Demonstrasi masyarakat asli Papua yang berlangsung selama dua minggu pada bulan Agustus lalu di sejumlah wilayah, baik di pesisir, lembah, maupun pegunungan, menjadi protes terbesar dalam sejarah Papua sejak menjadi bagian dari Indonesia.
Gelombang demonstrasi ini tidak hanya meluas, tetapi juga berdampak pada kerusuhan yang merenggut nyawa manusia dan kerusakan sejumlah fasilitas publik di Papua dan Papua Barat. Demonstrasi ini dipicu oleh tindakan rasisme sejumlah kelompok masyarakat, aparat keamanan, dan individu terhadap mahasiswa-mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya pada 16-18 Agustus 2019.
Akibatnya, ratusan mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di luar Papua memutuskan untuk kembali ke Papua karena merasa khawatir sekaligus memperlihatkan solidaritas atas peristiwa diskriminasi tersebut (CNN, 8/9/2019).
Tiga opsi
Rangkaian kejadian ini menyisakan sejumlah pertanyaan, terutama tentang apa solusi atas konflik berkepanjangan antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat. Ada tiga mekanisme yang diajukan: referendum, dialog, dan revisi Otonomi Khusus (Otsus) 2001.
Referendum adalah mekanisme yang paling sering disuarakan masyarakat asli Papua dalam demonstrasi mereka di Manokwari, Fakfak, Sorong, Jayapura, Deiyai, dan Timika. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 terkait pembentukan provinsi otonom Irian Barat dan kabupaten-kabupaten otonom di Provinsi Irian Barat yang dibentuk berdasarkan Resolusi 2504 Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan referendum yang masih dipertentangkan sampai hari ini oleh orang asli Papua (OAP).
Sejauh ini, peraturan nasional Indonesia yang berlaku tidak memberikan ruang bagi mekanisme ini. Referendum dipandang akan mengancam kedaulatan negara yang berdasarkan pada keutuhan wilayah negara ini, walaupun konsep kedaulatan tersebut sering kali memberangus hak-hak asasi manusia di Papua.
Dialog adalah mekanisme yang diajukan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang dimotori Jaringan Damai Papua (JDP) dengan almarhum Muridan Widjojo dan almarhum Neles Tebay sebagai dua tokoh utama.
Inisiatif yang dimulai pasca-Orde Baru ini menitikberatkan pada perdamaian di tanah Papua dan berusaha memfasilitasi sejumlah perbedaan yang ada di tengah masyarakat Papua dan pemerintah pusat di Jakarta, dalam bentuk dialog bermartabat dan konstruktif demi mencari solusi bersama penyelesaian sejumlah masalah di Papua.
Meski demikian, sejumlah kelompok masyarakat sipil lain, seperti Komite Nasional Papua Barat dan Aliansi Mahasiswa Papua, menilai bahwa dialog menjadi hambatan karena masih melibatkan Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan dengan kepentingan eksploitasi dan kebijakan represif yang justru semakin mempersulit kehidupan masyarakat Papua.
Patut diingat, kelompok pemuda dan mahasiswa Papua merupakan garda terdepan dalam menyuarakan sejumlah ketidakadilan di Papua. Karena itu, komunikasi yang merangkul dan pendekatan persuasif terhadap organisasi-organisasi tersebut menjadi penting guna meredam protes-protes mereka di masa depan.
Revisi otsus jadi pilihan terakhir untuk mengatasi sejumlah persoalan di Papua. Otsus Plus pernah disampaikan pemerintah daerah Papua untuk mengganti Otsus 2001 yang cenderung dipahami sebatas pemberian triliunan rupiah uang, tetapi gagal menyelesaikan masalah substansial OAP.
Tak menjawab persoalan
Namun, laporan Institute for Policy and Analysis of Conflict 2013 justru menjelaskan sejumlah kelemahan rancangan Otsus Plus yang pernah diajukan kedua gubernur Papua. Salah satunya adalah, Otsus Plus merupakan produk elite lokal dan bukan berdasarkan aspirasi masyarakat akar rumput.
Revisi Otsus 2001 perlu memperhatikan bukan hanya pemberian kewenangan substansial kepada pemerintah daerah, melainkan juga terakomodasinya sejumlah aspirasi OAP dalam revisi tersebut, tanpa memberikan ruang eksploitasi kepentingan sejumlah pejabat daerah di Papua dalam kerangka Otsus 2001, seperti yang terjadi dewasa ini.
Lebih dari itu, usulan pemekaran wilayah dan pembangunan istana negara di Jayapura yang dihasilkan dari pertemuan Jokowi dengan 61 ”tokoh” Papua dan Papua Barat pada 10 September lalu tidak menjawab persoalan krusial Papua mengenai diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami masyarakat asli Papua.
Tidak mengherankan jika konsep revisi otsus dan sejumlah rekomendasi komunitas Papua beberapa hari lalu yang terkesan elitis tersebut tidak mendapatkan dukungan luas masyarakat asli Papua.
Melihat tidak dimungkinkannya pelaksanaan referendum dan tidak populernya konsep revisi otsus atau Otsus Plus di Papua, dialog menjadi mekanisme utama penyelesaian sejumlah persoalan di Papua.
Ada dua hal utama yang patut dipertimbangkan sebelum pelaksanaan dialog di antara pihak-pihak yang berkonflik. Pertama, terkait dengan sumber ketidakpuasan masyarakat asli Papua; dan kedua, tentang prakondisi politik dan sosial yang mendorong atau menghambat terlaksananya mekanisme tersebut.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papuan Road Map telah mengidentifikasi empat akar masalah di Papua, yaitu persoalan sejarah masuknya dan status Papua dalam wilayah Indonesia, hak asasi manusia, diskriminasi dan marginalisasi OAP, serta gagalnya pembangunan dan otsus.
Rekomendasi penyelesaian sejumlah masalah itu adalah dialog yang konstruktif dengan melibatkan sejumlah pihak, termasuk kelompok masyarakat Papua yang memiliki aspirasi politik yang berbeda dengan Pemerintah Indonesia.
Berangkat dari kasus rasialisme yang terjadi bulan lalu, apakah sejumlah upaya penyelesaian yang telah dilakukan pemerintah bisa mendukung terciptanya perdamaian di Papua?
Perspektif penyelesaian hukum dan keamanan terkait persoalan-persoalan di Papua sejauh ini justru kontraproduktif dan semakin mempertajam perbedaan pandangan masyarakat asli Papua dan Jakarta. Penangkapan sejumlah pemuda dan aktivis Papua, pemblokiran internet, serta kemunculan isu baru, seperti kelompok radikal di Papua dan tuduhan keterlibatan asing, justru akan membuka titik perbedaan baru dan semakin memperkeruh proses penyelesaian masalah Papua.
Selain itu, pendekatan kesejahteraan masih cenderung menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak warga negara, bukan pada perlindungan hak asasi manusia Papua selaku bagian dari negara ini. Hak warga negara harus diberikan dan difasilitasi negara dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan masyarakat Papua di berbagai bidang, khususnya pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Hak asasi manusia, di lain pihak, harus dilindungi oleh negara. Sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi, khususnya Wasior tahun 2001, Wamena tahun 2003, dan Paniai tahun 2014, belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sampai hari ini.
Di sisi lain, sejumlah 45.532 penduduk Nduga sudah mengungsi akibat konflik bersenjata di Nduga sejak Desember 2018. Sebanyak 184 di antaranya tercatat meninggal sampai Agustus 2019, khususnya yang mengungsi di Wamena.
Pemerintah pusat cenderung menekankan kesejahteraan melalui pembangunan infrastruktur serta kunjungan rutin ke Papua. Apa yang terjadi di Papua memperlihatkan bahwa kedua kebijakan itu tak serta-merta berdampak pada loyalitas politik yang kuat dan kepercayaan yang tinggi masyarakat asli Papua kepada pemerintah pusat.
Kondisi politik dan sosial yang ada sejauh ini masih cenderung menghambat proses penyelesaian sejumlah masalah krusial, khususnya HAM, di Papua. Laporan-laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International menunjukkan bahwa karakter impunitas aparat keamanan yang melanggar HAM di Papua masih cukup kuat.
Bahkan, dalam peristiwa pembunuhan masyarakat asli Papua di Deiyai tahun 2017, penyelesaian kasus diakhiri dengan permintaan maaf dari aparat kepolisian terhadap keluarga korban. Hal tersebut bukan hanya mempertegas karakter impunitas penyelesaian kasus HAM di Papua, melainkan juga memperkuat ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada negara.
Penambahan ribuan personel pasukan keamanan di Papua juga perlu dicermati. Pemulihan keamanan perlu diikuti dengan pemahaman psikologis masyarakat asli Papua yang trauma dengan kehadiran aparat sejak dulu. Ingatan kolektif kekerasan negara yang terjadi sejak dulu kembali muncul setelah hadirnya keberadaan personel keamanan tersebut.
Trauma tersebut justru mendorong masyarakat Papua untuk melakukan aksi protes, seperti yang disuarakan sejumlah kelompok masyarakat di Papua dan di luar Papua. Perlu perhitungan yang bijak terkait urgensi stabilitas keamanan dan kondisi psikologis masyarakat yang ada di daerah konflik di Papua.
Inisiatif masyarakat sipil
Di saat yang sama, inisiatif-inisiatif kelompok masyarakat sipil dalam menangani persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat di Papua menjadi prakondisi yang mendukung terciptanya perdamaian di Papua. Inisiatif masyarakat sipil untuk membantu penyelesaian kasus diskriminasi dan intimidasi pasca-demonstrasi menjadi langkah positif di tengah proses hukum yang dinilai berjalan lambat.
Koalisi masyarakat sipil di Jayapura membentuk Posko Pengaduan masyarakat ”Papua untuk Semua” guna merespons laporan-laporan masyarakat tentang korban masyarakat sipil akibat kerusuhan di Jayapura dan Deiyai yang menewaskan sedikitnya sembilan warga masyarakat asli Papua.
Kelompok masyarakat sipil di Jakarta membentuk tiga gugus tugas untuk merespons situasi terkini, yaitu gugus investigasi dan pendataan, gugus kampanye, dan gugus pendampingan hukum. Kepercayaan masyarakat Papua akan perlahan terbangun jika inisiatif-inisiatif masyarakat sipil ini juga mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah.
Diperlukan keberanian dari sejumlah pihak, khususnya pemerintah pusat, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua tidak hanya dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan, tetapi juga pemahaman kultural yang baik. Rekonsiliasi simbolik dalam acara Bakar Batu di Jayapura, di tengah sejumlah penangkapan, intimidasi, teror, dan penyisiran yang masih dialami masyarakat asli Papua justru menunjukkan tidak terdapatnya mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan terukur.
Negara perlu menciptakan kondisi-kondisi yang adil dan terobosan-terobosan politik yang cerdas untuk membangun kepercayaan masyarakat asli Papua agar semangat rekonsiliasi berdampak positif pada penyelesaian konflik Papua di masa yang akan datang.
(Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge ; Peneliti Marthinus Academy Jakarta, melakukan penelitian lapangan di Papua)