Presiden Joko Widodo melalui pidato Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 menegaskan bahwa pengelolaan fiskal dilakukan dengan hati-hati. Utang pemerintah akan dikelola secara efektif dan menjadi produktif sehingga memperkecil risiko stabilitas ekonomi.
Dalam kurun lima tahun terakhir, utang Pemerintah Indonesia mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Pada semester I-2019, utang pemerintah telah mencapai Rp 4.570,17 triliun. Nominal itu melonjak hampir dua kali lipat dari tahun 2014 yang tercatat Rp 2.608,8 triliun.
Kenaikan ini turut mengerek rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang diproyeksikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi 30,4 persen.
Apabila dilihat dari sudut pandang hukum, mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, posisi utang Pemerintah Indonesia tentu bukan menjadi persoalan mengingat rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen. Defisit APBN juga terjaga di bawah 3 persen terhadap PDB. Selain itu, posisi utang Pemerintah Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan posisi utang negara-negara ASEAN.
Namun, dalam perspektif ekonomi, indikator tersebut tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur kemampuan sebuah negara menghadapi risiko gagal bayar.
Krisis utang Eropa telah memberikan pengalaman berharga di mana Spanyol dan Irlandia, yang memiliki rasio utang terhadap PDB masing-masing sebesar 39,5 persen dan 42 persen pada 2008, justru masuk dalam program penyelamatan Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, seperti Italia dan Belgia, tidak menjadi pasien IMF.
Dominasi kepemilikan asing sebesar 40 persen dalam Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia juga cukup berisiko bagi kestabilan ekonomi domestik. Apabila terjadi guncangan ekonomi seperti pada 2018, investor asing akan mudah melepas kepemilikan SBN sehingga arus modal keluar (capital outflow) menjadi tidak terbendung, yang berdampak pada terdepresiasinya rupiah dan tergerusnya cadangan devisa.
Berbeda dengan Jepang, meskipun rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 245 persen, sebanyak 90 persen surat utang tersebut dimiliki oleh masyarakat dan bank sentralnya. Karena itu, minimnya porsi investor asing menyebabkan nilai tukar yen relatif stabil.
Di sisi lain, posisi rasio utang terhadap pendapatan (debt to services ratio/DSR) Indonesia—rasio yang membandingkan antara nilai pokok pinjaman dan bunga terhadap pendapatan neraca transaksi berjalan—masih di kisaran 27 persen, di mana angka ini melewati ambang batas IMF, yaitu 25 persen. Tingginya DSR memberikan sinyal bahwa utang pemerintah masih kurang produktif untuk mendorong kinerja ekspor Indonesia.
Hal tersebut pada akhirnya akan menimbulkan diskursus publik mengenai efektivitas utang Pemerintah Indonesia untuk menciptakan efek berganda terhadap perekonomian nasional mengingat sejak tahun 2014 rata-rata utang pemerintah naik sebesar 14 persen setiap tahun. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi masih mengalami stagnasi di level 5 persen. Kita perlu menyadari bahwa badai krisis dapat melanda sebuah negara apabila kenaikan utang suatu negara yang tinggi, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kondisi perekonomiannya.
Hal ini bisa menggerogoti kinerja fiskal mengingat adanya korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan kemampuan pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara. Tahun 2015, misalnya, pada saat ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,79 persen—terendah sejak 2010—realisasi penerimaan negara hanya 81,5 persen, yang menyebabkan defisit APBN hampir menyentuh 3 persen terhadap PDB.
Bayang-bayang performa fiskal yang masih belum bisa membaik mulai menghantui APBN 2019. Pada semester pertama, realisasi penerimaan negara baru mencapai 41,5 persen, lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai 44 persen. Apabila target pendapatan negara meleset, dipastikan defisit APBN yang awalnya diproyeksikan 1,84 persen terhadap PDB—terkecil sejak 2013—akan melebar dan defisit keseimbangan primer kembali naik.
Kondisi defisit keseimbangan primer harus menjadi perhatian serius pemerintah karena mengindikasikan bahwa beban bunga utang dibayarkan dengan cara menambah utang baru. Apalagi dengan imbal hasil (yield) obligasi yang relatif tinggi rata-rata 7 persen dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand.
Sebagai catatan, pembayaran bunga utang dalam APBN 2019 telah meningkat, baik dari segi nominal maupun porsi terhadap total belanja. Tahun ini, pemerintah setidaknya harus menyiapkan dana sebesar Rp 275,9 triliun—11 persen dari total belanja—untuk membayar bunga utang. Angka tersebut setara dengan setengah alokasi anggaran belanja pendidikan. Jika bunga utang terus meningkat tanpa diikuti dengan perbaikan signifikan penerimaan negara, dapat dipastikan ruang fiskal pemerintah akan semakin menyempit.
Standard and Poor’s (S&P) sudah memberikan peringatan terkait penurunan peringkat utang Indonesia apabila dalam dua tahun ke depan beban bunga masih melampaui 10 persen dari total pendapatan pemerintah dan rasio utang terhadap PDB masih di atas 30 persen.
Optimalisasi utang
Di tengah limitasi ruang fiskal dan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam pengelolaan utang pemerintah, peningkatan kualitas belanja dan penggunaan utang menjadi poin krusial dalam mendorong perekonomian nasional. Hasil kajian Bappenas menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah sebesar 11 persen pada 2017-2018 hanya mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen. Padahal, potensi belanja negara terhadap PDB Indonesia adalah 0,66 persen. Oleh sebab itu, adanya selisih yang cukup besar antara potensi dan realitas dampak belanja negara terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa masih banyak alokasi APBN yang belum tepat sasaran.
Kondisi ini juga tecermin dari incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia—rasio yang mengukur efisiensi investasi di suatu negara—yang meningkat sejak 2014. Hal ini wajar mengingat program prioritas pemerintah adalah pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah dalam kurun waktu hampir lima tahun belum mampu menunjukkan hal positif dalam penurunan ICOR Indonesia yang berada di level 6,3 persen. Padahal, ICOR rata-rata negara ASEAN saat ini adalah 3 persen.
Selain itu, penggunaan utang dalam menutup defisit APBN bisa pula terjebak dalam ketidakefisienan mengingat tidak ada kewajiban khusus untuk menerbitkan surat utang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Utang bisa bebas digunakan untuk membiayai belanja pemerintah, baik yang bersifat produktif maupun nonproduktif.
Hal ini berbeda apabila pemerintah menerbitkan utang dalam bentuk sukuk yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang setiap penerbitannya harus memiliki underlying assets (obyek yang menjadi dasar transaksi penerbitan sukuk). Dengan demikian, pengeluaran pemerintah telah terikat dalam kegiatan suatu proyek (project based sukuk), seperti pembangunan jalan, jembatan, dan sekolah. Dana sukuk juga tidak dapat digunakan untuk belanja lainnya. Namun, kontribusi sukuk terhadap total SBN masih sangat kecil, sekitar 18 persen.
Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya mengimplementasikan konsep penerbitan surat utang menggunakan skema project bonds tidak hanya terbatas pada sukuk, tetapi juga dalam surat utang negara, di mana proyek-proyek strategis menjadi jaminan dari surat utang tersebut.
Melalui skema ini, penggunaan utang dapat dikontrol dan diawasi dengan mudah, baik oleh investor maupun masyarakat. Dengan demikian, kualitas dari utang pemerintah meningkat dan tidak hanya menciptakan efek berganda terhadap pertumbuhan dan stabilitas perekonomian Indonesia, tetapi juga menjadikan APBN lebih berkelanjutan.
(Aviliani, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance)