Abad lalu, saya dan Suharso Monoarfa, kini pejabat ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menulis di koran ini dengan judul “Politik Pasca Nasi” (“Kompas”, 1-2/9/1992). Tulisan itu usulan pengakhiran tekanan berlebihan terhadap pembangunan ekonomi (“politik nasi”) dan mulai menerapkan demokrasi (“politik pasca-nasi”) sampai pergantian abad. Kita tahu, pada 1998, enam tahun setelah tulisan itu, melalui reformasi kaum muda, sistem politik demokrasi ditegakkan.
Pada 2014, ketika abad berganti, dengan judul “Yudhoyono, Jokowi dan KPK” (Kompas, 15/9/ 2014), saya menyatakan bahwa efek dari demokratisasi politik sejak 1998 melahirkan tiga hal pokok. Pertama, karena kenangan kolektif rakyat tentang pemimpin gagah mempesona telah terpatri sejak kemerdekaan 1945, maka Susilo Bambang Yudhoyono, (seorang jenderal berpenampilan gagah dari kalangan elite), terpilih menjadi presiden ketika, sejak 2004, rakyat diberi hak memilih secara langsung.
Kedua, kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengubah pandangan rakyat kebanyakan tentang peranan elite justru di dalam sistem politik demokrasi. Di akhir periode kepresiden kedua Yudhoyono (2013-14), KPK menangkap kalangan elite yang terlibat korupsi. Rakyat yang setiap hari menonton melalui berita televisi merasa kehilangan kepercayaan kepada elite.
Ketiga, aksi KPK memberantas korupsi itulah yang mendorong Joko Widodo (Jokowi) tampil ke puncak kepemimpinan nasional pada 2014. Rakyat yang curiga terhadap kepemimpinan elite cenderung memilih pemimpin dari kalangannya sendiri: Jokowi. Secara langsung atau tidak, kemunculan Jokowi ke pucuk pimpinan nasional berkaitan dengan perubahan persepsi politik rakyat terhadap elite melalui aksi tanpa pandang bulu KPK memberantas korupsi. Karena itu, kerap saya katakan, Jokowi adalah “pemimpin pasca-elite”.
Demokrasi dan oligarki kekuasaan
Walau terasa “dipaksakan”, kedua tulisan yang berlainan abad di atas terkoneksi. Usulan penerapan “politik pasca-nasi” terealisasi pasca-Orde Baru (1967-1998). Dengan penerapan politik ini, bukan saja partai-partai bisa berartikulasi tanpa terkekang, melainkan juga, setidak-tidaknya terlihat pada keterpilihan Jokowi sebagai presiden untuk kedua kali pada 2019, terjadi “deelitisasi” radikal calon pemimpin nasional.
Benar, telah terjadi “migrasi modal” ke dalam dunia politik ketika sistem demokrasi diterapkan. Akan tetapi, walau tak pernah bisa sempurna, melalui aksi-aksi KPK memberantas korupsi, intervensi modal ke dalam kekuasaan relatif teredam. Betapapun sangat ekspresifnya demonstrasi modal dalam pembuatan kebijakan negara, seperti proyek Meikarta, kehadiran “tangan dingin” dan impersonal KPK berhasil memotongnya.
Akan tetapi, harus diakui ada hal yang tak terantisipasi di dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia: lemahnya landasan etik sosial-ekonomi dan absennya basis material di tengah-tengah masyarakat. Dengan biaya politik demokrasi yang kian mahal, ketiadaan dua hal fundamental di atas telah menyebabkan pengulangan tingkah-laku politik 1950-an. Yaitu, ketika hampir seluruh partai-partai politik, tulisan Richard Robison tentang politik 1950-an dalam Indonesia: The Rise of Capital (1985), berlomba-lomba masuk ke dalam pemerintahan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia di dalamnya.
Sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, baik absennya etik sosial-ekonomi maupun basis material masyarakat tak banyak berubah. Sementara absennya etik sosial-ekonomi tak terbantu oleh artikulasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar, kelemahan basis material tak terbantu secara tuntas dengan tiga dekade pembangunan ekonomi Orde Baru.
Situasi inilah yang “terutama” dihadapi Jokowi. Mengapa “terutama”? Jawabannya karena ia tampil ke puncak kepemimpinan nasional sorang diri?Dalam pengertian sebenarnya. Ia bukan saja tidak berasal dari kaum pemilik modal, melainkan juga tidak memiliki partai politik. Jadi, dalam konteks komposisi kekuasaan politik, Jokowi dengan demikian bukanlah Yudhoyono, bukan Megawati Sukarnoputri, bukan Prabowo Subianto dan bukan Surya Paloh.
Juga bukan bagian dari pemimpin partai lain seperti Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Maka, ketika tampil sebagai pemimpin puncak nasional, Jokowi secara struktural telah berada di lingkungan oligarki para pemilik dan pimpinan parpol. Hampir seluruh partai yang mengelilingi Jokowi inilah yang mengusulkan perubahan UU KPK.
Sindrom “Negeri Setnov” dan politisi muda
Frasa “Negeri Setnov (Setya Novanto)” saya pinjam dari kawan yunior, Ahmad Fadillah. Yaitu sebuah negeri yang bukan saja menggambarkan pejabat negara melakukan korupsi dengan terang-terangan, melainkan juga mampu membawa lembaga yang dipimpinnya, DPR, melawan KPK.
Hemat saya, fenomena Setnov ini sangat menarik. Peristiwa penangkapannya telah menghadirkan “drama” tersendiri di tingkat nasional. Akan tetapi, di atas semua itu, Setnov adalah satu-satunya politisi yang mampu kembali menjadi ketua DPR pasca-pengunduran dirinya di dalam kasus “Papa Minta Saham”. Dan apa yang membuat frasa “Negeri Setnov” dari Ahmad Fadillah ini menjadi lebih terkesan adalah karena seluruh partai politik, kecuali anggota DPR Taufiqulhadi, menerima kepemimpinan Setnov di DPR.
Kini, walau Setnov tak lagi berkinerja dalam dunia politik, “sindrom”-nya masih tersisa. Usahanya melawan KPK dilanjutkan dengan cara yang lebih lembut di DPR. Yaitu melalui aksi legislasi. Seperti terlihat dalam berbagai berita, tokoh-tokoh utama di balik aksi legislasi pelemahan KPK ini justru dimotori para politisi muda di DPR. Tokoh-tokoh muda yang ketika jadi mahasiswa paling lantang menentang korupsi di masa Orde Baru. Di sini kita melihat ada “misteri” yang tak tergambarkan tentang mengapa politisi generasi muda yang justru mengambil peran pelemahan KPK.
Sementara “misteri” ini perlu waktu dipecahkan, saya justru melihat ada jalan “terang” dalam proses pemberantasan korupsi. Strateginya adalah pengakhiran sindrom “Negeri Setnov”. Bagaimana konkretnya aksi ini? Jawabannya adalah pendalaman etik sosial-ekonomi dan pemakmuran material. Dengan strategi pengakhiran sindrom ini, akan muncul tokoh-tokoh baru dipanggung “politik” nasional.
Yang pertama, pada tingkat masyarakat, tokoh-tokoh yang harus dimunculkan adalah NU dan Muhammadiyah. Jika, terutama NU, berhasil mengangkat kembali Jokowi menjadi presiden untuk jabatan kedua (2019-2024), maka, bersama Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar ini harus turut bertanggung jawab mendukung pemberantasan korupsi dengan aksi pendalaman etik sosial-ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Bukankah NU dan Muhammadiyah akan tak merasa nyaman dengan kenyataan tingginya tingkat korupsi di negeri mayoritas berpenduduk Islam?
Yang kedua adalah kombinasi Jokowi dan potensi kaum muda baik dari kalangan muda profesional maupun parlemen atau DPR. Jokowi dan kaum muda pada dasarnya adalah kalangan yang belum terkena sindrom “Negeri Setnov”. Lepas dari tujuan teknikal, usaha Jokowi memasukkan kalangan muda profesional ke dalam kabinet berdampak pada pengikisan sindrom ini.
Lalu, bersama kaum muda parlemen (Taufiqulhadi, Masinton, Arsul Sani, Fadli Zon dan Fahri Hamzah [bergabung dengan anggota DPR muda yang akan dilantik]) harus membentuk “Kaukus Politik”. Ini adalah sebuah gerakan kaum muda lintas partai di istana dan parlemen yang berusaha memperlihatkan diri terpisah dari “generasi tua” yang umumnya tak imun dari sindrom “Negeri Setnov”.
Di bawah kepemimpinan Jokowi, didukung NU dan Muhammadiyah serta berbagai elemen civil society, termasuk pers, gerakan kalangan muda dalam wujud Kaukus Politik di parlemen ini akan menjadi gelombang besar menciptakan politik Indonesia yang demokratis dan bersih dari korupsi. Rakyat kecil yang telah berjuang memilih Jokowi sejak Pilpres 2014 hingga 2019, tentu akan bangga melihat bangsa Indonesia terlepas dari sindrom “Negeri Setnov”.
Fachry Ali ; Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia (Lspeu Indonesia)