Harian Kompas menurunkan tajuk soal kebakaran hutan dan lahan dengan judul “Pemerintah Lalai Cegah Karhutla” (Selasa, 17/9/2019). Sebuah tajuk yang menggambarkan situasi terakhir kebakaran hutan dan lahan, dan sebuah bentuk pengakuan dari negara atas kegagalan melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Dalam sepekan lebih terakhir, kondisi di wilayah Kalimantan dan sebagian Sumatera menunjukkan situasi darurat asap. Korban terus berjatuhan, khususnya dialami oleh kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan lansia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, ada 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektar. Kabut asap kembali menelan korban, khususnya anak-anak. Bayi berusia empat bulan akhirnya meninggal dunia, setelah menghirup asap pekat di Sumatera Selatan.
Kondisi kedaruratan ini mengingatkan kita pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2015, di mana kebakaran hutan dan lahan menelan 24 nyawa melayang. Penderita ISPA mencapai 600.000 dan sekitar 60 juta orang terpapar asap. Belum lagi penghancuran ekosistem esensial yang memiliki fungsi sosial, ekologis, budaya dan ekonomi.
Komnas HAM dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan pada 2015 telah menyimpulkan bahwa penanganan pemerintah yang lambat membuat korban berjatuhan semakin besar. Komnas HAM sebagai lembaga HAM negara juga telah menilai negara telah gagal menjamin hak hidup, hak kesehatan, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kejahatan ekosida
Atas dasar terus berulangnya peristiwa ini, organisasi masyarakat sipil mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi berisi 10 poin desakan kepada Presiden. Masyarakat sipil juga menegaskan bahwa fakta Indonesia darurat asap tak lagi bisa dilihat sebagai kejahatan biasa, namun sebuah kejahatan ekosida dan kejahatan lintas batas. Kabut asap yang terjadi dari kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan salah satu kasus yang kuat memenuhi unsur-unsur kejahatan ekosida, sebuah kejahatan serius dengan dampak yang eksesif dan kumulatif.
Penghancuran lingkungan hidup ini tak bisa lagi dilihat hanya sebagai pelanggaran hukum semata, namun sebuah kejahatan ekosida. Nyawa yang hilang akibat kebakaran hutan dan lahan dan anak-anak yang terpapar racun kabut asap dan pencemaran udara. Tak berbilang lagi dengan angka, dampak yang begitu masif dan meluas yang ditimbulkan dari penghancuran ekosistem yang dilakukan secara sistematis, dari hilangnya nyawa, paparan polusi udara yang setiap hari dihirup, hingga terpaksa menjadi pengungsi yang tercerabut ruang hidup, ikatan kebudayaan dan spiritualitasnya.
Sebagai sebuah kejahatan ekosida, kita juga dapat melihat unsur actus reus (tindakan), yang dalam hal ini dalam bentuk pembakaran. Termasuk unsur intention atau mens rea berupa perizinan konsesi yang terus diberikan kepada korporasi, meski di wilayah rentan seperti ekosistem rawa gambut. Pernyataan Presiden di media massa mengungkapkan kecurigaannya bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau ada unsur kesengajaan yang terorganisasi.
Tantangan
Indonesia memang memiliki instrumen hukum nasional yang telah menyebutkan secara tegas bahwa lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai sebuah hak asasi, dari Konstitusi, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM belum “mengenal” kejahatan ekosida, hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran HAM berat dalam UU ini, yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Dalam konteks Indonesia, tantangan lain dikemukakan oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, terkait dengan kejahatan ekosida dan upaya memutus impunitas korporasi, mengingat keterikatan yang teramat kuat antara ekonomi politik dan kuasa oligarki. Rezim administrasi justru bertindak sebagai alat penghancuran alam. Kejahatan korporasi dan negara selama ini permisif terhadap praktik kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan bahkan acap kali memberikan kemewahan yang begitu besar terhadap korporasi, khususnya investasi sawit.
Kondisi darurat asap yang terjadi di Indonesia, harusnya dijadikan momentum bagi negara, khususnya bagi lembaga HAM negara seperti Komnas HAM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menelaah kembali instrumen hukum lingkungan hidup dan instrumen HAM, termasuk tafsir yang progresif terhadap UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, demi kepentingan penyelamatan bumi dan generasi yang akan datang.
Hal yang paling mendasar, esensi kehidupan manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 yang mengatur hak untuk hidup dalam Ayat 1,2 dan 3 UU No 39/1999. Sehingga, menelaah kembali instrumen hukum lingkungan dan instrumen HAM menjadi penting untuk dilakukan, termasuk tafsir hukum yang progresif untuk menyelamatkan bumi, generasi hari ini dan akan datang.
(Khalisah Khalid ;  Koordinator Desk Politik Eksekutif Nasional Walhi)