Presiden Joko Widodo pada acara Orientasi dan Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan DPR dan DPD Periode 2019-2024 di Jakarta kembali menyatakan perlunya reformasi perundang-undangan (regulasi), tak terjebak regulasi formalitas dan ruwet, yang justru menyibukkan masyarakat dan pelaku usaha. Diperlukan regulasi yang sederhana sehingga eksekutif bisa berjalan lebih cepat dan fleksibel (Kompas, 27/8/2019).
Pernyataan serupa pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam debat pertama capres/cawapres pada Pilpres 2019. Saat itu, Jokowi berjanji hendak mendirikan pusat legislasi nasional sebagai jawaban atas berbagai masalah terkait produk legislasi di Indonesia yang ruwet (Kompas, 17/1/2019).
Akar masalah regulasi
Hari-hari ini Presiden Jokowi tengah menyusun postur dan nomenklatur kabinetnya untuk masa kerja 2019-2024. Maka, saat inilah momentum untuk mewujudkan janji tersebut. Dari perspektif kebijakan hukum (legal policy), regulasi di Indonesia tengah mengalami problem akut, terkait dengan kuantitas yang terlalu banyak (hyperregulated) tak sebanding dengan kualitasnya, banyak yang saling berkonflik, inkonsisten, multitafsir, duplikasi, tidak operasional, dan bermasalah secara sosiologis.
Fakta lainnya, kita juga bermasalah dengan data regulasi (database) yang tersebar di berbagai lembaga negara sehingga sulit diakses. Bahkan sulit untuk diharmonisasikan dan disinkronisasikan untuk kepastian hukum. Jika ditelisik secara mendalam, berikut antara lain akar masalah penyebab regulasi di Indonesia mengalami keruwetan sangat akut.
Pertama, banyaknya lembaga pembentukan regulasi di pusat dan di daerah, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, sampai dengan pengesahannya, yakni di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Badan Pembinaan Hukum Nasional; Kementerian Sekretariat Negara; Sekretariat Kabinet; Kementerian Dalam Negeri; serta pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Kedua, ego sektoral antarlembaga pemerintah yang berkepentingan dalam sebuah regulasi.
Ketiga, sulitnya koordinasi antarpemangku kepentingan (stakeholders) terkait. Keempat, ketiadaan lembaga negara tunggal serta memiliki otoritas kuat untuk mengontrol sinkronisasi dan harmonisasi regulasi.
Cara luar biasa
Untuk mengatasi problem akut regulasi tak cukup diselesaikan dengan kebijakan biasa, tetapi memerlukan cara yang luar biasa (extraordinary). Maka, gagasan Presiden Jokowi membentuk pusat legislasi nasional sebagai wujud penyatuatapan lembaga regulasi perlu diapresiasi dan segera diwujudkan.
Idealnya pusat legislasi nasional ini memiliki lima wewenang yang luas. Pertama, mengurusi harmonisasi dan sinkronisasi semua bentuk regulasi, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan daerah.
Kedua, mengontrol konsep legislasi pemerintah dengan koordinasi langsung kepada presiden. Termasuk mengontrol agar presiden tak terlihat melakukan kesalahan tatkala legislasi.
Ketiga, mengusulkan perubahan dan pencabutan regulasi yang tidak sesuai kebijakan pemerintah. Keempat, merekomendasikan untuk mencabut atau mengubah draf regulasi. Kelima, memberikan penafsiran atas produk regulasi terhadap pertanyaan yang diajukan lembaga-lembaga pemerintah.
Untuk mewujudkan gagasan penyatuatapan lembaga regulasi ini, sebaiknya Presiden tidak terpaku pada nama pusat legislasi nasional, akibatnya hanya ditempatkan di luar kabinet. Seharusnya lembaga baru ini ditempatkan dalam nomenklatur kabinet dan pejabatnya setingkat menteri negara, karena berdasarkan ketentuan Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945 presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Tujuan utama menempatkan lembaga baru ini setingkat menteri negara adalah agar langsung berada di bawah kendali presiden sehingga memiliki dukungan politik yang kuat, berkemampuan koordinasi yang baik, efektif, berdaya tawar tinggi dalam mengeksekusi kebijakan regulasi, dan tentu saja lebih dipercaya publik.
Agus Riewanto ; Pengajar Hukum Tata Negara dan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta