Seorang remaja pria masuk ke dalam lift, kemudian ia menekan tombol lantai 14. Selesai menekan tombol, ia berkonsentrasi pada telepon genggamnya. Saat pintu lift terbuka di lantai 14, ia tak menyadari sampai seseorang menegurnya. Ia tampak terkejut dan langsung keluar lift.
”Salfok”
Saya berdiri tepat di belakangnya, kemudian tersenyum dalam hati melihat kejadian itu. Saya tersenyum karena peristiwa semacam itu sudah berulang kali saya alami sendiri. Semuanya gara-gara terlalu fokus pada telepon genggam yang tak terpisahkan.
Gara-gara terlalu fokus itu, saya nyaris menabrak tiang di lapangan basket, gara-gara fokus itu, saya salah memberi petunjuk kepada sopir taksi. Saya bermaksud ke Jalan Hang Lekir, mulut saya mengeluarkan instruksi ke Jalan Hayam Wuruk.
Gara-gara fokus padagadget itu, saya salah masuk lift. Saya bermaksud turun, saya masuk ke dalam lift yang justru naik ke atas. Semua karena fokus yang luar biasa pada telepon genggam hingga saya seperti tidak melihat situasi di sekeliling.
Kejadian semacam itu sudah berulang kali saya alami, tetapi kejadian yang dialami remaja pria di dalam lift itu adalah kejadian pertama yang mampu membuat saya menyadari betapa banyak kesempatan yang terbuang karena saya salfok alias salah fokus.
Saya diajari bahwa saya harus fokus pada cita-cita saya atau pada keinginan saya agar dapat tercapai. Fokusnya saya kerjakan, tetapi saya salah sasaran. Saya memfokuskan pada yang tak penting sehingga saya kehilangan yang utama. Saya memberi jatah berkonsentrasi pada yang tak utama.
Karena yang tak utama dalam pengalaman saya selalu lebih menarik. Mungkin itu sebabnya hidup saya hanya begini-begini saja tak pernah mencapai puncak. Saya terlalu terpikat pada begitu banyak
hal yang ada di sekitaran saat menuju pada sasaran yang utama.
Saya teringat saat berjalan- jalan di sebuah mal. Pusat perbelanjaan yang luar biasa luasnya dan menawarkan sejuta pesona. Awalnya saya ingin menuju sebuah toko serba ada di dalam mal itu. Untuk menuju tempat itu, toko-toko di sepanjang koridornya begitu menarik sehingga saya dibuat pusing tujuh keliling saking terpesonanya.
Singkat cerita, saya tak sampai ke toko serba ada itu. Saya bahkan lupa kalau tujuan utama saya adalah ke toko serba ada itu karena fokus utama tergantikan dengan fokus pada yang tak direncanakan.
Mi godok
Saya memutari mal superluas itu, mendapatkan sebuah pengalaman baru, kemudian merasa bersemangat pada yang tak direncanakan, tetapi kehilangan tujuan utama. Akibatnya, saya tak pernah tiba di toko serba ada itu.
Saya tak pernah tiba di puncak karier saya, tak pernah mencapai puncak perjalanan asmara saya, tak pernah sampai puncak pada investasi saya. Karena dalam menuju puncak, ketika saya harus fokus pada tujuan utama, saya asyik-asyik pada pekerjaan sampingan yang membuat saya punya uang dalam waktu singkat tanpa harus berlelah-lelah menuju puncak, meraih pekerjaan utama yang sejak awal telah saya rancang.
Karena di jalan menuju puncak sebuah perjalanan asmara, saya memberi kesempatan untuk celingak-celinguk pada godaan di luar pasangan saya. Karena yang di luar pasangan saya terlihat begitu memesona, begitu hidup, dan jauh dari membosankan, tak seperti dia yang telah ada di genggaman tangan saya.
Akibatnya, saya menjadi tak peka kalau perjalanan asmara yang utama sudah mencapai ”lantai 14”, sudah mencapai apa yang saya inginkan dalam sebuah hubungan. Tetapi, karena saya memberi fokus yang besar pada yang tak utama, saya merasa saya belum tiba di puncak. Sampai saya perlu ditegur pasangan saya bahwa saya sudah tiba di tujuan yang dicita-citakan.
Karena dalam mewujudkan cita-cita saya untuk mempunyai investasi yang menguntungkan, saya memberi fokus pada hal- hal yang tak menguntungkan. Karena dalam perjalanan menuju investasi yang menguntungkan, saya tergoda mengalihkan dana yang sudah ditetapkan untuk berinvestasi, pada sesuatu yang jauh dari menguntungkan, tetapi hanya memberi kepuasan emosional.
Minggu lalu saya ke Solo, kemudian makan malam di warung mi godok dan melihat sebuah keluarga yang duduk persis di sebelah meja saya. Ayah, ibu, dan anaknya semua terlihat asyik berkonsentrasi pada telepon genggamnya.
Mungkin sebuah pemandangan yang juga sering Anda lihat. Bahkan, mungkin Anda dan keluarga juga demikian adanya. Selama saya berada di warung itu, saya tak melihat mereka berinteraksi, bercakap- cakap, menciptakan sebuah acara makan malam keluarga yang hangat. Bahkan, ketika mi godok itu masuk ke dalam mulut pun, mata mereka berkonsentrasi pada telepon genggam. Saya sampai berpikir apakah mereka menikmati rasa mi godok itu.
Sejujurnya, saat saya membuat tulisan ini dan menuliskan peristiwa itu, saya jadi dibuat berpikir. Mungkin sesungguhnya fokus utama saya adalah pada kehidupan orang lain yang saya lihat setiap saat di telepon genggam. Akibatnya, saya tergoda untuk tidak fokus kepada pasangan saya, kepada keluarga saya, kepada investasi saya, bahkan kepada rasa mi godok. ***