Salah satu tantangan pemerintahan Jokowi 2019-2024 adalah meningkatkan investasi dan menggenjot ekspor untuk menutup defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan.
Untuk mendukung rencana itu akan dibentuk kementerian baru bidang investasi, ekonomi digital, dan ekonomi kreatif. Di samping itu akan ada penambahan fungsi baru di kementerian luar negeri terkait perdagangan internasional. Tujuan perubahan nomenklatur kementerian itu, dalam bahasa Jokowi, karena ”persoalan kita dua: meningkatkan investasi dan menaikkan ekspor” (Kompas, 15/8/2019).
Sederhana dalam kata, sarat dalam makna. Meski hanya beberapa kata, frasa itu sesungguhnya membentangkan ruang tafsir luas bagi pelaksanaan diplomasi dan politik luar negeri. Investasi dan ekspor selama ini memang bagian dari diplomasi dan politik luar negeri Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bersama jejaring kerjanya yang tersebar di seluruh dunia lewat Perwakilan RI di luar negeri.
Bagaimana membaca keinginan ”meningkatkan investasi dan menaikkan ekspor”  dalam perspektif diplomasi dan politik luar negeri? Dalam konteks konseptual-strategis, senapas dengan karakter kepemimpinan Jokowi yang kerakyatan, dalam lima tahun terakhir diplomasi RI di bawah kepemimpinan Menlu Retno Marsudi fokus pada upaya memberi manfaat konkret bagi rakyat.
Diplomasi tak boleh berjarak dengan rakyat, harus terkoneksi dengan kepentingan rakyat. Singkatnya, ”diplomasi membumi”. Sejatinya diplomasi jenis ini penajaman sekaligus perluasan definisi diplomasi RI, yang sebelumnya lebih banyak berkutat pada isu politik regional dan global. Betul, Indonesia sebagai negara besar harus berperan dan menunjukkan kepemimpinannya baik dalam isu-isu kawasan maupun global.
Partisipasi Indonesia dalam forum regional-multilateral, seperti ASEAN, G-20, APEC, ASEM, dan gagasan arsitektur regional Indo-Pasifik, menunjukkan Indonesia bertanggung jawab atas isu kawasan dan internasional. Banyak awam menduga keikutsertaan Indonesia di berbagai forum itu sebatas seremonial dan formalitas, sekadar memenuhi kesantunan diplomatik sesama negara sahabat.
Dugaan itu keliru. Hampir di setiap pertemuan regional-multilateral Indonesia selalu membawa misi diplomasi ekonomi dengan fokus menarik investor, terutama di bidang ekonomi digital, infrastruktur, dan pendidikan vokasi. Setiap dana yang dikeluarkan untuk perjalanan luar negeri itu pada akhirnya akan kembali ke dalam negeri dan memberi manfaat langsung ke rakyat. Inilah diplomasi membumi itu!
”Salesman”
Untuk lima tahun ke depan, Presiden Jokowi memerintahkan meningkatkan investasi dan ekspor. Perintah ini mirip arahan empat tahun lalu, ketika ia memberikan arahan agar semua duta besar RI menjadi salesman produk negaranya. Berpedoman pada arahan ini Kemlu mencanangkan ”diplomasi membumi” yang menjadikan ekonomi salah satu prioritas. Dengan memanfaatkan SDM, dana dan kelembagaan yang sudah ada para diplomat RI di luar negeri melakukan promosi ekonomi, jamak disebut promosi TTI (trade, tourism, investment). Ketiga jenis diplomasi ekonomi ini pas benar dengan esensi diplomasi membumi: memberi manfaat konkret dan langsung bagi rakyat.
Jika benar Kemlu akan dibebani tugas baru terkait perdagangan internasional, ini berarti memperkuat konsep diplomasi membumi. Sebab, dengan fungsi perdagangan internasional, baik aspek teknis operasional maupun promosi di pasar luar negeri, berada dalam satu garis komando di bawah Kemlu, upaya peningkatan perdagangan luar negeri akan terkoneksi langsung dengan grand design politik luar negeri dan diplomasi membumi tadi. Pada titik ini, dapat dipastikan bahwa diplomasi RI akan semakin membumi.
Mengapa perlu konektivitas antara perdagangan luar negeri dengan politik luar negeri dan diplomasi? Sebab, diplomasi ekonomi itu tak hanya terbatas kegiatan promosi investasi, perdagangan, dan pariwisata di luar negeri saja. Pembebanan tugas tambahan bagi Kemlu di bidang perdagangan internasional bukanlah sekadar bertambahnya tugas dan sumber pendanaannya. Tak sesederhana itu. Penambahan tugas itu butuh perubahan paradigma dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi.
Diplomasi ekonomi haruslah terintegrasi dengan visi strategis terhadap geopolitik, geoekonomi, kecenderungan gravitasi ekonomi dunia, stabillitas politik kawasan dan dunia, termasuk persaingan ideologis antarnegara. Kesemua persepsi strategis ini harus menjadi acuan dalam mendesain strategi diplomasi ekonomi. Jika diplomasi ekonomi dijalankan dengan pendekatan sektoral, dikhawatirkan ia akan berjalan sendiri, terisolasi, dan terlepas dari konteks makropolitik dan kepentingan nasional yang lebih luas. Perubahan paradigma diplomasi hendaknya tidak direduksi sebatas pada pergeseran fokus, dari diplomasi politik ke diplomasi ekonomi, tetapi lebih pada perluasan wawasan diplomasi ekonomi itu sendiri.
Tafsir ulang
Diplomasi ekonomi konvensional yang lebih berwawasan ekonomi bisnis-sektoral perlu ditafsir ulang dengan cara memperluasnya menjadi diplomasi ekonomi berwawasan makropolitik sehingga mendukung perjuangan diplomasi di bidang lain. Yang jadi tantangan justru bagaimana mengoneksikan diplomasi yang berwawasan ekonomi bisnis-sektoral dengan pelaksanaan diplomasi berwawasan makropolitik. Misalnya, diplomasi ekonomi yang mendukung keutuhan wilayah. Indonesia secara geografis memiliki teritori mahaluas dengan pulau-pulau kecil di perbatasan laut dengan negara tetangga.
Tak adanya effective occupation (kehadiran riil) oleh negara di pulau-pulau terdepan menimbulkan kerawanan bagi keutuhan wilayah. Begitu juga halnya dengan terkebelakangnya ekonomi daerah di sepanjang perbatasan darat. Kesenjangan bisa menggeser orientasi loyalitas warga negara di perbatasan ke negara tetangga. Jika itu terjadi, dalam jangka panjang keutuhan wilayah dan loyalitas warga negara akan jadi taruhan.
Untuk itu diplomasi ekonomi perlu difokuskan untuk menarik investasi di bidang infrastruktur jalan, pelabuhan, pariwisata, atau kawasan ekonomi khusus sehingga terbangun sentra-sentra pertumbuhan di pulau terdepan dan kawasan perbatasan.
Potensi ancaman disintegrasi bangsa di Papua dapat juga didekati melalui diplomasi ekonomi dan perdagangan internasional. Papua secara geografik-etnis dekat dengan negara-negara Pasifik. Indonesia harus dapat memanfaatkan sentimen ke-Melanesia-an ini untuk meningkatkan hubungan ekonomi perdagangan dengan negara-negara Pasifik.
(Darmansjah Djumala ; Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Vienna; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran,  Bandung)