Revisi Undang-undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) disahkan DPR pada Selasa, 16 September 2019. DPR bersama pemerintah telah sepakat dan RUU telah disahkan, namun keputusan politik ini dikhawatirkan mengandung cacat formil dan materiil, melanggar asas fundamental pembentukan peraturan perundang-undangan dan mengesampingkan aspirasi publik.
Sejak awal, perdebatan tajam menyertai munculnya inisiatif RUU KPK oleh DPR. Pada satu sisi pemerintah bersama DPR menyatakan bahwa RUU KPK yang dibahas adalah untuk memperkuat KPK. Pada sisi lain, terutama masyarakat sipil dan kalangan akademisi  dari berbagai perguruan tinggi,  menganggap klaim pemerintah dan DPR tak kredibel dan bahkan membaca bahwa apa yang tertuang dalam RUU KPK justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi dan lembaga KPK.
Mengapa akademisi dan kelompok masyarakat sipil menolak RUU KPK? Banyak suara sumbang  menanggapi kegigihan masyarakat sipil dan para akademisi menentang RUU  KPK ini. Beberapa pihak yang mengecam  akademisi yang menolak RUU KPK ini berpendapat bahwa para akademisi itu tidak paham dan tak membaca naskah RUU yang diperdebatkan.
Tuduhan yang absurd dan tidak logis; karena dokumen tentang naskah RUU dengan mudah dapat diperoleh dari berbagai sumber. Apalagi RUU KPK adalah dokumen yang berkaitan dengan hukum yang akan diberlakukan bagi seluruh warga negara, selayaknya dibuka untuk diakses dan diperdebatkan.
Salah satu peran penting para akademisi di ruang publik adalah menjaga akal sehat dan hati nurani. Peran itu dilakukan dengan menyuarakan pikiran jernih dan kritis. Bukan untuk mendukung atau menentang seseorang atau kelompok tertentu, tapi demi kebaikan bersama, demi kemaslahatan bangsa. Bersikap kritis tak berarti menentang atau tidak mendukung upaya baik negara.
Sikap kritis dan jernih membantu menyeimbangkan dan merespons tekanan “vested interest group” dalam proses keputusan politik yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara. Sikap kritis itu membantu mengontrol dan mendorong kuasa yang ada  berfungsi sebagaimana tujuan  semestinya, seperti mandat yang diharapkan seluruh warga negara.
Mendukung secara absolut, apalagi berpikir bahwa  DPR bersama pemerintah pasti benar,  dapat menjerumuskan bangsa dan negara ini pada situasi yang tak menguntungkan bahkan kekacauan. Bung Karno pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPR. Pak Harto  dipilih MPR secara aklamasi. Dukungan tanpa sikap kritis telah menjerumuskan beliau berdua pada kuasa tanpa kendali dan mengantarkan bangsa dan negara pada situasi yang tak terbayangkan sebelumnya dan disesalkan; biaya terlalu mahal bagi bangsa dan negara Indonesia.
Jika perilaku koruptif dianggap sebagai penyakit bangsa ini, akademisi harus berani bersuara lantang  mengkritik keputusan politik yang  nyata-nyata  melanggengkan dan atau membuka ruang bagi perilaku koruptif  itu. Bagi para intelektual, inilah panggilan zaman untuk mengawal peradaban bangsa ini.
Akademisi  diharapkan bersuara jernih dan bijak di ruang publik berdasar akal sehat dan hati nurani, bahkan manakala  diperlukan harus berani melibatkan diri dalam kontestasi hukum di lembaga peradilan dengan mengajukan “Amicus Brief” untuk menyampaikan pengetahuan dan pendapatnya dalam upaya membela kebenaran dan keadilan.
Peradaban
Kita bisa belajar dari negara-negara lain yang lebih maju dalam melawan korupsi. Di manapun di dunia ini tak ada negara yang maju tanpa reformasi penyelenggaraan negara dan upaya konsisten  melawan korupsi.  Negara yang  maju, beradab, makmur dan kompetitif dalam persaingan global adalah yang  melakukan reformasi dan melawan korupsi tanpa henti.
Singapura mulai melakukan  di masa Perdana Menteri Lee Kwan Yew; Hongkong memulai jauh sebelum entitas itu kembali ke pangkuan China; Korea Selatan memulai sejak awal 1960-an di masa Presiden Park Chung Hee. Bahkan   Inggris pun melakukan reformasi selama 52 tahun (1780-1832) hingga terbitnya The Great Reform Bill tahun 1832. Menariknya, legislasi ini muncul dalam rangka merespons dan mengoreksi proses pemilihan anggota parlemen yang abusif.  Tak dapat disangkal, upaya-upaya reformasi dan melawan korupsi itu merupakan salah satu faktor utama yang mengantarkan negara-negara itu bertransformasi menjadi negara maju, makmur dan tangguh dalam persaingan global.
Pelemahan terhadap upaya melawan korupsi, berarti membangun dan mewariskan sistem pengelolaan kekayaan negara yang ekstraktif, nir etika, tidak adil, dan brutal; menghancurkan tata kelola pemerintahan; dan menyerahkan negara dan bangsa pada proses self-destruction dan kehancuran peradaban.
Paradoks
Kini Indonesia berada pada lanskap politik paradoksal.  DPR sebagai lembaga yang mewakili  warga dalam proses pengambilan keputusan politik menyangkut kepentingan segenap warga negara, kini justru berada dalam posisi diametral dengan lembaga  yang diberi mandat melawan korupsi (KPK) mapun  gerakan masyarakat sipil melawan korupsi.
Upaya melawan korupsi dapat berhasil ketika perangkat legislasi dan institusi pelaksana legislasi anti korupsi  bekerja dengan baik dan sinergis. DPR bersama pemerintah memiliki kuasa atas proses  legislasi. Pembentukan peraturan perundang-undangan nasional adalah wujud komitmen politik, normatif dan institusional .  Sementara KPK adalah institusi yang diberi mandat  menegakkan legislasi anti korupsi itu.
Dalam situasi khusus di mana ada urgensi  melawan korupsi masif dan akut, kehadiran KPK sangat krusial. Penegakan hukum untuk berantas korupsi, bukan hanya tugas KPK, juga bukan hanya masalah peraturan perundang-undangan, namun juga perlu  institusi yang relevan dan kuat serta komitmen politik dari negara.
DPR bersama pemerintah sangat diharapkan menunjukkan politik kemuliaan par excellence  untuk  membangun peradaban bangsa. Namun, DPR bersama pemerintah dengan kesepakatan yang  jelas melemahkan agenda pemberantasan korupsi,  juga dapat mempertontonkan  transaksi kepentingan, berjarak dengan rakyat, atau bahkan memperlihatkan panggung kemunafikan.
(Sigit Riyanto ; Dekan Fakultas Hukum UGM, Anggota Dewan Riset Nasional)