Sepanjang 2019, Papua menjadi medan konflik bersenjata yang tak berkesudahan. Pasca-penembakan 16 pekerja konstruksi oleh kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) pada awal Desember 2018, gabungan TNI-Polri melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap kelompok pimpinan Egianus Kogeya tersebut, di sejumlah distrik di Kabupaten Nduga.
Dampak dari konflik bersenjata dan keberadaan ratusan personel aparat keamanan adalah gelombang pengungsian di sejumlah kabupaten, seperti Jayawijaya, Mimika, Asmat, Lanny Jaya dan  Yahukimo. Total jumlah pengungsi seperti yang dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten Nduga adalah sebanyak 45.532 orang. Ratusan korban meninggal di pengungsian, khususnya di Wamena, menjadi bukti peliknya persoalan konflik bersenjata di Papua.
Kekerasan dan otsus
Di tengah persoalan konflik bersenjata di Nduga dan keberadan puluhan ribu pengungsi internal (internally displaced persons), wilayah lain di pegunungan tengah, khususnya Puncak, kembali bergelora dengan meninggalnya salah satu anggota Polri, Briptu Heidar.
Selain itu, 800 pengungsi internal dan tiga warga lokal dilaporkan meninggal akibat penyisiran yang dilakukan aparat keamanan di Distrik Gome, Kabupaten Puncak (Jubi, 2/9/2019). Beberapa kabupaten seperti, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mimika, Nduga, dan Pania, merupakan “wilayah merah” di mana terdapat sejumlah kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang masih aktif bergerilya.
Menurut catatan penulis, selama melakukan penelitian lapangan bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil di Jayapura dan menjadi relawan pengungsi internal di Wamena, terdapat sepuluh aparat keamanan, baik tentara maupun polisi yang menjadi korban penembakan KKSB sejak Januari sampai Agustus 2019. Ditambah lagi sejumlah masyarakat sipil di Nduga (Desember 2018-Juli 2019) dan seorang pemuda di Asmat (Mei 2019), yang diduga ditembak oleh pihak aparat keamanan.
Kerangka kebijakan Otonomi Khusus (otsus) yang diberlakukan sejak tahun 2002 ternyata tidak membawa dampak signifikan terhadap persoalan politik dan keamanan di Papua. Hal ini dikarenakan otsus hanya didasarkan pada konsesi politik sepihak, bukan negosiasi politik (Chauval, 2002; McGibbon, 2004) yang menyeluruh antara pemerintah pusat dan seluruh komponen masyarakat Papua, khususnya yang menyuarakan aspirasi politik, baik kelompok gerilyawan bersenjata maupun kelompok yang menggunakan jalur non-kekerasan.
Pemahaman utama otsus hanya terbatas pada sejumlah besar uang yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua dan Papua Barat untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, Namun, otsus tidak memberikan kewenangan substantif terkait perlindungan masyarakat asli Papua dan dinilai gagal dalam menyelesaikan sejumlah persoalan lain, seperti keamanan.
Penyelesaian konflik
Dibutuhkan terobosan dan komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikan siklus kekerasan di Bumi Cendrawasih. Terdapat tiga hal yang bisa dijadikan pertimbangan. Pertama, konflik di Papua bukan hanya terkait tindakan kriminal murni seperti yang selalu diberitakan. Terdapat motif politik terkait aspirasi kemerdekaan.
Terminologi yang dipakai pihak TNI, yakni kelompok kriminal separatis bersenjata, jelas bernuansa politis. Hal ini perlu diselesaikan dengan bukan dengan moncong senjata atau operasi gabungan, namun keterbukaan semua pihak yang berkonflik untuk berdialog secara konstruktif.
Kedua, evaluasi kebijakan keamanan menyeluruh di seluruh wilayah Papua. Keberadaan sejumlah komando teritorial, pangkalan laut, dan pangkalan udara bukan merupakan solusi persoalan siklus kekerasan di Papua. Keberadaan ribuan aparat keamanan justru menjadi salah satu sumber trauma mendalam bagi masyarakat asli Papua, khususnya yang mendiami wilayah pegunungan tengah.
Trauma kolektif masyarakat yang sejauh ini tidak pernah disembuhkan, justru memunculkan ketakutan bahkan dendam komunal terhadap keberadaan aparat keamanan. Penolakan bantuan yang didistribusikan oleh pihak aparat dan Kementerian Sosial oleh para pengungsi internal di Wamena, menjadi bukti trauma mendalam tersebut.
Pelibatan kelompok masyarakat sipil, khususnya gereja, menjadi salah satu solusi praktis dalam penyelesaian konflik bersenjata maupun masalah kemanusiaan Nduga. Dalam sejarahnya, ikatan kultural dan emosional masyarakat asli Papua dengan pihak gereja sangat kuat. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan lebih memercayai pimpinan gereja dibandingkan pemimpin formal dalam upaya penyelesaian konflik maupun masalah kemanusiaan yang ada di Papua.
Ketiga, pemantauan secara ketat distribusi ilegal amunisi dan senjata, khususnya Wamena dan Timika sebagai titik penghubung ke basis-basis KKSB di wilayah pegunungan tengah. Tertangkapnya tiga oknum aparat TNI di Sorong dan Makassar merupakan refleksi gagalnya pengawasan dan pengaturan ketersediaan amunisi di kalangan aparat baik TNI maupun Polri.
Meninggalnya sejumlah aparat keamanan di atas, merupakan gambaran bebasnya distribusi ilegal amunisi kepada sejumlah kelompok bersenjata di Papua yang sangat berakibat fatal. Tidak adanya aturan hukum nasional yang secara spesifik mengontrol jalur persediaan, distribusi dan pemakaian amunisi akan terus berdampak pada jatuhnya korban-korban manusia kedepan.
Siklus kekerasan berupa konflik bersenjata dan penembakan yang tak henti di Papua perlu dilihat sebagai introspeksi penyelesaian masalah politik dan keamanan di Papua. Sejumlah demonstrasi dan kerusuhan di berbagai daerah di Papua dalam dua minggu terakhir semakin menunjukkan perlunya terobosan-terobosan baru selain pendekatan kesejahteraan dan keamanan yang sering kali kontraproduktif dengan kebutuhan riil masyarakat asli Papua. Sejumlah hal di atas bisa dijadikan pertimbangan terkait solusi penyelesaian siklus kekerasan yang terus berulang di tanah Papua.
(Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge ; Peneliti Marthinus Academy-Jakarta, sedang melakukan penelitian lapangan di Papua)