”…Apa kau tahu bahwa menjadi seorang politikus itu tidak mudah? Apalagi kalau kau mau jadi politikus yang berpijak pada kepentingan politik rakyat.”   Soekarno, 1964
Beberapa minggu ini kita disuguhi berita kontroversial terkait calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK, yang hampir tiada henti. Tulisan dan logo KPK di Gedung Merah Putih diselimuti kain warna hitam sebagai simbol penolakan terhadap pelemahan antikorupsi.
Sejenak kemudian kita terenyak dengan berita hengkangnya investor asing untuk berinvestasi di luar Indonesia dan betapa irinya dengan kemajuan India meluncurkan pesawat luar angkasanya menuju bulan. Sementara kita rupanya masih belum move on. Maju untuk kemudian mundur.
Membangun lembaga antikorupsi untuk kemudian melemahkan dan membubarkannya. Sejarah mencatat perjalanan pemberantasan korupsi dipenuhi drama tumbuh dan punahnya lembaga itu sejak Indonesia merdeka. Setidaknya bagi KPK, cerita mempertahankan independensinya dari pengaruh kooptasi kekuasaan telah mewarnai perjalanannya selama hampir dua dekade.
Tak mudah, tetapi itu pilihan agar KPK tetap bertahan dan dipercaya rakyat. Nasihat Bung Karno kepada Guntur Soekarno di Istana Merdeka pada 1964, sebagaimana tertulis dalam cuplikan buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku di atas, mengingatkan saya kembali akan perjuangan Bung Karno dan relevansinya terhadap situasi politik Tanah Air. Mengingatkan kita semua agar tak jauh dari politik rakyat. Politik yang jadi aspirasi dan harapan rakyat.
Politik rakyat saat ini menginginkan korupsi diberantas tuntas. Sayangnya, para wakil rakyat cenderung tak memahami keinginan rakyatnya agar KPK diperkuat. Setidaknya keinginan itu terkonfirmasi dari sejumlah aksi oleh kaum intelek, rakyat, dan komunitas serta silent majority di segala penjuru Tanah Air.
Kecurigaan masyarakat sipil terhadap pelemahan pemberantasan korupsi cukup beralasan. Ada upaya pelemahan terhadap KPK yang dilakukan secara sistematis melalui revisi UU KPK, RUU KUHP, dan pemilihan pimpinan KPK yang penuh kontroversi. Draf usulan revisi UU KPK yang ada dapat dipastikan akan mengamputasi kewenangan penindakan KPK. Menjadikan KPK mudah dikendalikan kekuasaan.
Padahal, KPK sebagai produk reformasi didesain sebagai lembaga negara independen dan terlepas dari kekuasaan mana pun sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU KPK. UU ini menegaskan KPK lembaga negara, bukan lembaga pemerintah.
Ada beberapa alasan mengapa revisi UU KPK akan mengurangi independensi KPK. Pertama, KPK tak berhak lagi mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Ini akan jadi alat kontrol efektif terhadap penindakan KPK, bahkan sebagai strategi pengerdilan, karena diciptakan ketergantungan kepada lembaga lain.
Revisi mengusulkan agar penyelidik KPK diangkat dari dan oleh kepolisian. Demikian juga dengan penyidik KPK harus dari polisi dan penyidik pegawai negeri sipil, termasuk penyidik kejaksaan. Penyelidik dan penyidik yang diangkat KPK saat ini dengan sendirinya akan dihapus dan dianggap tidak sah.
Padahal, saat ini mereka sedang melaksanakan kegiatan penyelidikan untuk menemukan alat bukti dari perkara yang sedang berjalan.
Sebagai konsekuensinya, kasus-kasus yang sedang ditangani penyidik independen KPK akan terhenti. Upaya KPK selama hampir dua dekade membangun SDM dan melakukan penguatan kelembagaan di kedeputian penindakan yang profesional dan berintegritas seketika akan kandas.
Selama ini proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif sebagai muara dari proses perekrutan yang terbuka, profesional dengan mengutamakan aspek integritas dan profesionalitas kandidat yang dapat berasal dari berbagai sumber.
Di sisi lain, penyidik yang diangkat KPK adalah sah dan tak perlu dipertanyakan lagi secara hukum karena dasar hukumnya kuat berdasar hasil beberapa kali uji materi di Mahkamah Konstitusi. Namun, dengan usulan revisi, konsep independensi akan sulit diterapkan. Dapat dibayangkan kesulitan pimpinan KPK untuk membawa pegawainya agar mempunyai loyalitas tunggal kepada KPK.
KPK yang merupakan lembaga negara secara perlahan akan tereduksi menjadi lembaga pemerintah karena keputusannya sangat bergantung pada eksekutif. Mencermati praktik di luar negeri, lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik dan bukan dari kepolisian, seperti CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, ACB Brunei Darussalam, Anticorruption Commision di Timor Leste, NACC Thailand, EFCC Nigeria, dan banyak lagi.
Kedua, adanya usulan agar pegawai KPK dimasukkan dalam kategori aparatur sipil negara (ASN). Sebagai akibatnya, status 85 persen dari 1.638 pegawai KPK saat ini akan dijadikan ASN kategori pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Mirip pegawai tidak tetap atau kontrak. Hal ini berisiko menghilangkan independensi pegawai KPK dalam penanganan perkara pada instansi pemerintahan, karena kenaikan pangkat dan pengawasan sampai mutasi akan berkoordinasi kepada beberapa kementerian terkait serta rawan untuk dikendalikan.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dan semangat independensi KPK yang tecermin dari pengelolaan SDM sebagaimana diatur dalam 2012 Jakarta Statement on the Principle of Anticorruption Agencies, sebuah dokumen acuan pembangunan kelembagaan antikorupsi di dunia.
Ketiga, proses penyadapan yang selama ini dilakukan KPK yang didasarkan standar lawful interception (penyadapan sah) sesuai standar Eropa (ETSI) serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak ketiga akan tergantikan dengan adanya permohonan izin kepada Dewan Pengawas. Dewan Pengawas yang dibentuk DPR dari usulan Presiden berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam melakukan kontrol sehingga berpotensi bocor. Operasi penindakan di KPK membutuhkan kecepatan dan kekedapan informasi tingkat tinggi.
Penyadapan punya fungsi penting dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus yang mayoritas suap-menyuap. Belum lagi penyitaan dan penggeledahan yang membutuhkan persetujuan Dewan Pengawas.
Dalam usulan revisi UU KPK, penyadapan diberikan batas waktu tiga bulan. Padahal, dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu lama dengan persiapan yang matang agar tidak salah tangkap.
Penyadapan KPK selalu menjadi bulan-bulanan DPR, padahal tidak hanya KPK yang punya kewenangan penyadapan. Ada lembaga lain yang memiliki kewenangan penyadapan, seperti Polri, Kejaksaan, BIN, BNPT, dan BNN.
Keempat, KPK diperbolehkan menghentikan kasus yang sedang ditanganinya atau SP3. KPK meningkatkan status kasus ke penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan.
Melalui ketentuan itu akan menurunkan standar KPK dalam penanganan kasus. Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai dalam satu tahun akan rawan dan berpotensi diintervensi. Terlebih pada kasus yang besar dan menyangkut internasional, akan sangat sulit menyelesaikannya dalam satu tahun. Sekaliber FBI di Amerika pun masih butuh puluhan tahun untuk membongkar suatu kasus kompleks.
Kelima, hilangnya kriteria kasus yang meresahkan masyarakat yang bisa ditangani KPK. KPK hanya akan berkutat pada kerugian negara di atas Rp 1 miliar. Padahal, dalam penanganan kasus kerugian negara hanya terbatas pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Artinya, untuk penanganan OTT kasus suap akan sulit ditangani KPK. KPK akan bergantung pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dalam menangani kasus.
Keinginan DPR untuk merevisi UU KPK ternyata lebih banyak fokus pada pelemahan fungsi penindakan. Hal ini kontradiktif dengan sikap DPR yang selama ini ingin memperkuat bidang pencegahan. Dalam isu pencegahan, revisi UU KPK hanya mengatur laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang isinya justru menghilangkan kewenangan KPK dalam mengelola LKHPN yang selama ini efektif sebagai pendukung kegiatan penindakan dan pencegahan KPK.
Pencapaian terbaik dunia
Hasil kerja keras KPK dengan mempertahankan independensi selama 17 tahun, selain jumlah penanganan kasus yang fenomenal, adalah meningkatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari skor 17 pada tahun 1999 menjadi skor 38 pada tahun 2018 atau naik sebesar 21 poin (skala 100). Kenaikan IPK ini merupakan kenaikan IPK tertinggi dan terbaik di dunia. Mengalahkan pencapaian China sekalipun yang terkenal dengan hukuman mati kepada koruptor. Dari data yang dikeluarkan Transparency International Indonesia, dalam rentang tahun yang sama, China hanya mampu meningkatkan IPK 5 poin, Nigeria naik 10 poin, bahkan Malaysia justru turun 4 poin.
Momentum ini penting bagi Presiden Jokowi untuk tetap mempertahankan tren positif ini. Kisruh dan konflik seputar pelemahan antikorupsi dan KPK dapat membelokkan tren peningkatan indeks IPK ini ke arah sebaliknya. Menjadi Indonesia maju, unggul infrastruktur, dan SDM berkualitas tidak mungkin tercapai dengan memperlemah pemberantasan korupsi. Hilangnya keinginan investasi di Indonesia bukan semata isu perizinan, tetapi ketidakpastian hukum karena maraknya korupsi di dunia usaha, baik pusat maupun daerah.
Pencapaian lain, pada November 2012, KPK memimpin dan menginisiasi, bersama 45 kepala lembaga antikorupsi, lembaga internasional seperti PBB dan OECD, serta pakar antikorupsi dari puluhan lembaga dan seluruh jaringan antikorupsi dunia, berkumpul dan bersepakat di Jakarta. Kesepakatan itu dinamai Jakarta Statement on the Principles of Anticorruption Agency.
Disepakati prinsip-prinsip dalam membangun lembaga antikorupsi yang ideal bagi suatu negara. Prinsip tersebut mengatur pentingnya menjaga lembaga antikorupsi agar terhindar dari pengaruh kekuasaan (undue influence), pemilihan pimpinan lembaga antikorupsi, melindungi pegawai dari kriminalisasi ketika menjalankan tugasnya, sumber daya yang memadai, kecukupan hukum, independensi, dan banyak hal penting lainnya.
Pertemuan itu didasarkan atas fakta bahwa pejuang antikorupsi di belahan dunia mana pun mengalami perlawanan yang luar biasa dari para koruptor dan kadang oleh negaranya dalam bentuk state capture corruption, korupsi yang didesain dalam suatu negara. Prinsip ini pun sudah disepakati dan diadopsi International Association of Anticorruption Authorities (IAACA) dan resolusi PBB dalam beberapa pertemuan negara pihak UNCAC (Konvensi Antikorupsi PBB). Prinsip ini sejalan dengan Pasal 6 dan 36 UNCAC bahwa keberadaan lembaga antikorupsi dijamin.
Prinsip-prinsip ini seharusnya menjadi perhatian Indonesia. Dalam penyusunan prinsip, KPK dijadikan contoh dan model pemberantasan korupsi di banyak negara. Banyak negara belajar dan mengapresiasi KPK sehingga prinsip-prinsip yang disepakati sangat mendekati model KPK Indonesia. Fakta ini semestinya menyadarkan bahwa KPK bekerja dengan baik dan menjadi kiblat dunia. Hal ini menegasikan anggapan bahwa keberadaan KPK gagal mengurangi korupsi di Indonesia karena tidak ada pencegahan yang mencukupi. Karena itu, menolak revisi UU KPK yang justru melemahkan adalah suatu kewarasan. Cukup memaksimalkan kewenangan yang ada dalam UU saat ini.
Langit di atas Gedung Merah Putih KPK begitu mendung dan sendu, seperti menunggu keputusan Presiden Jokowi. Buku di genggaman, saya tutup. Membayangkan Bung Karno mengunjungi Gedung KPK saat ini untuk bertegur sapa dengan kami dan berkata, ”Lanjutkan perjuanganmu KPK, jangan kasih kendor! Korupsi penjajah kita.”
Duh, tiba-tiba kami merindukan kehadiran sosok Bung Besar itu, yang dekat dengan rakyat. Berharap seperti terobatinya rindu rakyat Malaysia akan kehadiran Mahathir Mohamad saat kekuasaan negeri didominasi korupsi dan hegemoni. Harapan itu masih ada.
(Giri Suprapdiono ; Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi)