Prediksi pemerintah bahwa 48 juta jiwa di 28 provinsi terancam kekeringan akibat kemarau tahun 2019 menjadi berita yang cukup mengkhawatirkan. Kekeringan yang melanda beberapa lumbung padi nasional pada musim tanam dua di tahun ini diprediksi menyebabkan produksi beras lebih rendah dibandingkan 2018. Kementerian Pertanian menyatakan sampai Juni 2019, terdapat lebih 100 kabupaten/kota terdampak kekeringan dengan total kekeringan 102.746 ha dan puso 9.358 ha.
Merespons masalah ini, bahkan Presiden Jokowi langsung mengintruksikan kepada menteri, kepala lembaga, dan gubernur untuk turun melihat langsung ke lapangan dan bertindak mengatasi dampak kekeringan melalui upaya antisipasi dan mitigasi kekeringan.
Datangnya musim kemarau selalu dikhawatirkan karena ancaman kekeringan yang menyertainya dan dampak langsung maupun tak langsung bagi kehidupan masyarakat di banyak daerah di Indonesia. Kegagalan panen dan turunnya produksi, mundurnya musim tanam, bahkan tidak terpenuhinya air untuk keperluan domestik seperti memasak, mencuci dan sanitasi dapat menjadi bencana nasional jika tidak segera diselesaikan bersama.
Sejak lama kita mengetahui sebagai negara kepulauan tropis, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terletak pada posisi geografis yang khas dan unik, berada di ekuator yang ada di antara dua samudra besar, Hindia dan Pasifik, serta dua benua, Asia dan Australia. Keunikan posisi geografis ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki dua musim yang ditentukan berdasar ada tidaknya curah hujan pada periode beberapa bulan tertentu.
Kita namakan musim hujan saat curah hujan bulanan tinggi melebihi nilai ambang batas, dan sebaliknya musim kemarau saat curah hujan sangat rendah dalam periode beberapa bulan lainnya. Artinya musim hujan dan musim kemarau adalah kondisi iklim yang rutin dialami wilayah Indonesia setiap tahun, dari Sabang sampai Merauke.
Periode musim hujan dan musim kemarau di Indonesia sangat dipengaruhi posisi matahari terhadap Bumi yang menyebabkan adanya gerakan angin monsoon dari benua Asia ke Australia dan sebaliknya. Selain itu beberapa fenomena variabilitas iklim seperti ENSO (El Nino dan La Nina) turut memengaruhi periode dan besaran musim hujan maupun kemarau. Fenomena El Nino dapat menyebabkan anomali dalam bentuk kemarau lebih awal terjadi, lebih lama waktunya dan memiliki dampak lebih besar.
Iklim dan pangan
Sebagian besar petani padi di sentra pertanian selalu melakukan penanaman musim tanam pertama di awal musim hujan. Itu sebabnya informasi perkiraan awal musim hujan sebagai penanda awal musim tanam yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi sangat penting bagi petani. Variabilitas iklim dapat menyebabkan musim hujan dan kemarau di setiap daerah di Indonesia selalu bervariasi setiap tahun baik dalam awal waktu maupun durasi periode musimnya.
Sebagai contoh El Nino pada 2015 menyebabkan musim kemarau di Indonesia datang lebih awal dan memiliki periode lebih panjang sehingga mengakibatkan mundurnya awal musim hujan. Dampak langsung di sektor pertanian: kemunduran waktu tanam yang banyak terjadi di sentra produksi padi. Dampak lain yang juga cukup besar, kebakaran hutan dan lahan yang sangat luas dan parah tahun itu.
Dampak variabilitas iklim semakin besar seiring “perubahan iklim” yang saat ini mulai dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia. “Perubahan iklim” diperkirakan dapat mengubah pola hujan global yang pada akhirnya mengubah waktu awal musim maupun lamanya periode musim, termasuk di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan perubahan iklim global dapat menyebabkan musim hujan memiliki durasi waktu lebih pendek dengan intensitas curah hujan lebih tinggi. Sebaliknya, curah hujan di musim kemarau berpotensi lebih rendah sehingga kemarau menjadi lebih kering dengan durasi kemarau lebih panjang.
Kemarau merupakan fenomena iklim yang normal dan rutin terjadi. Namun mengapa setiap tahun kita selalu meributkan kekeringan di musim kemarau? Bukankah Tuhan sudah memberikan air hujan di waktu atau bulan yang lain saat curah hujan sangat tinggi dan berlebih? Namun musim hujan pun sering kita keluhkan karena curah hujan berlebih itu tak kita manfaatkan secara optimal dan justru berpotensi jadi bencana lain seperti banjir dan tanah longsor. Salah satu kekhawatiran terkait kekeringan di musim kemarau yang panjang adalah dampaknya pada produksi pertanian sebagai sumber utama menjaga ketahanan pangan nasional.
Di musim kemarau pada dasarnya radiasi matahari sangat melimpah sehingga jika lahan pertanian dapat air yang cukup dari sumber air selain hujan maka produktivitas lahan akan lebih tinggi dibandingkan hasil penanaman di musim hujan.
Salah satu hak dasar manusia adalah pangan sebagai salah satu kebutuhan utama hidup. Hal ini dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945 yang diperjelas melalui UU No 18/2012 tentang Pangan. Ketersediaan pangan jadi tanggung jawab pemerintah melalui pencapaian ketahanan pangan, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga perseorangan, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup secara kuantitas dan kualitas untuk mencapai kehidupan yang produktif secara berkelanjutan.
Pencapaian ketahanan pangan tak terlepas dari upaya menjaga produksi pangan nasional, terutama pangan utama seperti beras agar selalu berada pada jumlah cukup, sebanding dengan kebutuhan, dan sesuai jumlah penduduk yang membutuhkan. Ketakstabilan ekonomi yang mengarah pada gejolak sosial dan politik dapat terjadi jika ketersediaan pangan lebih kecil dari kebutuhan.
Walau impor dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah, impor pangan seperti beras harus diminimalkan selama produksi beras nasional dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia.
Masalah timbul, saat upaya memenuhi target produksi beras nasional terkendala kondisi iklim terutama ketersediaan air di musim kemarau. Kekeringan yang melanda lahan pertanian menurunkan produktivitas bahkan menyebabkan puso dan mengurangi produksi nasional.
Masalah kekeringan yang berdampak pada ketahanan pangan tak bisa diselesaikan hanya oleh satu instansi Kementerian Pertanian. Perlu kerja sama lintas kementerian dan lembaga seperti Kementerian PUPR, Kementerian LHK, dan institusi terkait lain termasuk BMKG, BNPB bahkan Bulog.
Langkah strategis
Diperlukan rencana strategis nasional penanggulangan kekeringan yang disusun dengan mempertimbangkan dampak dan besaran di setiap daerah yang berbeda. Beberapa langkah strategis itu di antaranya: (1) penguatan sistem prediksi iklim nasional untuk memberikan informasi potensi kekeringan setiap tahun, (2) identifikasi secara rinci wilayah rentan kekeringan termasuk wilayah potensial pertanaman pangan non padi, (3) pengembangan sistem pertanian cerdas iklim; (4) pengembangan infrastruktur pengairan dan cadangan air pertanian yang besarnya sesuai kebutuhan wilayah; (5) perluasan implementasi asuransi iklim dan pertanian untuk memberikan jaminan usaha di sektor pertanian.
(Yonny Koesmaryono ; Guru Besar Agrometeorologi FMIPA IPB dan Wakil Rektor IPB 2012-2017)