Beberapa hari belakangan ini, saya melihat beberapa unggahan video yang menayangkan KDRT di media sosial. Seorang ayah menyuruh anak laki-lakinya merekam saat ia memukuli anak perempuannya yang masih kecil. Dalam tayangan video yang lain, seorang suami memberi bogem mentah kepada istrinya yang sedang menggendong anaknya.
Buta
Tentu setelah melihat tayangan menyayat hati, saya mulai berpikir. Mengapa hubungan toksik seperti itu dipertahankan, bahkan sampai memiliki anak? Saya ini tak pernah pacaran. Saya hanya sampai kepada tahap bergaul dengan banyak orang. Dalam pergaulan itu saya melihat sifat-sifat mereka.
Ada teman yang doyannya cuma janji mau mengajak makan sampai hari ini tak pernah kejadian. Ada teman yang kalau diajak makan tak pernah membayar. Ada teman yang egoisnya setengah mati. Ada teman yang baiknya setengah mati. Ada teman yang memang tak pernah ingin bertemu dengan saya dengan mengajukan sejuta alasan.
Ada teman yang cepat sekali mengatakan mau, tetapi menjadi orang pertama yang membatalkan maunya itu. Ada teman yang kikirnya setengah mati. Ada yang mudah sekali tersinggung. Ada yang sangat dominan dan menguasai pembicaraan, bahkan selalu menjadi penentu menu yang ingin disantap. Ada yang bawel dan berisiknya tiada tara.
Maka, saya heran, masakan orang pacaran tak bisa melihat dan merasakan sifat dan kebiasaan kekasih hatinya? Teman saya mengatakan bahwa mereka yang pacaran bisa merasakan dan melihat sifat dan kebiasaan pasangannya.
Mereka tahu bahwa pasangannya cepat marah, cepat kesal, suka mengatur, suka melarang, suka pinjam uang, suka menggunakan narkoba, yang mau bunuh diri kalau berantem, yang rapi sekali, yang jorok sekali, yang royal, yang jarang mandi, yang senangnya berselingkuh, yang senangnya minta maaf, tapi mengulang kesalahan berkali-kali.
Menurut teman saya itu, mengapa hubungan toksik itu berlanjut sampai ke jenjang pernikahan dan sampai mempunyai anak, karena salah satu pasangan berpikir bahwa sifat buruk itu akan hilang kalau sudah menikah, hilang kalau nanti punya anak.
Jadi, mereka berharap hubungan toksik itu akan menjadi tidak toksik lagi. Harapan yang dihasilkan dari sebuah mata hati yang buta. Saya sedih sekali ketika orang menjadi ”buta” pada masa pacaran dan masuk ke jenjang pernikahan dengan kebutaannya itu. Saya pernah mengalami kebutaan itu di masa tergila-gila kepada seseorang.
Tidak buta
Waktu itu saya jatuh cinta karena saya buta. Sekarang ketika saya melek dengan benar, saya bersyukur saya tak memiliki pasangan seperti dia. Semenjak pernah buta dan sekarang bisa melihat dengan jelas, hal pertama yang saya evaluasi adalah diri saya sendiri.
Hasil evaluasi itu sungguh menolong saya saat ada manusia yang datang lagi dalam perjalanan hidup saya selanjutnya. Evaluasi itu adalah melihat diri saya secara jujur. Dulu waktu saya buta, saya jatuh cinta karena saya kesepian. Dengan rasa kesepian itu saya mudah tertipu dengan rayuan. Dan kalaupun saya tahu saya ditipu, saya rela. Saya berpikir mending ditipu, tapi berdua.
Di luar semua itu, saya juga orang yang cemburu dan mempunyai isu tak bisa memercayai orang lain. Bahkan sampai sekarang, kalau saya melihat manusia berpasangan, saya tak pernah memercayai apakah mereka itu benar masih saling mencintai. Saya selalu mempertanyakan apakah ketika mereka bercinta, mereka membayangkan orang lain.
Dan bagi mereka yang sudah memiliki anak, acap kali saya mendengar bahwa mereka mengatakan, sekarang ini, cinta kepada anak-anak adalah segalanya. Saya jadi bertanya apakah itu sama artinya dengan mengatakan secara tidak langsung cinta kepada pasangannya sudah luntur, dan anak dipakai sebagai gantinya? Saya sungguh tak tahu. Tetapi, ya… itulah saya. Selalu tak pernah bisa percaya.
Dengan hasil evaluasi itu saya tak berniat membangun sebuah hubungan dengan sifat-sifat saya yang seperti itu. Pengalaman menjadi buta justru memberi saya kekuatan untuk tidak lagi memiliki keterikatan kepada perasaan, tetapi kepada pemikiran yang jernih.
Karena itu, ketika ada manusia yang datang untuk menawarkan sebuah proposal untuk pacaran beberapa bulan lalu, saya mampu melihat proposal mereka dengan tenang dan jernih. Saya tak melihat proposal itu dengan mata yang buta sehingga dengan demikian saya tak membeli kucing dalam karung.
Bisa jadi, saya ini selalu punya isu tak percaya kepada orang lain, karena selama ini saya membeli kucing dalam karung, karena keterikatan pada perasaan yang sangat mendalam dan bukan pada pemikiran yang jernih.
Sekarang saya baru merasakan bahwa berpikir jernih merupakan cara saya menemukan diri saya kembali, cara saya melindungi diri dari tersakiti oleh diri sendiri dan oleh orang lain. Berpikir jernih itu seperti hendak berperang dengan strategi yang dibuat dengan matang. Bukan pada saat berperang baru menyadari bahwa saya menggunakan strategi yang dibuat dengan kebutaan nurani.
Tiba-tiba saya jadi teringat pada kalimat dalam lagu ”Amazing Grace” yang terkenal itu. I once was lost, but now am found. I was blind, but now I see. ***