Bicara Papua adalah wicara luka batin yang menganga. Obatnya sebenarnya sangat mustajab, afirmasi positif berupa keputusan politik negara yang menetapkan Gubernur Papua dan Papua Barat adalah orang asli Papua. Ditambah beberapa kekhususan lain, seperti di bidang kesejahteraan, politik, legislatif, kekuasaan peradilan, keamanan dan ketertiban hukum, perlindungan kultural dan adat, serta keuangan daerah. Semua itu intinya orang asli Papua mendapatkan perlakuan yang ”istimewa”.
Keputusan politik itu merupakan hasil perdebatan amat keras antara mazhab ”NKRI” dan ”Papua Merdeka”. Dalam perspektif negara, kompromi tersebut merupakan tekad adiluhung yang didorong kesadaran negara melunasi utang sejarah orang asli Papua (OAP) karena negara selama ini mengabaikan pembangunan dan membiarkan pelanggaran atas hak-hak asasi orang Papua.
Narasi tersebut dituangkan secara gamblang dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (selanjutnya disebut UU Otsus). Sementara itu, dari sudut pandang OAP, seabrek kewenangan khusus tersebut dapat dijadikan bekal dalam membangun tanah Papua, berdasarkan perspektif OAP sendiri.
Namun, sayangnya regulasi yang dapat memahat sejarah Papua bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan memuliakan OAP kandas di tengah perjalanan. Penyebab utamanya adalah rimba belantara regulasi negara, mulai dari tingkat pusat sampai daerah serta antarsektor.
Ambil contoh, penggunaan dana otsus, regulasi menetapkan anggaran tersebut hanya untuk pendidikan dan kesehatan OAP. Selama ini jumlah totalnya mencapai puluhan triliun rupiah, tetapi hasilnya nyaris tidak membekas, untuk tidak mengatakan gagal.
Penyebabnya, silang sengkarut dan tumpang tindih regulasi yang mengatur pemerintahan daerah, otonomi khusus, dan keuangan negara. Skema dana transfer pusat ke daerah mengakibatkan pembangunan daerah tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Sering terjadi aturan sektoral cenderung mengalahkan kewenangan khusus pemerintah Papua. Akibat lain yang lebih merusak, jika regulasi itu tidak dibenahi, tanah Papua hanya menjadi lahan sangat subur korupsi.
Isu lain yang masih akut di tanah Papua adalah rasa aman dan nyaman merawat budaya dan tradisi mereka. Demo dan kerusuhan di beberapa kota di kedua provinsi tersebut memberikan isyarat perlindungan negara terhadap kultur dan adat OAP belum efektif. Pemicu aksi brutal dengan narasi antirasialisme yang menyulut kemarahan orang Papua di Mimika dan Jayapura serta di Provinsi Papua Barat di Fakfak, Manokwari, dan Sorong selama beberapa hari dirasakan janggal dan tidak otentik; terutama di Papua Barat yang selama puluhan tahun mengalami integrasi sosial yang sangat mapan.
Beberapa kalangan menganggap isu sentralnya bukan rasialisme, melainkan masifnya gelombang penetrasi dari luar yang membawa tradisi, adat istiadat, nilai-nilai eksklusif dan partikularistik disertai pembangunan simbol- simbol yang melambangkan hegemoni mereka; yang semakin lama dirasakan mengancam eksistensi dan survival nilai-nilai budaya dan adat OAP.
Oleh sebab itu, kebijakan Otsus Papua juga harus memperhatikan masyarakat Papua yang masih memerlukan waktu menerima penetrasi budaya dan adat istiadat dari luar. Daya akseptabilitas masyarakat Papua menerima migrasi dari luar harus dilakukan bertahap sejalan dengan tingkat pemahaman mereka membangun kehidupan bersama yang beragam. Oleh sebab itu, para pendatang diharapkan menyesuaikan diri serta tidak terlalu ambisi membangun simbol-simbol yang dapat mengganggu dan membuat luka batin OAP semakin dalam.
Konstatasi tersebut tampaknya dirasakan pula oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. Ia menegaskan agar masyarakat dalam menyampaikan pendapat berkoordinasi dengan aparat keamanan guna menghindari mereka yang memanfaatkan dan menunggangi demonstrasi sehingga menjadi anarki dan merusak perdamaian Papua. Pernyataan tersebut mengantisipasi merangseknya ideologi konservatif menjalar ke Papua, terutama mewaspadai sel-sel organisasi yang telah dibubarkan oleh negara karena anti-Pancasila mulai beroperasi di tanah Papua.
Ancaman semakin menguat jika kelompok arus mini konservatisme tetapi militan berkelindan dengan elemen-elemen yang selama ini komoditasnya ”Papua Merdeka”. Gejala tersebut tampaknya juga tercium oleh TNI dan Polri. Berbekal kekompakan dan profesionalisme, kedua institusi yang bertanggung jawab di bidang keamanan dan ketertiban itu secara intensif bahu-membahu meredam kerusuhan serta diharapkan menjamin rasa aman yang lebih permanen.
Agenda urgensi dewasa ini menyempurnakan UU Otsus yang akan berakhir bulan November 2021. Evaluasi pelaksanaan telah dilakukan banyak kalangan. Sejumlah isu penting antara lain eksistensi partai lokal, perekrutan Majelis Rakyat Papua, serta pembentukan Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi. Penyempurnaan perlu dilakukan dengan dialog konstruktif dalam kerangka tanah Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam jangka panjang perlu dialog serius tentang pemahaman sejarah integrasi Papua sebagai wilayah NKRI. Latar belakang historis Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) menyajikan fakta sejarah, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui Irian Barat adalah wilayah sah Republik Indonesia. Dokumen lengkap pasti dapat ditemukan di Kementerian Luar Negeri. Akhirnya, pembangunan tanah Papua harus berdasarkan prinsip, apa yang orang Papua mau dan apa yang orang Papua bisa. ***