Potensi konflik pada negara yang berdiri di atas bangsa majemuk memang besar, tapi sebaliknya dari kemajemukannya akan lahir harmoni, keindahan dan bahkan daya bertahan hidup (survival) yang tidak mungkin dijumpai pada negara yang bangsanya homogen. Fakta juga membuktikan, tak sedikit negara yang majemuk justru berhasil membangun peradaban bangsanya dengan gemilang. Sebaliknya, banyak negara homogen, malah terus dilanda konflik internal berkepanjangan dan sudah barang tentu dengan biaya politik sangat besar termasuk jatuhnya korban di antara anak bangsanya sendiri.
Lantas bagaimana dengan Indonesia yang sangat majemuk, ke depan, kalau realitanya sudah 21 tahun masa demokratisasipun terus dilanda politik gaduh dengan latar belakang SARA, seperti yang baru-baru saja terjadi, yaitu kasus rasis terhadap mahasiswa kita asal  Papua.
Potret bangsa.
Di masa lalu, dalam menjaga keutuhan dan masa depan NKRI, bangsa ini sempat beberapa kali menggunakan kekuatan bersenjata seperti terjadi dalam penumpasan PRRI/Permesta dan DI/TII. Hal serupa juga terjadi dalam menangani dinamika politik nasional pasca-tragedi berdarah G30S/PKI. Atas nama kepentingan nasional dan demi terwujudnya keamanan nasional sebagai prasyarat pembangunan nasional, secara sah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, TNI kemudian  dikerahkan menghadapi rakyatnya sendiri seperti terjadi di Aceh, Papua dan banyak tempat lain, tak terkecuali dalam urusan gusur -menggusur penduduk demi kepentingan pembangunan nasional. Sudah barang tentu dampak ikutan yang tidak bisa dielakkan adalah jatuhnya korban sesama anak bangsa sendiri dalam jumlah yang sangat besar.
Sebagian anak bangsanya sendiri kemudian diposisikan sebagai ancaman alias musuh negara, dengan stempel politis sebagai EKKI (Ekstrem Kiri/PKI), EKKA (Ekstrem Kanan/Islam), dan EKLA (Ekstrem Lain/Non PKI dan Islam). Dengan skrining politik layaknya di negara komunis, negara juga melakukan kontrol sosial. Yang pasti anak keturunan PKI dalam jumlah puluhan juta hanya bisa jadi “pemuas nafsu” (bagi yang wanita), babu, atau pekerja kasar lainnya. Sementara yang dicap EKKA dan EKLA banyak yang harus dipenjara dan/atau diisolasi secara sosial, sebagian lagi terpaksa harus lari keluar negeri.
Akal sehat dan etika moral dalam perpolitikan nasional secara sah menurut hukum  juga pernah dikesampingkan. Bagaimana tidak, kalau Bung Karno sebagai presiden dilengserkan karena terlibat G30S/PKI, di mana G30S/PKI distempel melakukan kudeta terhadap pemerintahan sah. Sementara pemerintahan sah itu sendiri dipimpin oleh Soekarno, seolah Bung Karno dan Soekarno dua figur berbeda.  Sementara Gus Dur yang ulama besar, juga harus dipermalukan bangsanya sendiri, dengan tuduhan secara politis menerima uang kecil yang berasal dari uang zakat yang di lingkungan kehidupan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari tata cara beribadah itu sendiri.
Begitu pula dalam tata kelola ekonomi nasional, sumber daya nasional dalam jumlah besar kemudian dibagi-bagikan kepada kroni penguasa dan sedikit untuk BUMN.  Menjadi wajar kalau kemudian melahirkan kesenjangan sosial dan juga menjadi sumber konflik sosial. Belum lagi praktik diskriminasi pelayanan sosial, di mana dana APBN yang begitu besar untuk pendidikan dan kesehatan dalam praktiknya berpuluh tahun hanya dinikmati keluarga kaya. Dan masih banyak lagi kebijakan nasional yang belum mencerminkan makna kesatuan dalam sebutan NKRI bagi segenap orang, golongan dan juga wilayah di negeri ini. Di sanalah sakit hati, dendam, dan kesenjangan sosial dan juga daerah tumbuh subur.
Fakta juga membuktikan, berkat semangat positif anak keturunan PRRI/Permesta dan DI/TII serta Masyumi tak terkecuali yang di lingkungan TNI/ Polri, sejak menjelang reformasi  telah berhasil tampil di panggung politik nasional. Hal serupa terjadi pada anak keturunan PKI, pasca-reformasi 1998, berkat kegigihannya melalui jalur yang legal, di antara mereka kini berhasil duduk sebagai anggota DPR melalui sejumlah partai dan sejumlah kedudukan posisi strategis dalam pemerintahan.
Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, pasca-Orde Baru bangsa ini menanggung akumulasi residu masa lalu yang begitu berat dan akhirnya mudah terjebak dalam politik balas dendam, hina-menghina dan saling jegal yang bersumber pada SARA serta kesenjangan sosial dan daerah, tak terkecuali antarsesama korban masa lalu itu sendiri.
Menutup masa lalu, bangun Indonesia baru.
Tanpa harus menyalahkan rezim berkuasa terdahulu, cara buruk yang pernah terjadi di masa lalu haruslah dicegah agar tak terulang kembali di masa mendatang. Begitu juga luka jiwa dan perasaan yang penuh derita, duka, lara, pilu serta nestapa dan bahkan dendam kesumat harus segera dihentikan. Di sanalah bangsa ini perlu mengambil langkah terukur untuk mengakhiri sisi buruk kejiwaan bangsa dan realitas peninggalan masa lalu itu, dalam bentuk islah atau rekonsiliasi. Tanpa rekonsiliasi, turbulensi elite politik yang dilingkupi fobia dan dendam serta kebencian serta upaya saling jegal seperti terjadi 20 tahun lebih belakangan ini akan terus terjadi, dan bahkan ke depan dipastikan lebih dasyat lagi.
Di samping itu, untuk menjamin kepastian hukum bangsa ini juga harus segera melaksanakan amanat para Bapak Pendiri Bangsa tentang sifat “kekilatan dan kedaruratan” UUD 1945. Bung Karno sendiri dengan lugas pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 menyampaikan amanat untuk “membuat UUD yang lebih lebih lengkap dan sempurna”. Kita memang sudah melakukan empat kali amendemen UUD 1945, namun dalam praktiknya tak didahului perubahan pola pikir dan platform dari negara otoriter menjadi demokrasi, dari UUD “kilat dan darurat” menjadi UUD dalam keadaan normal/tertib sipil, karena prosesnya langsung menukik ke perubahan bab dan pasal-pasal.
Dan amendemen kelima tersebut, kita  gunakan untuk memformat ulang sistem kenegaraan dengan mengelaborasi secara utuh dan menyeluruh semua nilai-nilai luhur Pancasila ke dalam batang tubuh UUD kita sebagai hukum dasar, yang memang belum sempat dikerjakan Founding Fathers dan generasi pendahulu. Melalui sistem demokrasi yang benar-benar dijiwai secara utuh dan menyeluruh oleh nilai-nilai Pancasila, ke depan kedudukan rakyat dalam negara adalah “majikan” karena rakyatlah yang  bertanggung jawab atas pembiayaan dan masa depan, serta eksistensi negara.
Sebaliknya, semua yang mengawaki pemerintahan negara tak pandang pangkat dan jabatan adalah karyawan, buruh, pelayan atau abdi yang tak patut tak sopan pada majikannya, apalagi menzaliminya. Dan peran negara adalah wadah sekaligus alat bagi rakyat dalam mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dan yang pasti tanpa kedua warisan mulia tersebut, perubahan mendasar paradigma dalam berbangsa dan bernegara yang telah dirintis Presiden Jokowi selama lima tahun belakangan ini dan akan disempurnakan pada masa pemerintahannya yang kedua, bisa jadi akan menjadi sia-sia, karena tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih pada Pemilu 2024 akan melanjutkannya.
(Saurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) / Tenaga Ahli Menko Polhukam RI)