Wacana tentang haluan negara mengemuka kembali. Yang perlu kita pahami pertama kali, Pembukaan UUD 1945 telah menggariskan empat tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan dan keadilan sosial.
Tujuan ideal tersebut terkonsepsi dalam rangka pembangunan. Gerak pembangunan bukanlah proses kilat, melainkan bertahap dan berkesinambungan. Semua itu membutuhkan perencanaan dalam bingkai visi yang akuntabel. Selama 74 tahun kemerdekaan, visi bangsa telah ditorehkan dengan gaya manajemen personal para presiden dengan teknis yang tidak sama. Visi itu bisa disebut sebagai haluan negara.
Dalam acara debat politik akhir Maret 2014, mantan Presiden BJ Habibie mengingatkan pentingnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali. Keinginan tersebut juga disuarakan para intelektual. Dalam pertemuan Forum Rektor Indonesia, Konvensi Kampus Ke-10, dan pertemuan nasional Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Januari 2014, misalnya, direkomendasikan agar GBHN dihidupkan kembali.
Sekaligus mendorong MPR menginisiasi amendemen konstitusi agar MPR berwenang kembali menetapkan GBHN. Forum Rektor telah menyosialisasikan naskah kajian akademik ke semua partai politik dan lembaga negara di tengah menghangatnya isu ini pada 2015-2016.
Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional dengan menerapkan GBHN melalui perubahan terbatas UUD 1945 sangat diperlukan.  Hal tersebut ditegaskan lagi saat pidato Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019 (16/8/2019). PDI-P juga telah mengajukan gagasan amendemen terbatas sebagai upaya menghidupkan kembali haluan negara. Walaupun demikian, tak sedikit juga yang tidak setuju wacana tersebut dengan berbagai alasan.
Referensi sejarah
Referensi sejarah kita menunjukkan bahwa haluan negara identik dengan GBHN. GBHN merupakan haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh MPR  setiap lima tahun untuk jangka panjang tertentu.
Pemerintahan Presiden Soekarno telah melahirkan haluan negara pertama kali. Ia berawal dari pidato kenegaraannya, 17 Agustus 1959, yang diberi judul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Haluan negara yang diungkapkan oleh Bung Karno tersebut dipopulerkan sebagai manifesto politik (manipol) yang berintikan lima unsur, yakni UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia. Kelima unsur itu disingkat USDEK sehingga manifesto tersebut dikenal sebagai Manipol USDEK.
Pada awal pembentukannya, MPRS (kemudian MPR) telah mampu memilih presiden. Namun, prosesnya di awal Orde Baru, MPRS tidak berhasil menyusun GBHN baru pengganti yang lama. Penyusunan GBHN memang memakan waktu lama. Perlu dilakukan persiapan matang agar tuntutan Pasal 3 UUD 1945 terpenuhi. Tugas MPR menyusun GBHN, dalam sidang-sidang umum MPR sesudah Pemilu 1971, dibantu presiden dalam penyiapannya. Presiden menyiapkan bahan-bahan masukan penyusunan GBHN dalam sidang-sidang umum MPR di masa Orde Baru.
Namun, sesudah amendemen UUD 1945, GBHN dihapuskan mengingat presiden dipilih langsung. Nasib bangsa setiap lima tahun diserahkan kepada pandangan presiden sebagai personal politisi terpilih. Sebagai ganti GBHN, diterbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan visi pembangunan dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Cakupan RPJP 20 tahun dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) lima tahun, yang memuat visi, misi, dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman RPJP.
Di tingkat daerah, provinsi serta kabupaten/kota membentuk  RPJP dan RPJM daerah secara mandiri merujuk RPJP nasional. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keluarlah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai acuan pembangunan jangka panjang 25 tahun. Secara hierarkis perencanaan pembangunan nasional, RPJPN inilah yang menjadi panduan pembangunan Indonesia hingga saat ini.
Pangkal soal
Pertanyaan kritis yang banyak mengemuka, apakah keinginan menghadirkan kembali haluan negara, hanya berkaitan melulu soal ketiadaan panduan haluan negara? Ataukah berkaitan juga dengan faktor yang lebih luas, menyangkut perubahan relasi kekuasaan negara sebelum dan sesudah Orde Baru?
Saya berpandangan, persoalan kekacauan perencanaan pembangunan, terjadinya benturan perencanaan pembangunan pusat dan daerah, serta keterputusan pembangunan antar-rezim pemerintahan pasca-Orde Baru tidak melulu karena persoalan ada atau tidak adanya haluan negara. Masalahnya justru lebih banyak muncul dari perubahan sistem demokrasi politik yang semakin terbuka. Juga relasi kekuasaan yang terdesentralisasi serta munculnya sistem kekuasaan yang semakin horizontal, tidak tersentral, hierarkis, dan vertikal.
Namun, gagasan menghidupkan kembali haluan negara bukanlah pangkal soal yang beranjak dari ruang kosong. Menuduh gagasan tersebut merusak sistem presidensial, dan hanya konsumsi elite politik belaka, merupakan pandangan yang tidak bijak.
Marilah kita menelaah gagasan tersebut dalam evaluasi yang sejuk. Negara bukanlah sebuah entitas yang ajek, statis dan homogen. Proses pembentukannya terus-menerus dipraktikkan dan diaktualisasikan melalui pembangunan. Dengan demikian, ada proses ulang-alik antara negara dan pembangunan. Negara terbentuk melalui proses pembangunan dan sebaliknya pembangunan dikonstruksi oleh aktor-aktor, agen, dan institusi yang merepresentasikan negara, atau yang memiliki karakter negara, yaitu kehendak untuk melakukan pengaturan dan kontrol atas populasi dalam wilayah tertentu.
Dalam konteks inilah, keberadaan RPJP menuai kritik. RPJPN tidaklah seefektif GBHN. Ada perubahan sistem politik yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan ada otonomi pengelolaan daerah. Dalam pengelolaan pembangunan itulah sering kali pemerintah daerah tidak sejalan dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap pemerintah daerah. Bahkan, kebijakan pemerintah daerah sering kali berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat sebagai bentuk penentangan strategis. Hierarki kepemimpinan dari pemerintah pusat ke daerah macet.
Ketidakefektifan ini kentara manakala partai pengusung presiden yang menang berbeda dengan partai pengusung kepala daerah yang menang. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat lebih banyak dikorbankan karena formulasi kebijakan pembangunan menjadi tidak lagi tunduk kepada presiden selaku kepala negara dan pemerintahan. Mereka lebih cenderung mematuhi kemauan pemimpin partai masing-masing. Dalam kondisi inilah kita memerlukan haluan negara yang bisa mempedomani arah menuju mana negara dan bangsa ini bagi semua.
Tiga skenario
Ada tiga skenario untuk mewujudkan kembali haluan negara (FRI, 2014). Pertama, menginisiasi amendemen UUD 1945 secara terbatas. Tujuannya untuk meninjau ulang keberadaan MPR sekaligus memberinya wewenang menyusun dan menetapkan GBHN. Namun, jika agenda itu yang dipilih, diperlukan prasyarat politik berupa konsensus nasional melalui fraksi-fraksi DPR dan perwakilan DPD di MPR. Konsensus tersebut mencerminkan kesepakatan seluruh elemen bangsa.
Skenario kedua, merevisi UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPPN), UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 17 Tahun 2007 harus diubah agar penyusunan rencana pembangunan tidak terpusat di pemerintah. Tujuannya, agar lembaga-lembaga negara lainnya bersinergi dan berkesinambungan mencapai tujuan bernegara.

Perubahan UU MD3 dimaksudkan agar MPR, DPR, dan DPD memiliki undang-undang sendiri. Selanjutnya, dalam UU tentang MPR perlu dimasukkan kewenangan menyusun dan menetapkan GBHN.  Sementara UU Nomor 12 Tahun 2011 diubah dengan menetapkan kembali status hukum TAP MPR sebagai hierarki norma hukum yang  mengikat ke luar secara hukum.
Skenario ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan. Lembaga-lembaga negara DPR, DPD, dan MPR bisa mengadakan joint session untuk menyusun ”haluan negara”  jangka panjang dan memberikan wewenang kepada presiden menetapkan fokus dan skala prioritas kerja yang disesuaikan dengan visi dan misinya saat kampanye. Fokus dan skala prioritas tersebut harus mengacu pada ”haluan negara” yang ditetapkan dari hasil joint session MPR, DPR, dan DPD.
Menjelang  enam bulan usai mandat kepresidenan, MPR, DPR, dan DPD secara bersama- sama melakukan evaluasi dan memberi catatan kemajuan pelaksanaan haluan negara. Skenario terakhir ini membutuhkan perubahan UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib setiap lembaga negara.
Akhirnya, semua terpulang kepada kita semua. Semoga para wakil rakyat mendapatkan petunjuk dan hidayah Tuhan Yang Maha Esa untuk bisa menetapkan pilihan terbaik bagi masa depan dan kejayaan bangsa dan negara tercinta.
(Ravik Karsidi ; Guru Besar Universitas Sebelas Maret; Ketua Forum Rektor Indonesia 2014/2015)