Manusia di abad ke-21 merayakan berlimpahnya data. Kemajuan teknologi informasi dan bioteknologi membuat produksi data terjadi setiap detik. Ini membuat keberadaan data terpadu menjadi penting terkait kebutuhan sinergi antarlembaga untuk mewujudkan pembangunan sumber daya manusia.
Selain yang dihasilkan dari aktivitas apa pun oleh manusia di jejaring virtual, data biometrik menyusul kemajuan ilmu bioteknologi juga relatif melimpah. Sidik jari, wajah, suara, detak jantung, mata, bahkan kode DNA. Sebagian kita memberikan data biometrik itu lewat pemindai saat membuka kunci telepon genggam, laptop, menggunakan jam pintar untuk berolahraga yang memantau denyut nadi atau detak jantung, hingga berpartisipasi dalam program pelacakan nenek moyang secara daring menggunakan data DNA.
Berlimpahnya data adalah satu hal. Menganalisis dan mengartikulasikannya untuk berbagai macam kebutuhan, termasuk untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan, merupakan hal lain yang sama sekali berbeda.
Misalnya, di bidang kesehatan, relatif berlimpahnya data biometrik yang dipadukan dengan algoritma tertentu akan melahirkan metode pengobatan presisi (precision medicine). Sifatnya sangat personal sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.
Gameiro, Sinkunas, Liguori, Auler-Júnior dalan jurnal Clinics Volume 73 (2018) menulis bahwa precision medicine adalah cara berpikir baru mengenai pengobatan. Transisi harus dilakukan dari model pengobatan secara tradisional yang reaktif berbasis gejala dan pengobatan menuju sistem yang menargetkan penanganan penyakit sebelum terjadi. Jika pencegahan tidak berhasil sekalipun dan penyakit tetap terjadi, pengobatan presisi dilakukan dengan metode yang dipersonalisasi berdasarkan perbedaan gen, gaya hidup, dan lingkungan seseorang alih-alih pendekatan ”satu ukuran untuk semua”.
Implementasi studi genomik memungkinkan upaya penyembuhan tertarget berbasis informasi DNA dengan obat-obatan dan metode pengobatan yang terpersonalisasi bisa dilakukan. Dengan kata lain, praktik pengobatan presisi dalam perawatan kesehatan berbasis data raksasa (big data) tentang manusia yang boleh jadi memerlukan biaya tertentu untuk investasi awal, tetapi berbuah manis karena efisiensi sangat tinggi terhadap anggaran kesehatan suatu negara.
Sebagian hal tersebut telah disadari pemerintah. Salah satu wujudnya adalah dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada 12 Juni lalu. Sekalipun memang, dalam perpres tersebut tidak secara khusus disebut mengenai data biometrik. Juga tidak ada kata ”kesehatan”, ”sehat”, ”genetik”, dan sebagainya dipergunakan dalam perpres itu.
Merujuk pada perpres tersebut, Satu Data Indonesia merupakan kebijakan tata kelola data pemerintah guna menghasilkan data akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, mudah diakses dan dibagipakaikan antar-instansi pusat dan daerah lewat pemenuhan standar data, metadata (informasi dalam struktur dan format baku untuk menggambarkan data), interoperabilitas data (kemampuan data untuk dibagipakaikan), serta menggunakan kode referensi dan data induk.
Satu Data Indonesia terkait dengan sejumlah jenis data. Hal tersebut antara lain data statistik yang terkait ciri khusus suatu populasi, data geospasial yang terkait lokasi geografis, dan data keuangan negara tingkat pusat. Bagian lain dalam perpres tersebut yang juga penting diperhatikan adalah keberadaan walidata dengan tugas mengumpulkan, memeriksa, dan mengelola data dari produsen data serta menyebarluaskan data. Dibedakan pula produsen data, yakni unit instansi pusat dan daerah serta pengguna data yang terdiri atas instansi pusat, daerah, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum.
Satu Data Indonesia akan dilaksanakan dengan koordinasi oleh dewan pengarah. Dewan pengarah terdiri atas menteri urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri urusan pendayagunaan aparatur negara, menteri bidang komunikasi dan informatika, menteri pemerintahan dalam negeri, menteri bidang keuangan, kepala badan di bidang kegiatan statistik, dan kepala badan di bidang informasi geospasial.
Pembangunan manusia
Terkait dengan hal tersebut, pada Rabu (21/8/2019) lalu diselenggarakan diskusi panel terbatas pakar kependudukan yang diadakan Harian Kompas dan Koalisi Kependudukan Indonesia di Menara Kompas, Jakarta. Diskusi tersebut mengambil tema “Pembangunan Manusia Indonesia ke Depan dengan Dukungan Satu Data Kependudukan.”
Perkembangan di sejumlah negara maju dengan diandalkannya registrasi penduduk alih-alih sensus penduduk turut dibahas dalam kesempatan tersebut. Di negara maju dengan registrasi penduduk yang telah bagus, manusia bisa dilacak hingga identitas khusus asal-usul leluhurnya. Selain itu, dapat pula dideteksi kemungkinannya untuk berpeluang terkena penyakit tertentu berdasarkan rekam medis penyakit serupa yang dialami salah seorang anggota keluarga.
Meskipun demikian, Indonesia masih perlu melakukan sensus penduduk, terutama dalam kaitannya dengan tidak semua data yang dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan di Indonesia dapat ditangkap dengan baik oleh data registrasi penduduk. Misalnya, data mengenai fertilitas, mortalitas, dan seterusnya.
Indonesia, lewat Badan Pusat Statistik (BPS), akan melakukan sensus penduduk pada 2020. Ini kali ketujuh Indonesia melakukan sensus setelah pertama kali diselenggarakan pada 1960. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Resolusi PBB 2020 tentang World Population and Housing Programme, dan Perpres Nomor 39/2019 tentang Satu Data Indonesia menjadi dasar hukumnya.
Sensus penduduk merupakan salah satu instrumen penting untuk mengetahui keadaan penduduk atau sumber daya manusia pada suatu waktu. Hal tersebut juga penting dilakukan agar kebijakan pembangunan yang dihasilkan bisa tepat guna karena didasarkan pada data akurat terbaru.
Pada 2020, Sensus penduduk ke-7 itu akan menggunakan data administrasi kependudukan dari Ditjen Dukcapil sebagai basis data dasar. Lantas dilengkapi pada sensus penduduk 2020. Ini merupakan pertama kalinya sensus penduduk di Indonesia dilakukan dengan memanfaatkan data registrasi penduduk sebagai langkah awal mewujudkan satu data kependudukan Indonesia.
Registrasi penduduk untuk bisa menangkap dengan baik data kependudukan yang dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan di Indonesia diperkirakan baru akan terjadi pada 2030. Ini dengan prasyarat, data BPS bisa digabungkan dengan data Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Ditjen Dukcapil), dan lantas dikelola dengan ideal.
Jika itu terjadi, Indonesia tidak lagi memerlukan sensus penduduk secara komplet, melainkan cukup dengan registrasi. Untuk sejumlah kebutuhan khusus, misalnya guna informasi detail peserta program keluarga berencana dan atau kualitas pendidikan, dan sebagainya, cukup diambil sampel dengan metode statistik tertentu.
Konsep satu data kependudukan ideal seperti itu akan menguntungkan semua pihak. Efisien dari sisi tenaga, waktu, biaya, dan lain sebagainya.
Ini menyusul kunci utama perencanaan di segala bidang yang adalah satu data kependudukan. Perencanaan pembangunan terkait ketahanan pangan, kesehatan, ketersediaan perumahan, dan semua terkait dalam satu data kependudukan.
Gambarannya adalah, data Ditjen Dukcapil bisa dikaitkan dengan data mengenai kemiskinan, ketimpangan, dan sebagainya. Ini dimungkinkan mengingat nantinya sampel data milik BPS juga akan memiliki NIK (nomor induk kependudukan).
Sejumlah kendala
Oleh karena itulah, satu data kependudukan dengan penggunaan NIK sama yang dikelola dan diperbaharui secara terus menerus perlu dipikirkan pemanfaatan dan integrasinya. Sayangnya, sejauh ini hal tersebut memang belum didiskusikan mendetail, melainkan lebih ingin dilaksanakan terlebih dahulu.
Hal lain yang juga relatif masih menjadi tantangan adalah jumlah penduduk antar provinsi di BPS yang perbedaannya cukup tajam dengan data milik Dukcapil. Hal itu karena adanya perbedaan konsep de factodan de jure dalam isu kependudukan yang merujuk pada keberadaan penduduk secara faktual di suatu tempat dan secara administratif. Keberadaan satu data kependudukan yang bisa menunjukkan di mana data de facto dan di mana data de jure, oleh karena itu, menjadi sangat dibutuhkan.
Pada titik itulah, satu data kependudukan menemukan salah satu tantangannya. Konteks berbeda dalam pengumpulan data kependudukan itu, mestinya  tidak terjadi dalam perencanaan pembangunan secara keseluruhan.
Diperlukan adanya formulasi terkait hal tersebut menjelang diselenggarakannya Sensus Penduduk 2020. Satu data kependudukan yang belum didefinisikan dengan baik, harus segera diselesaikan.
Selain itu, penting juga untuk mengurangi ego kelembagaan dan segera menyepakati serta menentukan siapa pemegang walidata terkait satu data kependudukan. Ini sebagaimana diamanahkan pula dalam Perpres Nomor 39/2019.
Hal lain yang tidak kalah penting ialah memastikan adanya perubahan pola pikir di tingkatan aparatur pelaksana dan masyarakat terkait praktik satu data kependudukan. Perilaku aparat dan masyarakat, menjadi tantangan tersendiri yang harus diacuhkan.
Setelah itu dilakukan, sinergitas dan keberlanjutan satu data kependudukan juga harus dijamin. Maka, sistem yang baik menjadi penting, untuk memastikan konsep dan praktik satu data kependudukan tidak tergantung dan tidak ditentukan pejabat yang tengah berkuasa.
Upaya untuk mewujudkan sinergitas sebagaimana kondisi ideal yang diharapkan dalam satu data kependudukan telah juga didorong pemerintah lewat Perpres Nomor 39/2019 tentang Satu Data Indonesia. Sinergi itu terhubung dengan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Hal ini menyusul konsep keterpaduan yang membutuhkan koordinasi, dan ternyata relatif tidak mudah untuk dilakukan di Indonesia. Koordinasi bahkan bisa disebut sebagai suatu hal yang ”paling mahal” di Indonesia.  Tantangan hari ini adalah bagaimana menggabungkan semua potensi yang ada untuk membuat sebuah rencana pembangunan yang ideal. Tidak parsial.
Kebutuhan pada data yang akurat, mutakhir, dan terpadu menjadi sangat besar, bahkan sangat menentukan, karena akan sangat memengaruhi berjalan atau tidak berjalannya perencanaan.
Nomor identitas tunggal
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan data tunggal dalam kaitannya dengan konsep kependudukan, tengah dalam proses diwujudkan. Indonesia sedang menuju era single identity number (nomor identitas tunggal). Masa di mana data kependudukan diimplementasikan untuk semua keperluan.
Pergeseran paradigma terkait hal itu terjadi mulai 2014. Ini dimulai dengan dipergunakannya data kependudukan untuk pelayanan publik, alokasi anggaran, perencanaan pembangunan, demokratisasi, dan penegakan hukum. Akses data kependudukan dalam konteks tersebut, dipergunakan untuk pembuatan surat izin mengemudi, pembuatan berbagai izin, pembukaan rekening bank, pencocokan data nasabah dengan data penduduk, kebutuhan Bappenas, dan Bappeda.
Selain itu, untuk merencanakan pembangunan terkait jumlah penduduk usia tertentu dan tingkat pendidikan tertentu yang dimiliki penduduk, pembagian DAU (dana alokasi umum), DAK (dana alokasi khusus), alokasi dana desa, dan kepentingan penyelenggaraan pemilu.
Di bidang keamanan dan pertahanan serta penegakan hukum, data kependudukan dipergunakan TNI/Polri yang dipadukan dengan teknologi pengenalan wajah (face recognition). Ini dilakukan untuk mendeteksi dan mencari orang-orang yang diduga melakukan tindak kejahatan. Metode itu sudah dipakai TNI/Polri dalam pengamanan perhelatan Asian Games 2018.
Hingga kini tercatat sudah ada 1.227 lembaga yang bekerja sama dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil guna mengakses dan memverifikasi data. Dalam hal ini bukan data kependudukan yang diberikan, akan tetapi akses untuk melakukan verifikasi.
Penunggalan data kependudukan juga dilakukan lewat penggunaan KTP elektronik. Praktik ini memungkinkan penyisiran dan penghapusan data ganda atau bahkan beberapa data ganda yang dimiliki seorang penduduk.
Upaya boleh jadi bisa menurunkan angka kemiskinan. Pasalnya, ada kemungkinan sebagian penduduk dengan kategori miskin pada masa lalu dengan identitas kependudukan ganda, saat ini terus disigi datanya dan ditetapkan hanya memiliki satu identitas kependudukan tunggal.
Kunci pertama untuk memastikan identitas kependudukan tunggal ialah dengan NIK. Kunci kedua adalah dengan keberadaan KTP elektronik.
Identitas tunggal yang diintegrasikan dalam sebuah sistem ideal satu data kependudukan merupakan alat berisikan berbagai parameter dan indikator yang bisa mengukur tingkat keunggulan sumber daya manusia Indonesia. Perencanaan pembangunan, dengan demikian diharapkan bisa diimplementasikan, diawasi, dan dievaluasi dengan baik.
Namun, sebagaimana layaknya sebuah sistem, satu data kependudukan membutuhkan pula sumber daya manusia untuk menjalankannya.  Dalam hal ini, kita berharap individu-individu dengan kualitas terbaik menjadi pelaksananya. Tidak bisa tidak. ***