Perhatian terhadap kemungkinan terjadinya krisis meningkat dengan meningkatnya tekanan eksternal, perlambatan ekonomi global, dan terjadinya gagal bayar beberapa perusahaan besar di Indonesia. Di Amerika Serikat, pembahasan mengenai kemungkinan resesi ekonomi, per definisi dua triwulan berturut-turut pertumbuhan negatif, juga mengalami peningkatan.
Bagi negara maju, untuk menstimulasi ekonomi tinggal tersisa kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga. Kebijakan fiskal sangat kecil peluangnya karena sudah tingginya utang pemerintah. Kemungkinan besar bank sentral AS (The Fed) akan menurunkan suku bunga di bulan September ini. Bank sentral Eropa (ECB)  dan bank sentral Jepang (BOJ) sudah membuat suku bunga sangat rendah. Bahkan, imbal hasil (yield) obligasi di Jerman, Jepang, dan Swiss sudah negatif.
Rendahnya suku bunga di negara maju ternyata kurang dapat menstimulasi sektor riil. Aliran dana yang besar mengalir ke sektor keuangan yang membuat harga aset meningkat yang membentuk gelembung (bubble) aset keuangan. Aliran modal ini juga mengalir ke negara berkembang. Namun, aliran modal ini mudah berubah bergantung keadaan ekonomi di negara maju. Karena itu, volatilitas di sektor keuangan, baik pasar modal maupun  nilai mata uang, menjadi tinggi. Kekhawatiran akan krisis ditambah gagal bayarnya utang luar negeri Argentina. Tambahan lagi, terjadi resesi di Turki.
Di Indonesia tak begitu jelas kekhawatiran terhadap krisis. Jika yang dimaksud resesi, kecil kemungkinan bagi ekonomi Indonesia mengalami resesi atau pertumbuhan  negatif. Dengan konsumsi masyarakat sekitar 56 persen dari ekonomi (PDB), kecil kemungkinan terjadinya pertumbuhan ekonomi negatif. Hanya jika terjadi kerusuhan sosial seperti 1998 yang merusak sistem distribusi, pertumbuhan ekonomi negatif. Kemungkinan ini tentu saja sangat kecil.
Jika yang dimaksud adalah krisis keuangan yang dicirikan oleh rusaknya sistem keuangan, khususnya perbankan sehingga transmisi keuangan rusak, ini dapat membuat krisis ekonomi dan pertumbuhan negatif. Krisis keuangan biasanya didahului oleh tingginya pertumbuhan kredit bersamaan dengan tingginya harga properti.
Pertumbuhan kredit sekarang ini hanya sekitar 10 persen, yang untuk ukuran Indonesia adalah moderat. Bahkan, bank swasta pada umumnya kreditnya tumbuh berkisar 4-6 persen. Kredit macet (NPL) juga relatif rendah sekitar 2,6 persen. Ada kemungkinan NPL lebih tinggi karena semakin banyaknya gagal bayar perusahaan kepada bank. Namun, ini pun masih terkendali.
Sementara itu, pasar properti dapat dikatakan stagnan. Pasokan apartemen dan perkantoran mengalami kelebihan. Penjualan rumah hanya untuk kelas menengah yang masih berjalan. Rumah kelas atas yang biasanya memicu harga properti yang tinggi dan berkontribusi pada krisis praktis stagnan. Jika ada kekhawatiran terjadinya NPL untuk kredit perumahan (KPR), dapat dimengerti. Namun, ini pun tingkatannya relatif rendah.
Jika demikian, kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah berlebihan. Apa yang mungkin terjadi adalah perlambatam ekonomi yang berlanjut. Pengalaman pada saat krisis keuangan dunia 2008 memberikan tekanan besar pada ekonomi Indonesia, tetapi pertumbuhan ekonomi 2009 masih berkisar 4,5 persen dan sistem perbankan terjaga baik. Hanya permasalahan Bank Century, yang sebenarnya tidak sistemik tetapi diambil alih pemerintah, yang kemudian menyebabkan permasalahan politik berkepanjangan.
Utang luar negeri juga terjaga baik dengan rasio sekitar 36 persen terhadap PDB. Utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai 368 miliar dollar AS dengan utang pemerintah sebesar 183 miliar dollar AS yang berstatus lancar. Jika rupiah melemah, beban pembayaran utang luar negeri meningkat tetapi jauh dari kemungkinan krisis.
Defisit transaksi berjalan memang mengkhawatirkan pada tingkatan 3 persen PDB. Namun, upaya untuk mengatasinya masih cukup terbuka, selain menekan impor, menarik PMA (penanaman modal asing) untuk industri berorientasi ekspor adalah cara yang lebih baik dalam mengatasi defisit ini.
Perlambatan ekonomi
Perlambatan ekonomi yang semestinya kita khawatirkan. Pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,07 persen, dengan konsumsi masyarakat masih tumbuh di atas 5 persen, investasi hanya tumbuh sekitar 5 persen, dan ekspor serta impor negatif pertumbuhannya. Pertumbuhan manufaktur yang semestinya menjadi tulang punggung ekonomi mengalami penurunan menjadi sekitar 3,6 persen.
Perhatian kita adalah bagaimana perlambatan ekonomi ini tidak terus berlanjut karena pengaruhnya yang besar pada kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Kita bersyukur konsumsi masyarakat masih cukup baik dan sedapat mungkin dipertahankan. Insentif dibutuhkan untuk mempertahankan konsumsi masyarakat ini, antara lain dengan pengurangan pajak pembelian rumah untuk golongan menengah. Bagi masyarakat bawah, program bantuan tunai bersyarat sebaiknya diperluas.
Investasi masih dapat diharapkan tumbuh lebih tinggi, terutama PMA, jika insentifnya memadai. Investasi di industri manufaktur dan migas yang mendukung ekspor serta mengurangi ketergantungan impor akan sangat membantu memperbaiki kinerja ekonomi.
Kebijakan Bank Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan adalah langkah yang tepat. Namun, relatif lemahnya transmisi keuangan dan terbatasnya likuiditas di perbankan membuat penurunan suku bunga kebijakan tidak dapat berjalan sendiri dan kurang efektif. Imbangan kebijakan fiskal berupa insentif pada sektor tertentu, seperti manufaktur, minyak dan gas, serta perumahan, tidak saja dalam mengatasi perlambatan ekonomi, tetapi juga mengembalikan jalur pertumbuhan yang lebih tinggi sesuai dengan potensinya sangat dibutuhkan.
(Umar Juoro ; Senior Fellow The Habibie Center)