Rapor
Merah Partai Politik Era Reformasi Ridho
Al-Hamdi: Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Wakil Ketua LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah |
MEDIA NDONESIA 20 Juli 2022
SEJAK
runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998, partai politik mulai menjadi aktor utama
di panggung demokrasi elektoral selama hampir dua setengah dekade. Sejak 1999
hingga 2019, Indonesia sudah lima kali mengadakan hajatan besar demokrasi
bernama pemilu dengan dinamika dan manajemen yang berbeda dari waktu ke
waktu. Tak sedikit partai yang menjadi peserta pemilu datang silih berganti,
meski beberapa di antaranya ada yang mampu bertahan bahkan sempat populer. Tulisan
ini mencoba menganalisis dinamika perkembangan partai politik di Indonesia
selama era Reformasi, dengan menggunakan empat indikator pelembagaan partai
politik yang dikenalkan oleh Vicky Randall dan Lars Svåsand (2002) dalam
artikel ilmiahnya yang berjudul Party Institutionalization in New
Democracies. Keempat indikator tersebut ialah sistem keorganisasian (systemness),
ideologi dan platform partai (value infusion), reifikasi, dan independensi
partai (decisional autonomy). Masih
buruknya sistem keorganisasian Ada
tiga aspek yang akan dibahas, yaitu mekanisme pengambilan keputusan di
internal partai, mekanisme penyelesaian konflik internal partai, serta
mekanisme regenerasi dan rekrutmen politik. Pada aspek pertama, hampir
mayoritas partai politik di Indonesia mengalami gejala yang sama bahwa
mekanisme pengambilan keputusan politik selalu bergantung pada ketokohan
elite tertentu. Mekanisme organisasi sering kali tidak berlaku bahkan
dikesampingkan oleh dominasi elite yang berkuasa tersebut. Tak
jarang, apa yang telah menjadi keputusan di tingkat daerah, dengan sangat
mudah dibatalkan sepihak oleh ‘sang pemilik’ partai karena tidak sesuai
selera. Inilah fenomena party presidentialization atau personalisasi partai di mana ketokohan
sangat mendominasi kekuatan partai. Ini hampir menjadi gejala umum di banyak
negara demokrasi lainnya. Dalam
hal penyelesaian konflik internal partai, tak ada satu partai pun yang bisa
dijadikan model percontohan. Jika Golkar dan PKS dianggap yang terbaik
ketimbang partai yang lain dalam hal penyelesain konflik, sejumlah elite
Golkar pun memilih keluar dan mendirikan partai baru. Gerindra, Hanura, dan
NasDem adalah beberapa contoh partai baru hasil konflik internal Partai
Golkar yang tak selesai. Di
PKS pun, konflik tetap membara meski seakan tersembunyi. Keluarnya Yusup
Supendi dari PKS yang kemudian bergabung ke PDIP serta migrasi besar-besaran
sejumlah kader utama PKS seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Shiddiq,
serta sejumlah kader di daerah dan berujung pada pendirian partai baru,
menjadi bukti bahwa resolusi konflik pun belum terlembagakan secara baik di
tubuh PKS. Lalu bagaimana dengan partai lain? Jawabannya cukup singkat:
semakin buruk. Sementara
itu, kaderisasi internal partai juga tidak berjalan efektif lantaran para
elite partai mengambil jalan pintas demi mengejar syarat minimal ambang batas
parlemen. Penerapan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka (open-list
proportional representation/OLPR) sejak 2009 hingga 2024, pada akhirnya
menjadikan partai lebih memilih untuk bersikap pragmatis dengan memilih caleg
dan calon kepala daerah (cakada) yang memiliki popularitas tinggi ketimbang
kader ideologis yang sudah lama berjuang tapi tidak populer. Bahkan
pada Pemilu 2019, tak sedikit partai yang memilih artis dan tokoh lokal yang
bukan kader partai menjadi caleg agar berperan sebagai pengepul suara (vote
getter) sehingga partainya mendapatkan kursi di Senayan. Begitu juga pada
arena pilkada, partai justru mencari cakada yang populer dari luar partai
ketimbang kader internal partai. Realitas di tiga aspek tersebut membuktikan
buruknya mekanisme keorganisasian partai. Pudarnya
ideologi dan platform Ada
dua hal yang diukur di sini: sejauh mana relasi yang terjadi antara partai
dan organisasi sipil/keagamaan (aktor dan pendukung), serta sejauh mana
partai meyakinkan platform/ideologi partai ke anggota, pendukung, dan
masyarakat luas. Meskipun
relasi antara partai politik dan apa yang disebut oleh Thomas Poguntke (2006)
sebagai collateral organization (organisasi sebaya) masih tetap terbangun di
era Reformasi, kekuatan relasi tersebut tidak sedahsyat saat era Pemilu 1955
maupun Pemilu 1971. PKB masih bisa dianggap memiliki relasi baik dengan
Nahdlatul Ulama (NU). Begitu juga antara PAN dan Muhammadiyah, PKS dan
jejaring aktivis Jamaah Tarbiyah, atau PDIP dan masyarakat abangan (jejaring
Marhaen). Meski
demikian, kekuatan relasi mereka itu tidak sedahsyat antara Masyumi dan
Muhammadiyah, atau Parmusi dan Muhammadiyah. Begitu juga, tidak sekuat antara
masyarakat abangan dan PKI/PNI. Adapun NU menjadi partai politik sehingga
kekuatan NU lebih solid pada 1955 dan 1971. Kalaupun saat ini PDIP masih
dapat dianggap sebagai partai dengan relasi terkuat dengan basis pendukung,
ini perlu diuji lagi keabsahannya. Sementara
itu, meski secara simbolik masih ada asas Islam di sejumlah partai politik,
praktiknya platform partai mereka tidak jauh berbeda dengan platform
partai-partai nasionalis-sekuler. PKS yang dianggap sebagai partai paling
islamis, toh tidak lagi berkampanye untuk isu syariat Islam maupun negara
Islam, tetapi beralih pada isu antikorupsi dan tata kelola pemerintahan yang
bersih. Begitu juga dengan PPP dan PBB. Para politikus dan caleg partai Islam
pun mengalami kegagalan dalam meyakinkan publik tentang ideologi dan
cita-cita perjuangan politik mereka. Belum
lagi kasus korupsi yang pernah dialami para petinggi partai Islam, semakin
membuat para pendukungnya tak lagi memiliki kepercayaan terhadap partainya.
Dampaknya, partai Islam ataupun partai sekuler dianggap oleh masyarakat sama
saja, sama-sama korupsi uang rakyat. Di sinilah dilema partai politik selama
era Reformasi. Ideologi dan platform partai mengalami pemudaran akibat sistem
politik yang semakin liberal. Kegagalan
reifikasi Reifikasi
(reification) dapat dipahami sebagai strategi partai dalam memenuhi aspirasi
dan harapan masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk kebijakan di parlemen
dan ekseksutif. Fenomena pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, keinginan
menggagas RUU Haluan Ideologi Pancasila, pelemahan lembaga antirasuah seperti
KPK, pemaksaan Pilkada Serentak 2020 meski publik menolak, rencana elite
untuk amendemen UUD 1945 termasuk keinginan perpanjangan masa jabatan
presiden tiga periode, serta ketergesa-gesaan pemindahan ibu kota negara
adalah sederet bukti gagalnya partai politik yang tidak mendengarkan aspirasi
rakyat. Belum
lagi, fakta buruknya praktik kebebasan sipil akibat dikebiri oleh pemerintah
(dan tentu elite partai) yang berkuasa. Pembubaran HTI, pembunuhan sejumlah
aktivis FPI, penangkapan tokoh-tokoh Islam, penggebukan kelompok oposisi dan
gerakan kritis kepada rezim, tindakan kekerasan aparat terhadap para
demonstran, serta proyek ambisius penambangan di sejumlah daerah tanpa
pertimbangan aspek kemanusiaan, pada akhirnya menyebabkan buruknya indeks
demokrasi Indonesia dari waktu ke waktu, sebagaimana tertulis dalam laporan
tahunan Freedom House dan The Economist Intelligence Unit (IEU). Belum lagi,
sejumlah produk hukum pun seakan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,
seperti UU ITE dan KUHP, yang sering kali dijadikan alat oleh penguasa untuk
memukul rakyat yang kritis. Di
sinilah, partai politik mengalami kegagalan berkali lipat dalam memenuhi
aspirasi dan harapan publik secara luas. Partai lebih ramah ke pemilik modal
dan oligarki ketimbang rakyat jelata. Wajar saja jika masyarakat kecewa
bahkan cenderung tidak peduli lagi terhadap partai politik. Ini bisa
berbahaya dan dapat mengancam masa depan demokrasi Indonesia. Lemahnya
independensi Independensi/kemandirian
partai politik diukur dengan dua aspe. Pertama, independensi partai dari
pemimpin yang karismatik dan kuat dalam proses pengambilan kebijakan. Dan,
kedua, independensi partai dari kekuatan cukong (pemilik modal) dan kaum
oligar. Di
atas sudah disinggung terkait dengan munculnya fenomena personalisasi partai
(party presidentialization )
hampir di semua partai politik di Indonesia. Publik hampir sulit membedakan
antara PDIP dan Megawati, Partai Demokrat dan SBY, Gerindra dan Prabowo
Subianto, PKB dan Muhaimin Iskandar, dan seterusnya. Semua
keputusan politik hampir selalu bergantung pada elite kuat tersebut sehingga
mekanisme organisasi di tubuh partai seakan tidak berlaku lagi. Di sinilah
awal menjamurnya otoritarianisme di internal partai-partai. Modernisasi
partai politik selama era Reformasi seperti masih jauh dari harapan
demokrasi. Karena itu, diperlukan regulasi tentang perlunya pembatasan
periode kepemimpinan ketua umum partai. Sementara
itu, partai pun masih belum bisa terbebas dari kekuatan cukong atau pemilik
modal dan kaum oligar. Cukong dan oligar bisa saja langsung bertindak sebagai
pemilik partai, atau mereka sekadar menjadi orang di balik layar yang selalu
mendanai program-program partai. Akibatnya, dalam proses pembuatan produk
legislasi (undang-undang/perda) dan pembuatan anggaran, anggota legislatif
sebagai kepanjangantangan partai politik di parlemen, memiliki kecenderungan
lebih ramah kepada kepentingan pemilik modal daripada mendahulukan aspirasi
rakyat yang hanya dihargai selembar rupiah pada saat pemilu/pilkada. Di
sinilah pentingnya penguatan kembali sistem iuran anggota partai sebagai
sumber kekuatan pendanaan di tubuh partai sehingga dapat meminimalkan
ketergantungan pada cukong/pemilik modal. Selain itu, negara perlu menyubsidi
keuangan partai secara serius serta mengatur tata kelola keuangan sehingga
dapat terpantau perkembangan tiap-tiap partai politik. Selama
ini, pengawasan keuangan partai termasuk pada saat kampanye pemilu/pilkada
masih lemah sehingga partai tertentu memiliki modal sangat besar, sedangkan
yang lain sangat rendah. Ada ketimpangan yang berdampak pada ketidakadilan di
antara para peserta pemilu. Karena itu, independensi partai selama era
Reformasi masih tergolong sangat lemah. Agenda
mendesak Dari
keempat indikator di atas, semuanya dinilai buruk. Tidak ada satu pun sinyal
positif untuk partai politik. Ini artinya, partai politik selama hampir dua
setengah dekade selama era Reformasi mendapatkan rapor merah. Kinerja mereka
gagal dan masih jauh dari harapan rakyat. Apakah
dengan ini lantas partai politik dibubarkan saja? Tidak begitu logikanya.
Kalaupun partai politik dibubarkan, siapa yang berperan untuk memainkan
kekuasaan? Ormas/LSM/media/kampus? Jika lembaga-lembaga tersebut memainkan
peran untuk merebut kursi kekuasaan, keganasan politik mereka bisa jadi malah
melebihi berahi politik partai. Kekuasaan memang diburu oleh siapa pun meski
tak sedikit pula yang membenci dengan diam-diam masih memujanya. Itulah
politik, “Who gets what, when, and how,” kata Harold D Lasswell, ilmuwan
politik asal Amerika Serikat. Jadi,
ide pembubaran partai politik atau deparpolisasi bukanlah solusi tepat.
Karena itu, setidaknya ada sejumlah agenda mendesak yang harus dilakukan.
Pertama, segera revisi serta lengkapi Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, serta UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Banyak aspek yang harus
dimasukkan pada UU revisi, seperti pembatasan periode kepemimpinan,
pengaturan keuangan partai, pola rekruitmen anggota, dan sebagainya. Publik
dan masyarakat ilmiah dituntut untuk mendesak partai politik agar segera
melakukan revisi UU tersebut. Pada kenyataannya, partai terkesan enggan untuk
melakukannya karena bisa saja revisi itu justru merugikan, bahkan bisa
mengancam posisi status quo mereka. Kedua,
apakah sistem multipartai di Indonesia merusak iklim demokrasi yang sehat dan
dianggap tidak efektif? Tentu tidak. Pengalaman sistem multipartai di
sejumlah negara Eropa masih menunjukkan pemerintahan yang efektif. Justru,
keragaman budaya Indonesia harus dikanalisasi oleh kekuatan politik yang
beragam agar tidak terjadi gerakan separatis di berbagai daerah akibat
aspirasi politik mereka tidak terakomodasi. Munculnya
partai lokal di Aceh, maupun tidak adanya pemilihan gubernur di Yogyakarta,
adalah cerminan keberagaman praktik demokrasi di negara bineka seperti Indonesia.
Sistem demokrasi tidak harus dipahami secara tunggal, tetapi bisa beragam
dengan tetap mengacu pada prinsip utamanya. Karena itu, ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) 4% adalah batas maksimal. Dan, jangan ditambah
lagi, agar partai menengah dan kecil tidak terpental dari Senayan karena
mereka bagian dari kanal kekuatan politik tertentu di Republik ini. Dengan
kata lain, penyederhanaan partai sebagai bentuk penguatan sistem presidensial
bukanlah ide tepat dan bijak. Ketiga,
jika partai politik adalah kesebelasan, pemilu adalah arena pertandingannya.
Karena itu, sistem pemilu harus mendukung penguatan dan modernisasi
kelembagaan partai politik. Karena itu, praktik model keserentakan pemilu
yang relevan untuk Indonesia seharusnya dibagi menjadi dua: keserentakan
pemilu nasional (pilpres, pileg DPR RI, dan pemilihan DPD RI) dan
keserentakan pemilu lokal (pilgub, pileg DPRD provinsi, pilbub/pilwalikot,
dan pileg DPRD kabupaten/kota) yang berjarak 2,5 tahun di antara keduanya. Sebagai
catatan tambahan, pada pemilu serentak nasional, pilpres didahulukan, yang
kemudian disusul beberapa bulan berikutnya oleh pileg DPR RI dan DPD RI.
Karena itu, praktik model keserentakan pemilu yang pernah terjadi pada 2019,
dan akan diulangi lagi pada 2024, bukanlah ide yang efektif. Itu adalah
bentuk overdosis demokrasi. Hasilnya, justru antiklimaks demokrasi. Keempat,
sistem OLPR masih relevan untuk konteks Indonesia. Pertimbangan utama masih
memilih sistem OLPR ini adalah kesuksesan negara-negara demokrasi mapan
seperti Norwegia, yang juga menggunakan OLPR serta stabilitas demokrasi di
negara-negara penganut sistem OLPR ketimbang sistem pemilu yang lain. Dengan
sistem keserentakan pemilu sebagaimana diusulkan pada poin nomor tiga di
atas, maka beban kerja penyelenggara pemilu tidak menumpuk. Selain
itu, pemilih juga tidak kesulitan dalam menentukan pilihan mereka karena
hanya ada tiga surat suara pada pemilu serentak nasional dan empat surat
suara pada pemilu serentak lokal. Implikasinya, penyederhanaan surat suara
sepertinya tidak begitu diperlukan lagi. Partai politik pun bisa
mempersiapkan calon-calon terbaik mereka, baik untuk nasional maupun daerah,
karena ada jeda waktu yang optimal untuk proses rekrutmen dan seleksi. Jikalau
praktik money politics dipersoalkan dalam sistem OLPR, regulasinya perlu
diperkuat. Dengan demikian, revisi UU Pemilu adalah sebuah keniscayaan.
Revisi tersebut perlu dilakukan terhadap definisi politik uang serta para
pelakunya, juga perlunya penambahan regulasi terkait perlindungan hukum
terhadap pelapor dan saksi atas praktik politik uang. Gagasan nomor tiga dan
empat ini akan diulas secara detail oleh penulis pada kesempatan yang lain. Rapor
merah partai politik selama era Reformasi ini harus menjadi perhatian serius
untuk segera dibenahi, bukan dibubarkan. Sementara itu, kemunculan
partai-partai baru masih belum bisa memperbaiki rapor merah itu, atau justru
malah semakin menebalkan warna merahnya. Mengapa demikian? Kelahiran partai
baru hanya sekadar hasil dari konflik internal partai sebelumnya, atau, ajang
latihan politik praktis atas syahwat politik sejumlah tokoh yang tidak
tersalurkan pada partai politik yang sudah ada karena tidak mendapatkan
posisi penting. Hampir tidak ada terobosan brilian dari partai-partai baru
tersebut. Memperbaiki
rapor merah partai membutuhkan keberanian dan kegilaan. Hanya mereka yang
berjiwa negarawanlah yang memiliki keberanian untuk membenahi satu per satu
rapor merah itu. Tentu, agenda modernisasi dan pelembagaan partai politik ini
menjadi bagian dari mewujudkan skenario demokrasi Indonesia yang
terkonsolidasi. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/507973/rapor-merah-partai-politik-era-reformasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar