nama “pengarang” yang
terkenal berikut judul karangannya. Juga sudah mulai diminta menghafal
nama-nama para pelaku dari karya-karya pengarang. Hanya saja, semua itu belum
lebih dari sekedar untuk diketahui, bahkan cuma buat dihafal. Misalnya buku
“Siti Nurbaya” diajarkan siapa penciptanya dan siapa saja tokohnya. Lantas pada
tingkat SMA dilakukan sedikit pendalaman. Pada tingkat ini kita sudah
diperkenalkan serba selintas siapa saja pengarang terkenal dan isi dari
ciptaannya. Apa saja yang menonjol dari karya-karya para pengarang terkenal
itu. Bagaimana tabiat dasar dari para tokohnya. Sekali-kali kita diminta buat
“karangan” sendiri. Nah, pada
tingkat universitas barulah kita diberikan kemampuan analisis baik terhadap
keseluruhan karya maupun aspek-aspek karya itu, seperti pemilahan karakter
tokohnya. Bagaimana latar belakang tokohnya dan interaksi tokoh itu dengan
para tokoh lain. Dimana kekuatannya. Dimana kejanggalan atau kelemahannya,
jika ada. Pada
masyarakat sastra, walaupun banyak yang tidak berasal dari universitas atau
dari fakultas budaya (sastra), pendalaman ini lebih kritis lagi. Cerita yang
tanpa argumentasi kuat bakal dikuliti. Karakter tokoh yang tidak jelas akan
disorot habis. Apalagi jalinan cerita yang tidak masuk akal pastilah menjadi
bahan kritik. Oleh sebab
itulah dalam mengarang cerita, seluruh unsur dan dampak dari kehadiran unsur
itu dalam keseluruhan cerita perlu diperhatikan dengan seksama. Semua harus
punya argumentasi atau nalar yang kuat. Mengarang dengan cerita yang centang
perentang cuma bakal jadi bahan tertawaan, bahkan cemooh saja. Itu pun, kita
belum bicara mengenai “gaya” berceritanya Lebih sulit
lagi kalau kita mengarang berdasarkan peristiwa nyata. Kita dituntut untuk
lebih teliti. Lebih cermat. Setiap detail harus dirancang dengan sangat
akurat. Hubungan sebab akibat mesti dibungkus dengan logika yang kuat. Karakter atau
tabiat serta kebiasaan tokoh atau pelaku perlu disesuaikan dengan latar
belakang mereka. Kalau tidak, akan muncul kontradiksi. Contoh orang tak
berpunya, maaf, sulit dipercaya dapat makan yang mewah di restoran mewah,
kalau bayar sendiri. Atau, orang miskin punya mobil mewah. Seorang polisi
yang masih level bawah, contoh lainnya, sulit diterangkan dapat memakai
pistol bermerek terkenal yang biasa hanya dipakai oleh orang kaya atau
perwira tinggi. Ini hanya contoh saja. Dampak peristiwa
terhadap peristiwa berikutnya, jelas wajib diperhitungkan dengan seksama.
Data harus dikuasai. Kebiasaan atau konvensi dari suatu profesi perlu
dipahami. Dalam dunia kedokteran, umpamanya, seorang mahasiswa kedokteran
tidak mungkin berani membangkang kepada dosennya apalagi kalau dosennya sudah
tingkat profesor. Seorang
bawahan dalam ketentaraan atau kepolisian juga tidak mungkin membangkang
terhadap atasan. Sang bawahan tidak mungkin, ini lagi-lagi sekedar contoh,
masuk kamar pribadi atasan tanpa diperintah. Jangankan masuk kamar pribadi,
masuk rumah atasan saja, apalagi yang sudah berpangkat jenderal, sang bawahan selalu berkata “Izin, masuk.” Maka menjadi
hampir tak mungkin jika dalam ketentaraan atau kepolisian, bawahan yang
berpangkat masih rendah, berani masuk ke kamar tidur pribadi atasan, dalam
karangan sudah pasti ada kejanggalan. Lebih jauh
lagi “peristiwa kebetulan” sekalipun perlu ada narasi yang menjelaskan dengan
baik sehingga dapat menyakinkan dan jangan sampai memberi kesan “peristiwa
kebetulan” tersebut hanyalah rekayasa lantaran ketidakmampuan merangkai
konsep peristiwa yang komprehensif. Contohnya,
sekali lagi ini cuma contoh, kalau ada kejahatan di sebuah arena atau rumah
yang ada CCTVnya, pas terjadi peristiwa kejahatan atau peristiwa
tertentu, ketika mau dimonitoring dari
CCTV, ternyata CCTVnya pas hari itu “kebetulan” rusak atau bahkan dicuri
orang. Ini
“kebetulan” yang tak masuk akal. Kalau mau dipakai skenario itu, seharusnya
perlu ada informasi pendahuluan atau planing information sehingga orang
mahfum kenapa hal tersebut terjadi. Misal sebelumnya sudah beberapa kali
diperbaiki atau macet-macet. Kalau mendadak hilang tanpa sebab musabab, ya,
pastilah karangan tersebut dinilai mengada-ngada atau tidak memiliki dasar
kuat. Hal-hal yang
mungkin dipertanyakan oleh publik, wajib dapat dijawab dengan nalar sehat.
Kronologis kejadian perlu disusun dengan masuk akal. Dengan begitu hubungan
kejadian dengan kejadian lain menjadi jelas dan memiliki landasan yang kokoh. Nah, kalau kasus
yang diduga polisi menembak polisi di rumah perwira polisi, karena faktor
istri polisi dan sudah diperiksa oleh polisi, benar mengandung dugaan “karangan” maka dengan cepat dapat
dikatagorikan “karangan” tersebut
merupakan hasil karya “karangan” yang buruk. Apakah
peristiwa kematian polisi merupakan hasil “karangan” sebagai diduga
masyarakat luas, belum tentu benar. Tapi juga belum tentu salah. Apapapun yang
terjadi, memang dari dugaan peristiwa itu ada lebih dari 50 kejanggalan yang
dapat mengundang pertanyaan yang dapat diajukan. Itu menunjukkan karangan
tersebut buruk. Terlepas dari benar atau tidaknya kejadian itu. Seluruh
rangkaian kasus ini memang masih dalam penyelidikan yang pasti akan
ditingkatkan ke penyidikan, lalu ke meja hijau. Selama proses hukum itu
berjalan kita memang tak boleh menghakimi. Selama belum ada kekuatan hukum
yang tetap, kita belum boleh mengambil kesimpulan hukum pasti terhadap semua
gejala, fakta dan data. Kendati
begitu, pada sisi lain kita juga tidak boleh mengabaikan logika akal sehat
dan pikiran kritis. Kita tak dapat mengabaikan prinsip mengarang yang baik.
Dalam hal ini begitu banyak kejanggalan dalam peristiwa itu. Sampai saat
ini, peristiwa tersebut masih bagaikan contoh pelajaran “mengarang” yang
mengandung begitu banyak kelemahan, kontradiksi dan melawan akal sehat.
Walaupun dalam mengarang kita tidak boleh melupakan tiga adagium: pertama,
jika kejahatan sudah bersemayam dalam
jiwa, semua perhitungan akal sehat
kemungkinan hilang. Barulah nanti untuk menutupi dibuat kebohongan
demi kebohongan. Kedua, jika
cinta sudah melekat dan cemburu sudah
membakar, sering kali logika tak lagi
bekerja. Lalu ketiga, sepandai-pandai orang melakukan
kejahatan, pastilah ada kelemahan yang
dapat menjadi celah mengungkapkan kejahatan tersebut. Dalam mengarang,
faktor ini juga menjadi bagian dari
kemampuan pengarang menyiasatinya. Jadi, siapa
bilang pelajaran “mengarang” tidak penting? Lewat mengarang yang baik kita
tidak terlihat dungu banyak kejanggalan, tidak sinkron, ankronolisem dan
sebagainya. Dan yang penting publik jadi tidak percaya. ● |
Sumber
: https://ceknricek.com/a/dor-pentingnya-belajar-mengarang/32457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar