Gelap Terang Shinzo
Abe (Bagian III, Habis) Sekar Kinasih : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 19 Juli 2022
Jepang kian
aktif berdiplomasi di bawah administrasi Perdana Menteri Shinzō Abe yang
mulai menjabat pada September 2006. Ia, misalnya, turut serta memprakarsai
forum diskusi keamanan Quadrilateral Security Dialogue atau QUAD pada 2007.
Anggotanya termasuk kekuatan ekonomi paling mapan di benua Asia dan Samudera
Pasifik: Amerika Serikat, Australia, dan India. Abe memelopori
forum ini dengan dasar pandangan bahwa keamanan Jepang bakal terjamin apabila
berkomitmen pada organisasi internasional dan menghormati prinsip keterbukaan
dan aturan hukum. Selain itu ada
pula pertimbangan spesifik, yaitu agresivitas Cina di kawasan Pasifik. QUAD
didirikan untuk mengimbangi ekspansi negara tersebut sampai-sampai sejumlah
pengamat mengatakan forum itu tidak lain merupakan “NATO-nya Asia”. Meskipun
sempat mati suri tak lama setelah didirikan, QUAD berhasil dibangkitkan satu
dekade kemudian dan pada tahun lalu untuk pertama kalinya menyelenggarakan
pertemuan secara langsung. Abe pertama
kali menyinggung QUAD dalam konteks relasi Jepang-India. Ia paham betul
pentingnya merangkul India, negeri yang suatu hari nanti akan menyalip Cina
dalam hal jumlah populasi. Di hadapan
Parlemen India, Abe menyampaikan pidato berjudul “Pertemuan Dua
Samudera”—merujuk India dari Hindia dan Jepang di Pasifik—tentang cita-cita
mewujudkan “kebebasan dan kemakmuran” di tepi luar Eurasia. “Seiring Jepang
dan India bersatu, ‘Asia lebih luas’ ini akan berkembang jadi jaringan besar
yang mencakup seluruh Samudra Pasifik, menggabungkan AS dan Australia,”
paparnya. Setelah
Narendra Modi berkuasa di India pada 2014, tak lama setelah Abe juga kembali
berkuasa, relasi Jepang-India kian mesra. India menerima transfer pengetahuan
tentang kereta cepat dan teknologi nuklir nonmiliter. Sementara Jepang
diangkat jadi anggota permanen Malabar, latihan militer angkatan laut super
kompleks yang awalnya hanya melibatkan India dan AS. Di mata Abe,
Modi adalah “salah satu kawan paling bisa diandalkan dan berharga.” Modi juga
sayang pada Abe. Tokoh nasionalis Hindu ini bahkan mendeklarasikan hari
berkabung nasional di India untuk menghormati Abe yang meninggal karena
ditembak pada 8 Juli lalu. Kisah bromance
Abe dengan Donald Trump juga tak kalah menarik. Abe-lah pemimpin negara yang
pertama datang langsung menyelamati pebisnis tersebut saat menang pemilu
presiden 2016. Semenjak itu, sudah 42 kali mereka berbincang (termasuk via
telepon), lima kali main golf (yang terakhir diabadikan dalam foto wefie
dengan senyum sangat lebar), dan sekali nobar pertandingan sumo di Tokyo. Berbekal
kedekatan personal ini, Tokyo berhasil meyakinkan Washington untuk mendukung
konsep mereka tentang keamanan Indo-Pasifik (administrasi Trump lantas
mengadopsinya sebagai strategi Free and Open Indo-Pacific). Meskipun
relasi mesra dengan AS tidak serta-merta membuat mereka mau mencabut tarif
ekspor besi dan aluminium Jepang, Abe dinilai sukses memberikan pemahaman
pada Trump betapa relasi Jepang-AS yang kuat sebenarnya juga merupakan bagian
dari kepentingan strategis dan keamanan AS. Pemimpin
negara besar lain yang Abe coba rangkul adalah Vladimir Putin (ditemui langsung
lebih dari 25 kali). Langkah ini Abe lakukan untuk membuka jalur negosiasi
terkait sengketa Kepulauan Kuril di utara Jepang. Wilayah ini berada di bawah
kontrol Soviet/Rusia sejak direbut oleh Tentara Merah pada akhir Perang Dunia
II. Perkara Kuril juga sudah jadi misi ayahnya Abe, Shintaro, yang menjabat
Menteri Luar Negeri Jepang pada 1980-an. Abe sudah
mencoba beragam cara untuk meluluhkan hati Kremlin, dari mulai menawarkan
hadiah anjing ke Putin, kerja sama ekonomi baru, sampai janji bahwa pasukan AS
tidak akan bermarkas di tempat tersebut. Namun strategi itu sampai sekarang
belum berhasil. Kuril tak juga kembali ke pelukan Jepang. Menurut dosen
ilmu politik dari Temple University James D. J. Brown, pendekatan yang Abe
gunakan ke Rusia sudah jadi “kegagalan yang memalukan.” Pada dasarnya Rusia
tidak punya alasan untuk menyerahkan Kuril ke Jepang. Sedari awal memang
tidak pernah ada kesepakatannya, di samping Jepang bukan ancaman militer dan
selama ini sudah jadi mitra dagang Rusia. Status quo Kuril juga dianggap
efektif oleh Rusia untuk “menjinakkan” Jepang agar tidak terlalu berani atau
galak pada mereka. Hal ini bahkan
masih tercermin pada diri Abe setelah tak lagi menjabat perdana menteri.
Alih-alih mengecam keras invasi Rusia ke Ukraina, Abe justru menyebut Putin
“pragmatis ekstrem” lalu menyamakannya dengan Oda Nobunaga, tokoh pemersatu
Jepang abad pertengahan. Kerja Sama Ekonomi Selain politik
dan keamanan, Abe juga meninggalkan banyak jejak kerja sama di bidang
perdagangan. Selama ini Jepang
dikenal dengan citra proteksionis di sektor tersebut. Mereka cenderung fokus
pada aktivitas ekspor sembari menjaga popularitas produk-produk domestik di
dalam negeri. Mereka juga sangat paranoid dengan komoditas impor pertanian.
Contohnya saja, beras dari luar negeri dibebani tarif sampai 778 persen. Karena citra
tersebut, bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP), perdagangan bebas
antarnegara di sekitar Pasifik (sekali lagi, tidak termasuk Cina), tentu
menjadi langkah yang cukup menantang. Melalui TPP, komoditas tani dan ternak
seperti beras produksi California sampai daging sapi asal Australia
berpotensi masuk ke Jepang. Tentu saja para petani dan peternak menjadi
panik. Abe muncul
dengan menegaskan bahwa TPP penting untuk mendorong Jepang jadi lebih
kompetitif di pasar dunia. Ia pun menenangkan warga dengan memasang jaring
pengaman seperti kebijakan volume maksimum komoditas impor. Setelah
pemerintah AS era Trump meninggalkan TPP, Abe berjasa menghidupkannya lagi
lewat inisiatif Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific
Partnership (CPATPP). Kerja sama ini diikuti 11 negara dengan total kekuatan
ekonomi mencapai 14 triliun dolar. Tak berhenti
di situ, Abe juga memfinalisasi kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni
Eropa. Ini Jepang banggakan sebagai perjanjian bilateral terbesar di dunia. Di bawah
pemerintahan Abe, relasi dagang dengan negara-negara Asia Tenggara juga
mengalami kemajuan pesat. Salah satunya melalui ASEAN-Japan Comprehensive
Economic Partnership (AJCEP) yang pada 2018 direvisi untuk pertama kali agar
jangkauannya lebih luas. Jepang sudah
melihat ASEAN sebagai mitra penting sejak relasi resmi dibangun pada 1977
silam. Sampai 2018, terdapat sedikitnya 13 ribu perusahaan Jepang beroperasi
dan lebih dari 200 ribu warga Jepang bekerja di sepuluh negara ASEAN. Kawasan ini,
tak terkecuali Indonesia, juga menjadi basis industri manufaktur Jepang dan
tujuan ekspor seiring situasi dunia dibuat tidak stabil oleh perang dagang
Cina-AS dan pandemi Covid-19. Kerja sama di
bidang pertahanan turut Abe gencarkan dengan anggota ASEAN terutama yang
bersengketa teritori dengan Cina, misalnya Filipina dan Vietnam. Sementara
dengan Indonesia, kerja sama terkait transfer teknologi militer dari Jepang
baru ditandatangani setelah Abe mengundurkan diri, yakni pada 2021 atau
sekitar enam tahun setelah relasi Indonesia-Jepang sempat canggung karena
keputusan administrasi Presiden Joko Widodo menerima pinangan Cina untuk
membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Mereka yang “Diabaikan” Abe Abe tak
diragukan lagi proaktif berdiplomasi ke berbagai negara. Tapi ada beberapa
pihak yang diabaikan, yang justru berstatus tetangga dekat. Mereka juga
merasa terancam oleh tindak tanduk Abe. Salah satunya,
yang sudah sempat disinggung, adalah Cina. Mereka terusik dengan langkah
Jepang baru-baru ini yang menaikkan anggaran militer untuk tahun anggaran
2022. Warisan administrasi Abe tersebut dituding oleh corong media pemerintah
Cina, Global Times, sebagai upaya untuk “menjustifikasi ekspansi militer
Jepang” yang justru berpotensi “menimbulkan ancaman hebat terhadap stabilitas
regional.” Abe memang
jadi PM Jepang pertama yang berkunjung ke Beijing sejak 2011. Ketika itu,
tahun 2018, Abe dan pemerintah Cina menyepakati lebih dari 50 proyek infrastruktur
di negara-negara Dunia Ketiga. Nyaris 1.000 delegasi dari perusahaan Jepang
yang mendampingi Abe juga berhasil mengamankan 500 kesepakatan dengan Cina
senilai 2,6 miliar dolar. Abe kala itu
mengakui Cina sebagai mitra yang setara, bukan lagi negara penerima bantuan.
Ia juga menyebut relasi kedua negara berubah dari kompetisi jadi kerja sama. Ketika Abe
meninggal, elite Cina menyampaikan belasungkawa dan cenderung menyorot
berbagai kontribusi tersebut. Namun, dipetik
dari pemberitaan kematian Abe di Global Times, kenangan bagus itu terkubur di
bawah ingar bingar sengketa Senkaku/Diaoyu, ritual Abe ke kuil kontroversial
Yasukuni, penyangkalan tentang kebrutalan militer Jepang era perang, sampai
sikap Abe yang pro-Taiwan. Media yang terkenal dengan gaya editorial
blak-blakan itu bahkan nekat menampilkan foto Abe terkapar di jalan dengan
darah di kemeja putihnya. Sentimen
anti-Jepang dan anti-Abe juga dilaporkan marak disuarakan publik Cina di
laman Weibo. Banyak pemilik akun menyatakan senang dengan tragedi yang
menimpa Abe, menyebut penembaknya sebagai “pahlawan”, sampai menganggap momen
pembunuhan tersebut perlu dikenang sebagai “hari bersejarah”. Administrasi
Abe juga tidak meninggalkan kesan baik pada tetangga satunya lagi, Korea
Selatan. Menurut survei pada November 2019, responden Korsel yang menyukainya
hanya 3 persen, jauh di bawah Vladimir Putin (17 persen), Xi Jinping (15
persen), bahkan Kim Jong Un (9 persen). Dilansir dari
artikel S. Nathan Park di Foreign Policy, sebelum Abe berkuasa pada 2012,
relasi Jepang-Korsel sebenarnya membaik secara signifikan. Jepang mengakui
fakta tentang perempuan budak seks dan meminta maaf pada 1993. Pemerintah
Korsel kemudian menghapus larangan siaran terhadap film-film dan musik
Jepang. Pertukaran budaya terjadi, antara anime dan k-pop. Pada 2010, PM
Jepang Naoto Kan mengulang permintaan maaf atas kolonialisme Jepang di Korea. Ketika Abe
berkuasa, tindak tanduknya yang tidak sensitif terhadap kejahatan militer
Jepang merusak rekonsiliasi yang telah berlangsung panjang tersebut. Pada 2015,
administrasi Abe memang setuju menggelontorkan dana 10 miliar won untuk
segelintir penyintas perbudakan seks yang masih hidup. Setahun kemudian,
kedua negara sepakat memperkuat kerja sama di bidang keamanan dengan menandatangani
General Security of Military Information Agreement (GSOMIA). Namun bukan
berarti semua beres, catat Kyle Ferrier di The Diplomat. Publik Korea
masih mengkritisi penyelesaian isu budak seks yang tidak melibatkan para
penyintas dan dilihat sekadar sebagai bantuan kemanusiaan alih-alih deklarasi
legal atau reparasi resmi pemerintah Jepang. Situasi kian muram setelah
Mahkamah Agung Korsel pada 2018 meminta raksasa korporat Jepang—Mitsubishi
Heavy Industries, Nippon Steel, Sumitomo Metal—agar membayar kompensasi pada
warga Korea yang dipaksa jadi buruh selama Perang Dunia II. Abe
membalasnya lewat jalur perdagangan: memperketat ekspor bahan kimia untuk
industri pembuatan semikonduktor di Korsel. Pemerintah Korsel juga mengancam
keluar dari GSOMIA. Ketegangan ini akhirnya mereda setelah Washington turun
tangan—meskipun aura permusuhan kedua pemerintahan tetap terasa. Bagaimana
dengan Korea yang lain, Korea Selatan? Kebijakan Abe
untuk negara tersebut tidak pernah terpisah dari dari kasus penculikan warga
Jepang oleh mata-mata Pyongyang pada dekade 1970-1980. Jepang mengatakan ada
17 warga mereka yang diculik sepanjang periode tersebut dan baru lima yang
kembali. Melansir studi
sejarawan Haruki Wada di The Asia-Pacific Journal (2022), dalam pidato tahun
2006 Abe mengemukakan tiga prinsipnya terkait Korut. Pertama, bahwa
penculikan tersebut adalah “masalah terbesar yang Jepang hadapi.” Kedua,
bahwa “tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Korea Utara tanpa adanya
resolusi untuk masalah penculikan.” Prinsip ketiga adalah keyakinan bahwa
“semua korban penculikan masih hidup, dan semua harus dipulangkan.” Berpegang pada
prinsip ketiga, Abe menolak pengakuan Pyongyang dan temuan investigasi tim
Jepang sendiri, bahwa delapan korban penculikan yang tidak kembali sudah
meninggal dunia. Meskipun pada 2019 Abe mengaku siap berdialog dengan Kim
Jong-un, langkah tersebut tak pernah terealisasi. Kasus
penculikan itulah, ditambah dengan aktivitas senjata nuklir dan rudal Korut,
yang membuat Jepang terus memusuhi Korut dan menghujani mereka dengan sanksi. Siapakah Abe? Rekam jejak
kebijakan luar negeri Shinzo Abe membuatnya dikenang sebagai politikus yang
pragmatis sekaligus berjiwa globalis atau “internasionalis”. Kiprahnya
memperluas jaringan kerja sama dagang dan pertahanan berhasil meningkatkan
daya tawar Jepang sebagai salah satu kekuatan geopolitik dunia. Sedangkan di
dalam negeri, Abe relatif mudah diingat sebagai nasionalis garis keras yang
tidak sensitif terhadap riwayat kekejaman militer Jepang era perang dan mudah
menaruh curiga terhadap dunia pers yang kritis. Di balik
pro-kontra warisan kebijakannya, Abe adalah perdana menteri paling lama yang
pernah berkuasa: total 3.188 hari atau nyaris sembilan tahun, melebihi masa
kerja Katsura Taro (dari era kekaisaran awal abad ke-20) dan Sato Eisaku
(masih berkerabat dengan Abe, berkuasa 1964-1972). Di Jepang,
kursi perdana menteri bukanlah tempat yang nyaman diduduki dalam jangka waktu
lama. Sejak era Perang Dunia II, hanya lima orang yang mampu mempertahankannya
selama lima tahun atau lebih. Sejak 1987, Jepang sudah ganti perdana menteri
sepuluh kali (termasuk yang cuma bertahan dua bulan). Budaya politik
menuntut tanggung jawab besar di pundak elite pejabat. Akibatnya, politikus
cenderung mudah malu dan bergegas mundur begitu publik mengkritisi kinerjanya
dan mendorong popularitasnya turun. Meskipun bukan
tanpa cacat, administrasi Shinzō Abe selama periode 2012-2020 patut diakui
sukses menciptakan stabilitas politik di negeri yang lama terombang-ambing
dalam stagnasi ekonomi dan kerap tertimpa bencana alam. ● |
Sumber
: https://tirto.id/gelap-terang-shinzo-abe-bagian-iii-habis-gt4X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar