Serangan pesawat nirawak atau drone ke kilang minyak Arab Saudi membuat perekonomian dunia yang sudah tidak menentu akibat perang dagang Amerika Serikat-China menjadi semakin tak menentu. Serangan itu sempat membangkitkan kepanikan di pasar minyak dunia yang tercermin dari kenaikan harga minyak, segera setelah serangan itu. Kualitas minyak mentah standar diwakili WTI (West Texas Intermediate), sementara kualitas premium diwakili Brent. Ada selisih harga kurang lebih 10 dollar AS per barrel di antara dua kualitas tersebut.
Harga minyak Brent naik hampir 20 persen ke 72 dollar AS per barrel atau kenaikan tertinggi sejak 14 Januari 1991 pada saat Perang Teluk pecah. Sementara, harga minyak jenis WTI naik ke sekitar 65 dollar AS per barrel. Situasi ini sempat menimbulkan kepanikan sehingga terjadi spekulasi harga minyak akan naik ke 100 dollar AS per barrel, bahkan lebih. Hal ini mendorong anggaran bahwa resesi dunia yang belum pasti kapan terjadinya, akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
Serangan itu menghilangkan produksi minyak kira-kira 5,7 juta barrel per hari dari pasar dunia. Hal ini, jika tidak dikompensasikan, akan meningkatkan harga minyak, baik melalui jalur selisih permintaan dengan pasokan maupun melalui ekspektasi perdagangan instrumen derivatif keuangan berjangka.
Jika kekurangan pasokan ini tidak dapat ditutup, maka ada beberapa skenario kenaikan harga minyak dunia. Jika dalam enam minggu situasi kekurangan pasokan tidak diatasi, maka harga minyak Brent meloncat sampai sekitar 9 dollar AS per barrel menjadi 75 dollar AS per barrel. Skenario lain, jika kekurangan ini tidak kunjung dapat diatasi, maka harga akan naik di atas 75 dollar AS per barrel. AS mungkin akan mengeluarkan cadangan minyak strategisnya untuk mencegah harga menjadi terlalu tinggi atau mendekati 100 dollar AS per barrel.
Persaingan 
Pasar minyak sekarang berbeda dengan pada tahun 1980-an dan 1990-an karena organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) tidak lagi menjadi pemain dominan. Ekspor minyak negara-negara OPEC saat ini hanya meliputi 60 persen dari ekspor minyak dunia, sehingga lebih mirip model ologipoli Cournot yang contestable. OPEC atau Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC berisiko kehilangan pangsa pasar jika harga minyak terlalu tinggi dan rugi jika harga terlalu rendah. Negara-negara non-OPEC yang ongkos produksinya lebih tinggi dapat masuk ke pasar jika harga minyak terlalu tinggi. Harga minyak yang optimal berkisar 50 dollar AS-60 dollar AS untuk WTI.
Untuk memberikan dampak penggentar agar harga minyak tidak terlalu tinggi, perusahaan minyak Aramco memberi pernyataan, pasokan minyak akan pulih pada akhir September. Secara bersamaan, AS juga mengeluarkan cadangan minyak strategisnya. Efeknya, harga minyak WTI turun ke sekitar 59 dollar AS per barrel.
Peluang harga minyak akan naik lagi tetap tinggi karena bukan tidak mungkin akan terjadi eskalasi antara Arab Saudi yang didukung AS versus Iran. Akan tetapi, AS tampaknya lebih memilih memberikan sanksi tambahan kepada Iran ketimbang melakukan serangan militer. Bayang-bayang resesi di AS tampaknya mendasari keputusan ini. Tanpa guncangan di pasar minyak, diperkirakan akan terjadi resesi di AS dalam 12 bulan mendatang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) meramalkan, perekomian AS akan tumbuh 2,4 persen tahun ini dan akan turun lagi menjadi 2,0 persen pada 2020. Sementara, pertumbuhan ekonomi dunia akan turun dari 3,2 persen ke 2,9 persen.
Dampak bagi Indonesia 
Pergerakan Rupiah yang berkisar pada Rp 14.000-an per dollar AS dalam dua pekan ini menunjukkan serangan ke fasilitas minyak Arab Saudi tidak banyak menimbulkan ekspektasi negatif kecuali terjadi eskalasi konflik. Penurunan harga minyak cenderung membuat nilai tukar rupiah menguat yang menstabilkan biaya produksi.
Lingkungan seperti ini sebenarnya cukup baik untuk membuat masyarakat meningkatkan konsumsi. Namun, berdasarkan data bulan Agustus 2019, diperkirakan tidak akan ada peningkatan yang signifikan dari ekspektasi positif karena dipengaruhi berita-berita perang dagang. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun tipis, dari 124,8 di bulan sebelumnya ke 123,1. Penurunan IKK terjadi di hampir seluruh kategori responden menurut pengeluaran, dengan penurunan paling besar pada responden dengan kelompok pengeluaran Rp 2,1 juta-Rp 3 juta per bulan. Adapun dari sisi usia, penurunan IKK terjadi di hampir seluruh kelompok usia. Pesimisme paling besar pada responden dengan rentang usia 51-60 tahun yang turun 5,8 poin. Dengan gambaran ini diperkirakan konsumsi masyarakat yang tumbuh 5,2 persen secara tahunan.
Sebaliknya, kondisi bisnis dan optimisme pelaku bisnis Indonesia pada triwulan II-2019 masih terus tumbuh, kendati mungkin akan turun tipis pada triwulan III-2019, mengikuti IKK yang turun tipis. Indeks Tendensi Bisnis (ITB) meningkat pada triwulan II-2019 menjadi 108,81 dari 102,10 pada triwulan I-2019. Kondisi yang membaik ini disebabkan peningkatan pendapatan, penggunaan produksi, dan rata-rata jumlah jam kerja.
Dalam situasi ini, investasi pada triwulan III-2019 diperkirakan tumbuh 5,1 persen secara tahunan. Ketidakpastian perang dagang AS-China tetap akan menekan pertumbuhan ekspor Indonesia sehingga surplus neraca dagang dapat terjadi lagi, meskipun ekspor dan impor sama-sama menurun seperti yang terjadi di bulan Agustus. Efek positif keseluruhan dari variabel-variabel makroekonomi di atas terhadap pertumbuhan ekonomi baru akan terasa pada triwulan IV-2019 atau triwulan I-2020, kemudian menurun lagi dengan kemungkinan resesi di AS pada triwulan III-2020. ***