Sejak disampaikan dalam acara Konvensi Rakyat (24/2/2019), Kartu Pra-Kerja—bisa dikatakan—adalah kartu yang paling kontroversial daripada tiga kartu sakti Presiden Joko Widodo. Selain baru dan mencapai 2 juta penerima, juga ada insentif pasca-pelatihan—yang sering disalahartikan sebagai menggaji penganggur.
Esensi Kartu Pra-Kerja adalah memberikan pelatihan vokasi berdurasi jangka pendek. Kelompok sasaran utamanya adalah anak muda lulusan SMA sederajat, baik penganggur maupun bukan.
Membekali/meningkatkan keterampilan menjadi tujuan antaranya, sedangkan tujuan finalnya meningkatkan kebekerjaan (employability), dalam arti mereka bisa memperoleh pekerjaan untuk pertama kalinya ataupun berganti pekerjaan. Menjadi pekerja atau wirausaha tidaklah soal.
Menurunkan penganggur muda
Program baru Jokowi ini bukan tanpa alasan. Meski tingkat pengangguran terbuka hanya 5,01 persen atau 6,82 juta jiwa, untuk rentang usia 19-24 tahun, angkanya mencapai 18,2 persen (3 juta jiwa) dari angkatan kerja di kelompok usia ini (Sakernas BPS). Alasannya, anak-anak muda ini tak punya pengalaman kerja akibat minus keterampilan, sedangkan 88 persen lowongan pekerjaan meminta pengalaman kerja minimal 1 tahun (Jobstreet).
Membidik anak muda juga membawa misi menyelamatkan generasi. Mengapa? Karena dari 3 juta penganggur pada usia 19-24 tahun ini, 64 persen lulusan SMA sederajat dan 13,6 persen lulusan diploma I ke atas. Artinya, meski terdidik, mereka menganggur. Anak-anak muda ini bisa terkena ”kutukan pengangguran” jika tak kunjung mendapatkan pekerjaan, yaitu hilangnya modal manusia (human capital loss) yang sudah diakumulasi sejak kecil—yang wujudnya bisa berupa menurunnya keterampilan hingga kepercayaan diri mereka. Padahal, investasi pendidikan yang sudah dikeluarkan tidaklah sedikit.
Soal keterampilan yang absen atau tak pas dengan permintaan industri inilah yang akan disasar program Kartu Pra-Kerja. Program Kartu Pra-Kerja bukanlah satu-satunya instrumen dalam sistem pelatihan nasional. Ada revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, pembangunan BLK baru, pengurangan pajak untuk vokasi dan litbang, beasiswa talenta digital, asuransi pengangguran untuk pelatihan kembali, dan sebagainya.
Dalam Rapat Terbatas tentang Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (16/5/2019), Presiden Jokowi meminta agar pelatihan dalam Kartu Pra-Kerja disesuaikan dengan kebutuhan riil industri, dan harus menetas—dalam arti konkret hasilnya. Terkait kebutuhan ini, dari 300.000 iklan lowongan kerja yang ada di sebuah platform digital setahun terakhir ataupun dari harian Kompas diperolehlah informasi awal mengenai bidang spesialisasi yang paling dicari untuk kualifikasi lulusan SMA sederajat, diploma, hingga sarjana.
Untuk SMA sederajat, misalnya, yang paling dicari adalah posisi tenaga penjualan, F & B/restoran, general work (pengemudi, kurir, petugas satpam), administrasi, dan pemasaran untuk kebutuhan industri manufaktur, F&B/katering/restoran, ritel dan perdagangan besar, hingga jasa keuangan. Sementara spesialisasi IT/komputer/software banyak diminta untuk kualifikasi diploma ke atas—itu pun di peringkat ketiga ke bawah. Dua spesialisasi teratas masih diduduki tenaga keuangan dan pemasaran.
Dengan platform lowongan kerja digital, informasi bisa didetailkan lagi menurut provinsi. Di DKI Jakarta, misalnya, IT menempati posisi teratas. Sementara di Kalimantan Utara, pertanian/kehutanan/perikanan paling dicari. Informasi detail ini bisa dianalisis kecenderungannya dari waktu ke waktu.
Bertolak dari informasi awal sisi permintaan ini, disusunlah sembilan kluster pelatihan di sisi penawarannya, yaitu teknik, teknologi informasi, perbankan/jasa keuangan, penjualan-pemasaran, perkantoran, gaya hidup, makanan-minuman, pertanian, dan bahasa asing.
Dalam pidato Nota Keuangan (16/8/2019), Presiden menyebut beberapa kursus spesifik dalam kluster-kluster itu, seperti pengodean (coding), data analitik, desain grafis, akuntansi, bahasa asing, barista, agrobisnis, hingga operator alat berat.
Memanfaatkan platform digital swasta
Sejalan dengan Visi Indonesia agar cara baru dan nilai-nilai baru diterapkan dalam mencari solusi setiap masalah melalui inovasi, sebanyak 1,5 juta dari 2 juta Kartu Pra-Kerja akan diimplementasikan secara digital dengan sebanyak mungkin melibatkan swasta. Maksudnya, pemerintah akan memanfaatkan perusahaan platform digital yang sudah ada untuk menjadi penghubung antara penerima manfaat Kartu Pra-Kerja, penyedia jasa pelatihan, dan pemberi kerja. Pelatihannya mayoritas masih lewat tatap muka meski ada yang sudah digital, seperti bahasa asing.
Model seperti ini bukanlah baru. Saat ini beberapa aplikasi digital sudah menawarkan aneka kursus keterampilan berbiaya mandiri (karena itu masih sangat sedikit jumlahnya). Orang tinggal buka aplikasi, memilih jenis kursus di daerah mereka, melihat biaya dan paketnya, membaca rating dan ulasan pengguna. Begitu sudah dipilih, ia akan menerima QR code untuk dibawa ke tempat kursus, dan setelah kursus ia bisa memberikan rating dan ulasan.
Kartu Pra-Kerja akses digital kurang-lebihnya menggunakan mekanisme standar ini. Jadi, kartunya tak lagi fisik, tetapi digital. Selain itu, setelah menyelesaikan pelatihan, peserta akan memperoleh insentif pasca-pelatihan ke dompet digital mereka sebagai pengganti (sebagian) uang transportasi, pulsa, dan makan.
Setiap provinsi mungkin akan mendapat kuota sebanding dengan jumlah penganggur mudanya. Jawa-Bali, misalnya, menempati 62,3 persen dari 1,5 juta kartu, sedangkan Sumatera 21,2 persen. Dominannya Jawa-Bali-Sumatera juga diamini oleh data iklan lowongan kerja. Adapun berapa nominal ”beasiswa untuk pelatihan” yang akan diberikan per orang masih didiskusikan.
Dipilihnya jalan digital ini, selain karena anak muda sudah terbiasa dengan aplikasi, juga karena lebih mudah, transparan, akurat, inklusif, bertumbuh, dapat dilacak, dan kaya data. Risiko dan kekurangan metode digital pasti ada, tetapi dimitigasi.
Cara digital ini juga dirasa cocok dengan profil penganggur muda. Selain berpendidikan, sebanyak 64,5 persen ada di perkotaan. Namun, karena penetrasi digital belum merata, sejumlah 500.000 Kartu Pra-Kerja masih dilakukan secara reguler melalui BLK, lembaga pelatihan kementerian dan lembaga, lembaga pelatihan industri, dan lainnya.
Harus diakui, Kartu Pra-Kerja bukanlah peluru perak yang ditembakkan di ruang hampa (lapangan pekerjaan harus tumbuh juga!). Jalan panjang untuk membuat desain ini bisa terimplementasikan masih terbentang. Inovasi akan selalu berisiko karena kebaruannya atau tidak linier. Namun, justru di situlah tantangan apakah kita bisa berkolaborasi mewujudkan gagasan menjadi kenyataan.
Bagi seorang pesimistis, inovasi adalah kaos yang menciutkan nyali. Bagi yang optimistis, inovasi adalah kesempatan untuk menghadirkan solusi bagi 1,8 juta anak muda Indonesia lulusan SMA sederajat yang memasuki pasar kerja per tahun—tak terkecuali bagi keluarga mereka.
(Denni P Purbasari ; Deputi III Kantor Staf Presiden)