Nasida Ria, Musik
Islami, dan Kesetaraan Gender Aris
Setiawan
: Etnomusikolog di ISI
Surakarta |
KORAN TEMPO, 22 Juli 2022
Kelompok musik Nasida Ria
dari Semarang membuat kejutan. Mereka memukau penonton dalam festival seni Documenta Fifteen di Kassel, Jerman,
akhir Juni lalu. Kelompok musik Islami yang semua pemainnya perempuan ini
menjadi unik untuk dibaca lebih jauh karena masih bertahan dan bahkan tetap
eksis di usianya yang hampir menginjak setengah abad atau 47 tahun. Nasida Ria lahir pada
momentum yang pas, saat Indonesia sedang gencar-gencarnya menata peradaban
kultural berbasis agama (Islam) setelah peristiwa 1965. Ada upaya untuk
mengembalikan kodrat manusia Indonesia ke jalan "lurus”, jalan yang
dirahmati, ketika sebelumnya agama dan nama Tuhan menjadi obyek politik banal
(baca: lakon-lakon ludruk di zaman Lekra). Hal itu dimulai dengan semakin
maraknya bangunan masjid serta musala di tiap kampung dan bahkan pembangunan
itu digalakkan dan berlangsung masif hingga kini. Upaya itu, oleh
pemerintah, menjadi bagian penting dalam misi membuat manusia Indonesia
semakin religius dan berbudi luhur, alih-alih penurut dan mau diatur. Nasida
Ria lahir dalam gejolak politik dan sosial yang demikian. Mereka secara tak
langsung mendobrak tatanan hierarkis posisi perempuan Indonesia, terutama
Jawa, dalam bingkai religius dan kultural. Dalam bingkai religius,
Nasida Ria mampu tampil sebagai contoh perempuan beriman lewat kostum yang
santun dan sopan. Namun, pada konteks yang sama, kelompok ini menjungkirbalikkan
wacana struktur perempuan secara kultural. Panggung, yang selama ini identik
dengan kuasa laki-laki, berhasil direbutnya. Dalam kacamata kebudayaan Jawa,
peristiwa itu lazim dianggap salah dan menyimpang. Perempuan tampil,
ditonton, dan “dinikmati” tentu tidak sah dalam wacana kultural dan agama.
Perempuan haruslah di dalam kelambu yang rapat, tak terlihat, di dapur, di
kamar, dan hanya boleh bercengkerama dengan suami atau yang dihalalkan. Nasida Ria mendekonstruksi
pandangan tersebut. Sebagai perempuan, di ranah kultural-kesenian, kelompok
itu tanpa canggung bermusik. Dengan mengambil napas Islami sebagai jalan
kekaryaannya, setidaknya mereka melakukan—meminjam istilah Ariel
Heryanto—"perlawanan dalam kepatuhan”. Mereka melawan dominasi laki-laki
dalam kekaryaan musik serta kuasa laki-laki atas perempuan. Perlawanan itu
diikuti dengan kepatuhan, yakni patuh secara agama, bersenandung tentang
nasihat kehidupan serta puji-pujian kepada Sang Pencipta. Posisi yang ambivalen itu
menyebabkan Nasida Ria mampu menyedot atensi publik, tidak saja lewat karya
musik Islaminya, tapi juga wacana kesetaraan gender yang ditorehkan.
Akibatnya, gerakan-gerakan serupa dalam lingkup yang lebih terbatas dilakukan
oleh perempuan-perempuan akar rumput di desa dan sudut kampung. Setelah salat
isya, pada malam tertentu mereka berkumpul bersama dan membentuk nasida
ria-nasida ria rekaan dalam versi yang lebih lokal, yang biasa disebut
samrohan dan diba’an. Perempuan, pada umumnya
ibu rumah tangga, dengan berbekal instrumen musik sederhana semacam terbang
dan tamborin, menyenandungkan puji-pujian kepada Allah dengan lirik-lirik
yang sebelumnya didendangkan oleh kelompok Nasida Ria, seperti Surga di
Telapak Kaki Ibu, Wajah Ayu untuk Siapa, Perdamaian, ataupun Kota Santri.
Nasida Ria menjadi pemantik agar masjid dan musala tak sepenuhnya menjadi
legitimasi kaum Adam. Tidak tanggung-tanggung, kaum perempuan itu bermusik di
masjid dan diizinkan oleh para suami. Nasida Ria sekaligus menjadi tolok ukur
bahwa senandung suara perempuan mampu dilantangkan lewat pengeras suara
masjid. Ini hal yang pada awalnya janggal, tapi menjadi biasa hingga kini.
Para suami dan anak-anak mereka khusyuk mendengarkan di rumah, sedangkan para
ibu berlomba-lomba menyanyikan lirik dengan suara dan nada paling indah. Ada kepuasan batin
tersendiri bahwa lagu-lagu Nasida Ria juga menstimulus kreativitas para ibu
dan perempuan di kampung-kampung untuk mengaransemen musik berdasarkan cita
rasa mereka. Lagu-lagu pop dan dangdut seketika diubah liriknya dengan
teks-teks berbau religius. Lupakan dulu tentang hak cipta karena tujuan
mereka tidak dalam kapasitas komersial, melainkan semata-mata demi dakwah. Di daerah-daerah
berkarakter Nahdlatul Ulama, puji-pujian itu jamak dijumpai. Masjid tidak
sepi dan bahkan ibu-ibu dengan gaya ala Nasida Ria tampil dalam acara-acara
formal semacam pentas tujuh belasan. Nasida Ria merupakan wujud dialogis
perempuan dalam Islam-kultural, antara wacana keterkekangan dan kebebasan,
antara pasif dan aktif, antara dikuasai dan menguasai, antara diam dan eksis,
antara perlawanan dan kepatuhan. Zaman di mana Nasida Ria lahir, tumbuh, dan
terus berkembang tidak semata-mata bersenandung tentang baik-buruk, melainkan
sesekali juga menjadi katalisator dalam menyuarakan program-program Orde
Baru. Dengarkan lagu Dunia dalam
Berita, judul yang sama dengan program berita di TVRI pada pukul sembilan
malam. Liriknya menjadi semacam kepanjangan berita di TVRI kala itu:
Australia kebanjiran, Afrika kekeringan, ASEAN perdamaian, Persia pertikaian.
Atau, dengarkan pula Sengketa Teluk dengan liriknya yang khas: "Iran
Irak bertempur, Amerika turut campur, Uni Soviet pun terlanjur,... Sengketa
Teluk semakin kusut, PBB Kecut malah semrawut". Lirik itu menjadi
dokumentasi penting atas sebuah peristiwa dunia yang selama ini beku di koran
dan buku-buku. Nasida Ria menyenandungkannya dengan indah, sedangkan Orde
Baru tersenyum tanpa resistansi. Selama tak menyinggung politik dalam negeri,
Nasida Ria tetap aman dan eksis. Sebagaimana yang kita dengar,
program berita Dunia dalam Berita senantiasa berisi perang, gejolak panas
politik dunia, kelaparan, kekeringan, banjir, dan sejenisnya. Namun, untuk
berita nasional, yang muncul adalah swasembada pangan, keberhasilan program
keluarga berencana, kesuksesan pemilihan umum, dan berbagai berita positif
lainnya. Nasida Ria memainkan peran
dengan epik. Padahal mereka berada dalam posisi yang riskan. Sebagai
perempuan, mereka dapat digugat karena tampil di atas panggung. Sebagai
kelompok musik, mereka dipandang aneh karena selama ini dominasi kaum Adam.
Mereka berhasil menjinakkan segala diskursus negatif. Tubuh itu dikonstruksi
lebih santun dengan berjilbab, sedangkan nada-nadanya dibangun dari akar
religius yang kuat. Maka, demikianlah Nasida Ria. Musiknya masih enak kita
dengarkan hingga kini kendati banyak generasi telah berlalu. ● Sumber : https://koran.tempo.co/read/opini/475238/nasida-ria-musik-islami-dan-kesetaraan-gender |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar