Sebagai salah satu cabang industri unggulan ekspor, industri elektronika mengalami kemandekan selama lima tahun terakhir, dan kembali mencatat pertumbuhan negatif pada 2018. Akibatnya, pertumbuhan sektor industri secara keseluruhan kembali berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Cabang industri ini perannya sangat penting karena mampu menyumbang sekitar 9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) industri. Dalam terminologi BPS, industri elektronika terdiri atas produk-produk elektronika, komputer dan optik.
Pertumbuhan PDB unggulan ekspor yang satu ini dalam lima tahun terakhir mandek dengan Laju Pertumbuhan Rata-rata Tahunan Majemuk (CAGR) minus 0,43 persen, dan PDB elektronika tahun 2018 dibanding tahun sebelumnya minus 12,9 persen. Laju pertumbuhan ekspor pada periode yang sama minus 4,3 persen, dan tahun lalu terhadap tahun sebelumnya hanya mampu tumbuh 2,9 persen. Di sisi lain, impornya tanpa bisa dicegah tumbuh terus dengan CAGR 1,82 persen. Adapun defisit 2018 dibanding 2017 naik 16,2 persen, yang mengakibatkan defisit perdagangan mencapai 8,7 miliar dollar AS.
Tergantung impor
Tahun 1996, Indonesia menanda tangani Information Technology Agreemen (ITA) yang menyepakati liberalisasi produk-produk teknologi informasi, seperti komputer, telepon genggam, peralatan IT. Tujuh tahun berikutnya, pada 2003, ditandatanani ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), sehingga per 1 Januari 2010 sekitar 90 persen bea masuk dari China menjadi nol persen.
Untuk mengetahui dampak ACFTA, pada akhir tahun pertama kesepakatan Kementerian Perindustrian melakukan penelitian perkembangan impor terutama terhadap 228 pos tarif dari enam kelompok industri yang dianggap sensitif, yang salah satunya elektronika.
Kesimpulannya: (1) impor dengan ACFTA meningkat dan lebih besar dibanding melalui skema Most Favoured Nation (MFN), (2) ACFTA berdampak negatif terhadap kinerja enam kelompok itu, dan (3) berkorelasi positif terhadap peningkatan impor bahan baku, penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan, dan pengurangan tenaga kerja. Usulan untuk menunda beberapa tahun ACFTA, kandas karena para perunding kita tak mampu meyakinkan negara ASEAN lain.
Penelitian dampak ACFTA juga pernah dilakukan oleh ILO dan Uni Eropa (2012). Terungkap bahwa tambahan kesempatan kerja karena ACFTA tak dapat mengimbangi pengurangan kesempatan kerja, karena ketakmampuan Indonesia memanfaatkan peluang liberalisasi perdagangan dengan China tersebut.
Di sisi lain India, salah satu peserta lain “ASEAN plus one” pintar, tak mau membuat kesepakatan dagang dengan China, sadar walau kemampuan teknologi, inovasi dan industri India sudah tinggi namun dengan China mereka memilih ekstra hati-hati. Bahkan dengan ASEAN saja, yang kemampuannya rata-rata di bawahnya, India hanya mau membuka 78 persen pasarnya saja. Hal ini membuat beberapa pabrik terkemuka asal China “terpaksa” membuat pabrik di India karena melihat potensi pasarnya yang sedemikian besar.
Perkembangan impor elektronika Indonesia dari China sejak ACFTA hingga kini tumbuh terus, dengan CAGR lima tahun terakhir 5,5 persen, dan impor tahun 2018 dibanding 2017 naik 18,7 persen. Akibatnya, defisit perdagangan mencapai 6,8 miliar dollar AS, yaitu 73 persen dari total defisit. Jadi produsen elektronika sama sekali tak bisa memanfaatkan ekspor ke China melalui skema ACFTA.
Kekhawatiran sejak 2010 bahwa industri elektronika kita tak akan mampu bersaing terbukti, sebagaimana posisi kinerja industri saat ini. Dan industri akan semakin ”sesak napas” akibat dampak dari perseteruan perang dagang China dengan AS. Dengan kapasitas China yang sedemikian raksasa, maka pasar domestik kita adalah sasaran sangat empuk pelemparan kelebihan produksi China.
Bagi industri elektronika Indonesia, berhadapan dengan China yang kemampuannya luar biasa tersebut merupakan dilema besar. Misalnya, pasar Indonesia pada lima tahun terakhir untuk produk AC di bawah 9.000 BTU hanya berkisar 1,5 juta unit per tahun. Dari angka ini, hanya 40 persen dipasok oleh lima perusahaan papan atas kita, selebihnya impor. Sebuah produsen AC di China mampu memproduksi lebih dari dua juta unit AC setahun. Padahal, ada banyak produsen AC di sana. Ditambah dengan kuatnya industri penunjang dan kemampuan R&D-nya, maka ini adalah hal yang sulit untuk diikuti produsen Tanah Air.
Bisa diduga, produsen Indonesia banyak yang sudah bertekuk lutut. Selanjutnya, dari kelima perusahaan dalam negeri kita tersebut, hanya satu yang menggunakan komponen dalam negeri, sisanya hanya merakit dengan komponen impor dari China. Perusahaan lainnya malah ada yang hanya mengimpor “barang jadi” dari Malaysia dan Thailand. Posisi bea masuk AFTA yang saat ini sudah nol persen sudah mencakup 98 persen produk, baik untuk produk China, Thailand, maupun Malaysia.
Kondisi ini tidak akan jauh berbeda dengan produk elektronika konsumsi lainnya, seperti kulkas atau mesin cuci, yang dulu kandungan lokalnya justru jauh lebih maju daripada sekarang. Ironi sebenarnya adalah, meningkatnya tingkat elektrifikasi di Tanah Air dari tahun ke tahun, akan meningkatkan pula permintaan secara luar biasa akan produk elektronika rumah tangga.
Permintaan yang sepatutnya diisi oleh produk sendiri, kini justru diisi oleh produk atau komponen impor. Bila elektronika rumah tangga yang relatif simpel saja keadaannya demikian, kondisi industri komputer atau optik tentunya lebih jelek lagi. Bea masuk produk ini sudah nol persen sejak ITA efektif 23 tahun lalu. Indonesia sangat butuh industri elektronika, karena merupakan jenis industri yang menyerap tenaga kerja yang cukup besar.
Walau sadar bahwa faktor tenaga kerja yang tak terampil (unskilled) atau semi terampil (semi-skilled) kelak secara perlahan diganti robot, namun bila melihat struktur ketenagakerjaan kita yang masih lemah jenis industri ini masih merupakan salah satu jawaban bagi penciptaan lapangan kerja bagi semi-skilled workers saat ini. Mengubah kondisi ketenagakerjaan akan makan waktu lama.
Menyikapi masa depan industri
Dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia, serta berkembangnya ekonomi, permintaan produk elektronika pasti meningkat pesat. Sayangnya dengan data tren industri yang ada, model peramalan penulis menunjukkan pertumbuhan industri akan terus negatif, hingga bila tak dilakukan “suatu gebrakan”, dikhawatirkan kelak yang tersisa hanyalah pedagang produk elektronika, atau perakit dengan komponen impor.
Kondisi belum terlambat benar. Kini yang perlu dilakukan adalah merapatkan barisan dan membangun kembali industri ini. Semua unsur, baik pengusaha maupun pemerintah harus berusaha mencari jalan keluar segera. Industri elektronika Indonesia sudah mampu mengekspor 6,3 miliar dollar AS dan mempekerjakan 268.000 orang pada 2018 (BPS dan LKPM-BKPM), jadi kita tidak mulai dari nol.
Tiga masalah utama industri yang dihadapi, yaitu lemahnya kemampuan R&D dan industri penunjang (supporting industry), serta tingginya saingan dari impor barang sejenis. Kelemahan R&D bermuara pada dua hal. Pertama, karena industri Penanaman Modal Asing (PMA) memang tidak berencana memindahkan kegiatan R&D ke Indonesia, sehingga praktis berproduksi dari hasil R&D di negaranya.
Ke dua, karena industri yang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)/lokal kemampuan keuangannya terbatas dibanding multinasional, serta belum memiliki keinginan kuat untuk melakukan R&D sendiri, atau kalaupun melakukan pun sangat terbatas sifatnya. Keberanian pengusaha dan faktor bantuan serta dorongan pemerintah jelas sangat diperlukan.
Industri penunjang adalah pemasok komponen atau sub-assembly, dan merupakan masalah yang pelik karena mereka hanya bisa ada kalau ada keterkaitan erat dengan pembuat produk akhir (perakit). Seperti “ayam dan telur”, industri perakit perlu industri penunjang tapi kurang percaya akan kemampuannya. Lebih parah lagi kalau itu perusahaan yang mayoritas sahamnya PMA. Di lain pihak, industri penunjang tak akan bisa berkembang kalau tak diberi kepercayaan serta order. Harus ada kemauan dan kerja keras dari keduanya, industri perakit dan industri penunjang bekerja sama agar bisa tumbuh pesat bersama.
Masalah penting berikutnya adalah tingginya dan betapa mudahnya impor. Menyukai impor adalah perilaku pedagang, bukan industriawan. Namun industriawan juga harus mampu berdagang memasarkan produknya. Dengan kondisi Indonesia saat ini industriawan sangat berat posisinya untuk gigih sebagai industriawan tulen, dibanding menjadi pedagang.
Betapa tidak, serikat pekerja yang galak, upah harus naik terus walau usaha sedang merugi, pesangon yang berat, namun sebaliknya impor makin gampang. Maka produsen kemudian mengombinasi pola produksinya menjadi “produsen plus” importir. Siapapun pasti hidup tidak mau susah, jadi kalau impor lebih gampang kenapa harus susah-susah memproduksi. Sangat manusiawi. Namun akibatnya produksi mandek atau menyusut, dan jumlah pekerja akhirnya otomatis disusutkan.
Merunut pada masalah di atas, sangat dipahami bahwa industri Indonesia memerlukan instrumen barrier to trade untuk menjaga pasar dalam negeri, agar proses industrialisasi tetap berjalan. Namun demikian saat ini tak sedikit yang menentang karena berpendapat bahwa sudah waktunya berhenti memanjakan industri. Biarkan industri mandiri, tidak usah peduli, biar cari jalan sendiri!
Meluapnya pasar domestik oleh produk impor — termasuk yang curang sehingga terjadi injury ataupun “ancaman” — dapat diatasi dengan menerapkan instrumen trade remedy Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau kebijakan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTMs). Sayangnya Indonesia terlihat kurang pandai memanfaatkannya.
Data ITIP-WTO 31 Desember 2016 menunjukkan justru negara ekonomi kuat seperti AS, China, Jepang, atau India adalah pengguna masif NTMs, yang tercatat berturut-turut 5.083, 2.529, 1.396 dan 660 buah. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 284 buah, padahal instrumen ini sah untuk menjaga pasar dari “ancaman” saingan impor.
Mengurangi impor terutama yang dumping dan yang melalui praktik ilegal seperti borongan adalah yang pertama harus dilakukan. Masih segar dalam ingatan bahwa pemerintah kita pernah berani menugaskan Suisse Generale Surveillance (SGS), dan mengandangkan Bea Cukai.
Selanjutnya upaya menegakkan hak-hak konsumen memerangi kualitas barang impor yang marginal harus ditegakkan. Untuk itu upaya perlindungan konsumen perlu diperkuat, serta melaksanakan monitoring pelaksanaan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ketat, menindak tegas barang-barang yang membahayakan kesehatan. Terutama yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Namun agak ironi ada produsen dalam negeri yang mengeluh bahwa kini untuk mendapatkan SNI barang impor ternyata lebih mudah daripada produsen dalam negeri.
Perlu diciptakan kebijakan insentif untuk menstimulasi produsen lokal dan meningkatkan kemampuan memproduksi jenis dan inovasi produk baru, perbaikan desain, melakukan upaya peningkatan efisiensi biaya produksi, serta menggunakan merek sendiri. Insentif terkait R&D yang sudah disediakan pemerintah perlu dijabarkan sehingga secara operasional produsen dalam negeri terbantu, mudah dan tidak boleh “ribet dan lama” dalam mendapatkannya.
Di samping itu, pemerintah dapat menyediakan beberapa upaya tambahan seperti menyediakan akses informasi teknis murah terhadap jurnal teknis asing, pembangunan pusat konsultansi teknis dan laboratorium uji mutu, serta keberpihakan alokasi sumber daya alam/energi untuk kepentingan industri nasional. Penguatan struktur industri harus dipacu, dengan menarik investasi produk yang belum diproduksi, menambah kapasitas produksi terpasang, dan terutama fokus memperkuat dan menarik investasi industri penunjang. Insentif perpajakan yang agresif sebaiknya diberikan pada industri penunjang.
Komitmen mengembalikan kinerja industri, seperti diuraikan di atas, paling tidak adalah merupakan strategi awal, dan selanjutnya diteruskan dengan fokus pada faktor fundamental untuk mendapatkan daya saing permanen, memperkuat kemampuan R&D dan komponen penunjang.
Bila industri elektronika kita sanggup bertahan dan berkembang lagi dan kuat berkat upaya mandiri para pengusaha dan dukungan kuat pemerintah, pada waktunya pasti menjadi pengekspor menggunakan skema ACFTA ke China. Betapa tidak, upah minimum di sana juga terus merambat naik, kini sudah lebih dari 500 dollar AS (sekitar Rp 7,5 juta) per bulan. Perbaikan yang komprehensif harus segera dilakukan “sekarang”, jangan menunggu sampai lampu merah itu padam sama sekali.
(Agus Tjahajana Wirakusumah ; Mantan Sekretaris Jederal Kementerian Perindustrian)