Daya
Saing Industri Sawit dan Minyak Goreng Manerep
Pasaribu : Dosen Pascasarjana FEB UI, MEMBER ISMS |
KOMPAS, 20 Juli 2022
Indonesia
telah berperan sebagai produsen minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO)
terbesar di dunia. Pangsa pasar sawit Indonesia mencapai 59 persen di pasar
dunia tahun 2021), disusul Malaysia 25 persen, negara lain 16 persen. Namun
ironisnya Indonesia pada posisi price taker (mengikuti saja harga yang
berlaku di pasar), sedangkan Malaysia menjadi price maker (mendikte harga
pasar, karena keunggulan produknya tidak ada yang menandingi) (Mohsenian-Rad,
2015). Malaysia lebih unggul dalam hal hilirisasi dan lebih kompetitif dalam
melayani konsumen dunia. Komunitas petani sawit Indonesia berkisar 6 juta
orang, dengan penyerapan tenaga kerja tidak langsung 16 juta. Ekspor CPO
memberikan kontribusi penerimaan devisa terbesar sesudah ekspor minyak dan
gas sebesar atau 36 miliar dollar AS (2021). Kontribusi industri sawit ini
mampu membantu Indonesia keluar dari berbagai krisis keuangan dan menutupi
neraca perdagangan yang defisit. Karena itu industri sawit berperan penting
dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,3
juta hektar; terdiri dari 53 persen perusahaan besar atau korporasi perkebunan
swasta, 41 persen rakyat petani termasuk sawit swadaya, dan 6 persen BUMN
(PTPN). (GAPKI, 2020). Jadi peran petani (sawit rakyat dan sawit swadaya)
cukup besar, namun lemah kekuatan tawar menawarnya. Petani ini hanya memiliki
tanaman sawit dan tidak memiliki pabrik minyak kelapa sawit (PKS). Proses panen sawit bertumbuh secara alamiah dan
harus segera diproses. Bila panen sawit ditunda, buahnya menjadi busuk, dan
biaya pemulihannya sangat besar. Buah sawit yang sudah dipanen tidak bisa
disimpan lama dan harus segera diproses menjadi CPO. Bila buah sawit
disimpan, maka kualitasnya menurun drastis dalam hitungan hari. Proses pengolahan yang cepat ini mudah dilakukan
oleh korporasi besar. Di sisi lain, petani sawit tidak punya pabrik
pengolahan menjadi CPO. Bila ada disrupsi pemasaran sawit, seperti perubahan
kebijakan perdagangan sawit, maka populasi petani sawit yang 41 persen itu,
yang pertama kena dampaknya. Mereka bisa langsung menjadi miskin. Awal Mula Petaka Industri Sawit Pada bulan Desember 2021, harga minyak goreng di
pasar dalam negeri melambung sampai Rp 27.000/kg. Sumber kejutan pasar
tersebut diperkirakan, antara lain, dari kelangkaan sumber bahan baku (CPO).
Untuk memenuhi bahan baku minyak goreng (CPO), maka pemerintah melarang
ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang dilakukan mulai Kamis,
28 April 2022. Suatu logika bisnis yang sederhana. Keputusan penghentian ekspor secara total diambil
guna memastikan produk CPO dapat difokuskan pada pemenuhan suplai minyak
goreng curah dalam negeri, sehingga harga dapat turun menjadi Rp 14
ribu/liter, dengan asumsi tidak ada ekspor. Namun sesungguhnya, tingginya harga minyak goreng
semata-mata bersumber dari harga pasar internasional minyak goreng memang
tinggi. Berlaku hukum pasar, di mana harga yang tinggi disitu juga dijual
oleh para pedagang dan produsen minyak goreng. Karena komoditas CPO dan
minyak goreng ditentukan oleh pasar internasional (international market),
maka pasar dalam negeri diisolir dari pasar luar negeri. Kebijakan Publik Menurut Prof Robert Cooter (1996) dari Universitas
California, Berkeley, hukum dan kebijakan publik pada perekonomian, perlu
perhitungkan kekuatan tarik menarik persaingan, karena berdampak pada
distribusi nasib baik dan nasib buruk para pemain pasar. Kebijakan publik
tidak sekedar memikirkan permintaan dan penawaran. Kebijakan publik dapat mengubah produk dan proses
pengadaannya, namun hal itu mencipta masalah baru pada koordinasi dan
kooperasi pada mekanisme permintaan dan penawaran. Kebijakan publik pada
perekonomian ada dua alternatif: 1) Kebijakan komprehensif, memperhitungkan
kepentingan tiap produsen yang terkena, disamping konsumen; atau 2) Kebijakan
kecil-kecilan atau ketengan (piecemeal), seperti sekedar mengatasi keluhan
masyarakat. Pertanyaannya adalah kebijakan publik pada industry kelapa sawit
selama ini tergolong yang mana: apakah komprehensif atau ketengan
(piecemeal)? Sejak larangan ekspor CPO, industri sawit Indonesia
jatuh pada masa sulit, yang berdampak pada harga Tandan Buah Segar (TBS)
khusus di lingkungan sawit rakyat, harga jatuh bebas dari Rp 3.500 sampai
4.000 per kilogram, dan bahkan terjun bebas pada titik terendah baru-baru ini
sampai antara Rp (500-800) per kilogram. Apa masalahnya bisa terjun bebas? Dari kalkulasi sederhana,
dapat dilihat bahwa total produksi CPO Indonesia tahun 2021 berkisar 48 juta
ton, sedangkan kebutuhan CPO di dalam negeri; baik minyak goreng (B30) maupun
industri lainnya mencapai sebesar 18 juta ton. Artinya, sisa 30 juta ton CPO
harus diekspor karena pasar domestik dinilai tidak mampu menampung kelebihan
produksi CPO tersebut. Dengan ditutupnya ekspor pada sisa produksi CPO,
sama artinya dengan mematikan atau mempersempit pertumbuhan industri sawit
rakyat. Memang akumulasi pasokan bahan baku CPO terjadi secara cepat,
tangki-tangki timbun terisi penuh, sampai pabrik kelapa sawit (PKS) tidak
mampu lagi membeli TBS dari petani/rakyat, sehingga harga terjerembab pada
level Rp 300/kilogram. Malah ada sawit rakyat tidak dipanen lagi dan buah TBS
busuk. Petani berteriak dan menangis, sementara melimpah ruah produk CPO di
tanah air. Petani sawit yang paling menderita dari penutupan eksport sawit. Sesudah tiga minggu penutupan ekspor, keran ekspor
dibuka. Namun harga TBS tidak juga terdongkrak, karena konsumen/pelanggan di
luar negeri (India, China, Pakistan, dll) sudah mencari atau pindah ke
pemasok negara lain. Nasi sudah menjadi bubur. Korporasi konsumen CPO luar negeri tentu berpikir
dengan kriteria keberlangsungan (sustainability), ketersediaan (availability),
murah harganya, kwalitas baik, terpercaya (trust), dan delivery yang
terjamin. Langganan seperti India sudah mengalihkan pasokan CPO dari supplier
Malaysia dan Thailand. Dunia berebut beli minyak sawit dan Malaysia mengambil
langkah yang efektif dengan memotong pajak ekspor CPO. Malahan ada negara
dengan korporasinya terpaksa berpindah dengan menggunakan minyak nabati
lainnya seperti bunga matahari. Sementara itu, berdasarkan data terakhir, ada 6,5
juta ton CPO yang tertimbun di Indonesia, yang sebelumnya berperan sebagai
penentu harga pada pasar CPO dunia. Dampak negatif lainnya adalah supply
chain di seluruh dunia mengalami gangguan dari banyak kapal antri. Dari sini
terlihat bahwa dengan tutup buka ekspor (off-on export) CPO ke pelanggan di luar
negeri berdampak negatif yang luas, termasuk kemerosotan penerimaan devisa
dari eksport CPO, serta anjloknya penghasilan petani rakyat (small holder)
yang total memiliki lahan 41 persen dari total lahan produksi sawit, yang
melibatkan sekitar 6 juta petani rakyat plus 16 juta pekerja bayaran. Dampaknya menyedihkan Sementara ekonom menilai kebijakan tutup-buka
ekspor, berpotensi merugikan petani dan pengusaha, serta menekan penerimaan
devisa negara. Kebijakan ketengan pada industri sawit, memojokkan para petani
yang sebetulnya tidak bersalah. Panen sawit mengalami penurunan, sehingga
mereka tak mampu mengadakan pupuk, herbisida, sumberdaya lainnya, apalagi
dengan kondisi harga saat ini yang dilanda inflasi tinggi. Harga jual Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari petani
sejumlah daerah melorot dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun
demikian, para stakeholder industri sawit berharap agar pemerintah
menetralisir dampak negatif dari tutup-buka ekspor CPO, dan merekonstruksi
kembali kebijakan industry sawit secara komprehensif, termasuk membangun
kembali keunggulan daya saing industry sawit pada persaingan dunia, serta
meluruskan kembali produktivitas usaha dari sektor hulu sampai hilir. Dari data produksi CPO sebesar 48 juta ton, yang
digunakan pada pasar domestik 18 ton CPO, masih sisa sebesar 30 juta ton CPO
(GAPKI, 2021). Maka melakukan penghentian eksport secara total untuk memenuhi
kebutuhan minyak goreng dalam negeri, ternyata kurang strategis. Namun
kebijakan sebelumnya pada ”Domestic Market Obligation (DMO)” dengan 20 persen
dari produk CPO tinggal di Indonesia untuk pasar domestic, merupakan langkah
strategis. Tinggal mengawal implementasi DMO yang konsisten, dan cukup
menjaga agar tikus nakal dicari dan dibersihkan. Masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk
menyelamatkan kebutuhan minyak goreng di dalam negeri dan tidak perlu memutus
rantai pasokaan (ekspor) CPO ke luar negeri. Adanya selisih harga minyak
goreng seperti selisih harga pasar, ongkos kirim ke daerah terisolir, dll
dapat diatasi dengan mendistribusikan pungutan/retribusi ekspor CPO dan
turunannya yang sudah ada selama ini untuk menutupi selisih harga diatas
sehingga harga minyak goreng dapat dipertahankan RP 14.000 per kg di tanah
air. Industri Sawit Indonesia perlu ditransformasi untuk
memposisi kembali menjadi unggul di pasar dunia, dan sekaligus menjadi lahan
produktif bagi pemain industri domestik termasuk petani, serta memberi
pengalaman memuaskan bagi konsumen domestik. Tantangan ke depan yang masih berat adalah bagaimana
membangun kembali layanan industri sawit Indonesia yang dapat menjadi daya
tarik bagi konsumen dunia, dibanding pesaing pemasok kelapa sawit lain dari
negara. Bagaimana mencipta kembali posisi Indonesia sebagai price maker pada
pasar dunia, seperti penurunan tarif ekspor dibawah tarif ekspor negara
pemasok kelapa sawit? Bagaimana membangun kembali keakraban eksportir
Indonesia dengan konsumen dunia? Semua pertanyaan disini diharapkan dapat
dijawab paling sedikit secara partial dari uraian diatas. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/20/daya-saing-industri-sawit-dan-minyak-goreng |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar