Baru-baru ini harian Kompas menurunkan berita mengejutkan di halaman depan tentang penyebaran kusta di Indonesia. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017, disebutkan ada 17.441 penderita kusta di Indonesia.
Indonesia menempati urutan ketiga, di bawah India dengan 126.164 penderita dan Brasil 26.875 penderita. Data terbaru 2018, India 120.334 penderita, Brasil 28.660 penderita dan Indonesia 17.017 penderita. Indonesia tetap urutan ketiga. Siapa sangka, sebelumnya jarang ada pemberitaan tentang penyakit kusta, tiba-tiba saja Indonesia diberitakan tertinggi ketiga kasus kusta di dunia. Ada sembilan provinsi kita yang tergolong paling berkontribusi, antara lain Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.
Kusta atau lepra adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri lepra (mycobacterium leprae), dengan gejala antara lain berupa munculnya bercak putih di kulit, kelemahan/kelumpuhan otot, rasa kesemutan atau kebas pada sebagian anggota tubuh. Gejala ini baru muncul dalam waktu lama sejak terkena infeksi, bisa lima tahun atau bahkan lebih.
Jika tak ditangani dan makin parah, anggota tubuh yang terserang kusta bisa luka, terlepas atau lepas (mreteli) sendiri, mata bisa buta, sehingga menyebabkan cacat tubuh. Kondisi ini bisa memicu depresi pasien, bahkan dalam situasi ekstrem bisa bunuh diri. Dewasa ini ada sekitar tiga juta penderita kusta dengan kondisi cacat tubuh.
Kebanyakan masyarakat menganggap lepra atau kusta ini sebagai penyakit yang menjijikkan yang menimpa orang miskin, dari lingkungan kumuh. Bahkan dalam cerita rakyat, legenda atau mitos, kusta adalah penyakit akibat terkena kutukan. Akibatnya, penderita kusta terstigma sosial. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah sakit, dijauhi pula.
Akibat kemiskinan
Laporan WHO menyebut, tahun 2012 ada 232.857 kasus penderita kusta secara global. Laporan 2013 menyebutkan ada 189.018 penderita kusta di 115 negara atau wilayah, dengan tingkat prevalensi, 0,33 per 10.000 populasi. Angka ini sebenarnya sudah jauh menurun dibanding 1985 saat prevalensinya 12 per 10.000 populasi.
Meski angkanya secara global sudah jauh menurun, tapi kusta masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat milenial, yang disebut menginjak era Revolusi 4.0. Meski secara global penderita kusta menurun, tapi untuk wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat angkanya justru meningkat, dengan total 6.231 lebih banyak kasus baru dilaporkan pada tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Di tahun 2012, kasus baru dengan akibat kecacatan juga meningkat dari 0,22 menjadi 0,25 per 100.000 populasi.
Wilayah Pasifik Barat yang disebut dalam laporan WHO inilah yang antara lain mencakup beberapa provinsi yang belum bisa mengeliminasi penyakit kusta: Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Di wilayah lain juga masih terdapat penderita kusta, tapi jumlahnya tak setinggi di lima provinsi yang disebut di atas.
Pada wilayah-wilayah yang disebutkan di atas, kusta bukanlah pemain tunggal. Ada juga malaria dan tengkes (stunting —anak kerdil karena kurang nutrisi). Menurut data Kementerian Kesehatan, lima provinsi yang belum bisa mengeliminasi malaria adalah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, angka prevalensi tengkes Indonesia 30,8 persen, jauh di atas standar WHO yang 20 persen. Indonesia juara kedua soal jumlah penderita tengkes di tingkat ASEAN, di bawah Timor Leste. Dan wilayah dengan konsentrasi penderita tengkes tinggi di antaranya adalah Papua, Papua Barat dan Maluku Utara. Wilayah-wilayah itu sampai saat ini belum bisa menikmati standar kesehatan yang baik.
Gabungan ketiga penyakit ini disebabkan oleh beberapa faktor secara bersamaan: lingkungan kumuh tak sehat, buruknya akses air bersih, warganya kurang makanan sehat dan bergizi, keterlambatan deteksi dini, dan minimnya akses layanan kesehatan tingkat pertama. Semua faktor itu bisa diringkas menjadi satu kata, yaitu kemiskinan. Karenanya, upaya untuk menangani penyakit kusta tidak bisa berdiri sendiri.
Berdasar gejala yang disebut di atas, penanganannya harus melibatkan banyak dokter dengan berbagai keahlian yang saling mendukung. Harus pula berbarengan dengan upaya menangani lain yang dominan di wilayah itu seperti malaria, tengkes, juga tingginya kematian bayi dan ibu melahirkan.
Penanganan medis tentu menjadi prioritas untuk penderita kusta. Tapi untuk warga Papua, Kompas menyebut ada kendala khusus. Sebagian warga Papua alergi terhadap dapson, obat kusta yang direkomendasikan WHO untuk diminum rutin dalam jangka waktu yang lama. Akibat alergi ini bisa mata penderita kusta menjadi kuning, kulit bersisik, sesak napas hingga meninggal dunia.
Diduga, alergi dapson ini karena faktor genetis. Ini menjadi tantangan bagi kalangan farmakologis dan dermato-venerologis (ahli kulit) untuk menciptakan obat kusta yang cocok bagi genetis masyarakat Papua.
Soal obat kusta adalah satu aspek. Tindakan medis adalah bagaimana mengobati pasien yang sudah terpapar kusta. Tapi ada aspek lain yang tak kalah pentingnya. Seperti disebutkan di atas, dibandingkan dengan wilayah lain, Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku Utara, NTT masih ketinggalan dalam hal fasilitas layanan kesehatannya. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi geografis yang menyulitkan.
Kebijakan afirmatif
Dengan wilayah yang luas, konsentrasi penduduk yang jarang, jarak antar pemukiman berjauhan, minim akses jalan darat, menyebabkan kurangnya jumlah puskesmas, posyandu, rumah sakit, klinik, apotek dan seterusnya. Kondisi ini sejalan dengan minimnya aktivitas perekonomian dan fasilitas publik lainnya seperti angkutan umum. Jika ada warga yang tiba-tiba sakit, bagaimana caranya membawa pasien ke puskesmas terdekat yang jaraknya bisa puluhan atau bahkan ratusan kilometer? Itupun kalau ada jalan darat. Untuk wilayah Maluku dan Maluku utara, bisa jadi harus menggunakan moda angkutan laut.
Karenanya, perlu kebijakan afirmatif untuk mempercepat penambahan fasilitas layanan kesehatan, baik tingkat primer maupun tingkat lanjutannya. Membangun puskesmas dan posyandu di wilayah pemukiman yang masuk jauh di pedalaman, akan sangat membantu mengatasi kesenjangan layanan kesehatan. Petugas medis dan dokter yang bertugas di wilayah “frontier” bermedan berat ini bisa diberikan tunjangan untuk menjaga semangat dan dedikasinya.
Kebijakan afirmatif ini bisa dibarengi dengan membangun metoda deteksi dini, dengan memanfaatkan teknologi informasi. Untuk wilayah perdesaan (rural) yang masih susah dijangkau, sistem deteksi dini akan sangat membantu kecepatan respons penanganan awal untuk menghindari keterlambatan yang bisa berakibat fatal.
Upaya membangun sistem deteksi dini ini tentu memerlukan dukungan seperti terbangunnya jaringan serat optik dan pembangunan menara BTS yang bisa menjangkau sampai ke pelosok. Dengan membangun semacam sistem jaringan pelaporan dan respons cepat, dan didukung dengan ketersediaan tenaga medis yang memadai, maka bisa dihindari kejadian di mana ada penderita yang tak diketahui dan tak tertangani, kemudian menular, dan akhirnya berakibat fatal.
Mengenalkan ”tele-leprology”
Dengan kemajuan teknologi informasi apa yang disebut sebagai “Industri 4.0”ini, tele-medicine bisa diharapkan membantu mengatasi jarak geografis. Merebaknya konsultasi dokter online adalah contoh tele-medicine. Dalam banyak hal tele-medicine membantu mengurangi interaksi fisik dokter-pasien untuk hal-hal yang dianggap kategori ringan. Sakit demam, flu, pilek atau tensi darah naik, misalnya, bisa diselesaikan dengan konsultasi lewat chat dengan dokter atau petugas medis.
Tele-medicine adalah istilah umum. Jika kita gunakan untuk membantu penanganan penyakit lepra, kita sebut saja tele-leprology. Untuk tahap rawat jalan, bisa ditambahkan sistem “tele-edukasi”. WHO mendefinisikan tele-edukasi sebagai “proses dinamis di mana perubahan dapat dikatalisasi dalam sikap, pengetahuan, informasi dan keterampilan, melalui teknologi informasi dan komunikasi, oleh dan untuk konsumen, profesional kesehatan dan masyarakat, untuk tujuan mendorong peningkatan kesehatan” (Kumar et al ”Mendorong Pengembangan Tele-leprology dan Jejaring yang Efisien”).
Penelitian tentang ini (baik telemedicine atau tele-edukasi khusus untuk kusta) sedang mendapatkan momentum dan hasilnya sangat menjanjikan, merujuk pada berbagai laporan dari India dan Brasil, dua negara dengan kasus lepra tertinggi di dunia. Pada 2012 jumlah penderita kusta India mencakup 58 persen dan Brasil 14 persen dari total penderita kusta dunia. Dua negara ini sudah menerapkan tele-leprology sebagai bagian dari upaya mengurangi jumlah penderita kusta, dan dianggap berhasil. Sayang jika Indonesia sebagai “juara ketiga” belum ikut menerapkannya.
Era digital sekarang berkembang sangat pesat. Dengan memegang ponsel, kita bisa berkomunikasi suara atau video call dengan lawan bicara kita, hampir tanpa kendala jarak. Tentu saja, selama didukung oleh sinyal. Inilah yang bisa kita manfaatkan untuk membangun semacam sistem jaringan deteksi dini lepra (dan pararel untuk penyakit lainnya). Bagaimana arsitektur jaringannya, serahkan ke ahli teknologi informasi (IT).
Dengan cara ini, jika di suatu wilayah terpencil ada warga yang ditengarai terpapar kusta, maka pelapor (bisa anggota keluarga, tetangga, kader posyandu dan lain-lain) bisa segera mengirim laporan via ponsel ke petugas puskesmas, yang diharapkan akan menangani pada level pertama. Pelapor bisa mengirim foto kondisi pasien, agar bisa dinilai awal oleh petugas puskesmas. Jika diperlukan, puskesmas akan memberikan rujukan ke layanan kesehatan di atasnya, demikian seterusnya hingga mampu mendeteksi kasus yang semula tak diduga oleh layanan perawatan primer.
Penerapan tele-leprology akan sangat membantu penanganan penderita kusta, termasuk pengendaliannya dan pencegahan pada tingkat populasi. Petugas medis bisa memandu dan memonitor perkembangan pasien lewat komunikasi ponsel. Jika problemnya di luar jangkauan kemampuan petugas medis, bisa dioper ke level lebih atas, hingga ke dokter ahli. Hanya jika mendesak dan penting, baru diperlukan pertemuan fisik dan tindakan medis. Cara ini sangat membantu dalam menghadapi kendala geografis, jarak dan waktu.
Tele-leprology selanjutnya dapat dieksplorasi sebagai modalitas untuk mendidik pasien kusta dan komunitasnya. Perawatan mandiri adalah landasan dasar manajemen dan pencegahan cacat pada pasien kusta. Lebih luas lagi, tele-lepropolgy akan membantu mengikis stigma penderita lepra sebagai manusia menjijikkan yang harus disingkiri.
Sebagai metoda yang relatif masih baru, tele-leprology menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah menjamin agar pasien bisa mengakses ke konsultasi langsung ketika diindikasikan terpapar. Esensi dari revolusi IT adalah memangkas mata waktu dan jarak. Tele-leprology yang berbasis pada IT, seharusnya mampu mengatasi kendala jarak dan waktu respon. Misalnya, pasien langsung melapor lengkap dengan data awal yang diperlukan, dan laporannya sampai dan dibaca petugas medis. Tapi jika respon baliknya ternyata tidak cepat, masih lamban, artinya tele-leprology belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan.
Tele-medicine secara umum atau lebih khusus tele-leprology, bukan hanya membutuhkan implementasi IT, tapi juga perlu disiplin, mental, dan budaya yang mendukung. Inilah tantangannya. Implementasi IT bisa cepat diaplikasikan. Tapi membangun sikap dan budaya, tak bisa sekejap, perlu proses dan ketekunan. Tapi apapun kendalanya, tele-medicine secara umum dan tele-leprology khususnya, semoga bisa membantu percepatan penanganan lepra, agar Indonesia tak lagi menyandang gelar “juara tiga” dunia.
(Djoko Santoso ; Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga)