Pertanyaan di atas relevan dengan situasi pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid V 2019-2024  yang tampak bermasalah atau memang dipermasalahkan oleh beberapa pegiat antikorupsi  dan wadah pegawai KPK. Kepatuhan warga bangsa pada hukum adalah harga mati, tetapi kepatuhan kepada kelompok orang  adalah soal tafsir dan pemahaman; itulah hukum alam yang seharusnya terjadi dalam kenyataan  kehidupan masyarakat kita saat ini.
Pergantian pimpinan KPK sebanyak empat kali sejak 2002 tidak segaduh seleksi calon pimpinan KPK jilid V; mungkin akibat pengaruh pesta politik yang baru berakhir atau mungkin juga karena pengaruh pandangan hidup bangsa yang tengah dikoyak-koyak segelintir orang yang memang bermasalah dengan NKRI.
KPK selama hampir 17 tahun telah dijadikan ikon pemberantasan korupsi dengan asumsi sejak awal pembentukannya dipandang sebagai lembaga negara independen yang sangat ditakuti pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Boleh dikatakan lembaga superbody yang imun terhadap kekuasaan.
Dalam sepak terjang KPK tentu manusiawi jika pendapat Lord Acton, ”power tend to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely”, juga terjadi pada lembaga ini.
Tak perlu dirisaukan juga asalkan integritas pimpinan KPK dan pegawai KPK dapat dijadikan  jaminan kesetiaan pada hukum dan keadilan, termasuk integritas untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan maaf kepada publik seluas-luasnya, tidak terbatas pada konferensi pers dan memoles tanda-tanda keriput di wajahnya.
Dukungan masyarakat terhadap KPK, termasuk para tokoh masyarakat, semakin meluas dan tidak hilang sampai saat ini. Pada saat yang sama, langkah KPK, seberapa pun nilai keberhasilannya dan dampaknya terhadap keadaan ekonomi dan sosial, seharusnya tidak mengurangi atau memupus  cacat hukum dalam setiap gerak langkah KPK   dari ingatan publik, karena pimpinan dan pegawai KPK bukan malaikat dari langit untuk membereskan ketidakberesan keadaan penegakan hukum di tanah air tercinta.
Menjerumuskan
Kehadiran KPK sedianya merupakan ”trigger mechanism” terhadap dua lembaga konvensional—kejaksaan dan kepolisian—yang telah dibentuk sejak awal pembentukan Republik. Secara historis, jelas dua lembaga itu jauh lebih berpengalaman dalam mengusut tuntas kasus-kasus kejahatan, termasuk kejahatan kerah putih.
Soal keberhasilan, tidak ada yang mengetahui atau mengukurnya karena sejak kemerdekaan sampai saat ini tidak dimiliki parameter sukses penegakan hukum, kecuali ukuran kuantitas perkara yang dihasilkan setiap tahun, sekadar untuk menilai seberapa besar anggaran per tahun yang harus disediakan untuk operasional lembaga penegak hukum pada tahun berikutnya.
Tidak disadari bahwa penilaian tanpa parameter (threshold) terukur telah ”menjerumuskan” para pengambil kebijakan  dan pelaksana di lapangan dalam kesesatan pemahaman bahwa mereka harus ”berburu” sebanyak-banyaknya calon (korban) tersangka untuk dijebloskan ke penjara.
Kacamata positivisme hukum yang bercokol dalam pemikiran ahli hukum dan aparatur memicu kesesatan dalam pelaksanaannya.
Memang seharusnya demikian gerak langkah hukum yang idealis, berbeda jika ditarik pengalaman Kejaksaan Agung AS dan beberapa negara Eropa dengan pendekatan yang disebut Deferred Prosecution Agreement, dengan tujuan menarik manfaat terbesar bagi semuanya, bukan hanya mengejar syahwat pembalasan melalui pemiskinan semata-mata.
Idealisme vs pragmatisme
Tarik-tarikan mengenai siapa calon pimpinan yang terhebat untuk menduduki pimpinan KPK justru bukan pada siapa yang dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial terbaik bagi pembangunan nasional ke depan, tetapi tampaknya justru pada perebutan kekuasaan (kelompok) idealisme  dan pragmatisme  yang memiliki kesamaan tujuan, yaitu zero tolerance against corruption, dengan cara pendekatan yang berbeda.
Tarik-tarikan pemahaman dan gagasan itu tak keliru, tetapi tidak dengan tujuan berbeda dari tujuan awal pembentukan KPK dan misi yang terhormat untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu berhasil tanpa jemawa paling benar dan tanpa menodai nilai-nilai ketimuran yang penuh adab dan kesopanan.
Di sisi lain kiranya kita bersama-sama sebagai abdi bangsa yang besar  wajib merenungkan dan mengkaji ulang kembali pertanyaan mendasar, apakah KPK masih diperlukan untuk jangka panjang?  Kapan  pemikiran awal bahwa pembentukan KPK bersifat ad hoc berakhir, ataukah akan dipermanenkan dengan alasan dua institusi itu belum efektif? Tetapi, kapan efektifnya kedua institusi?
Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan jawaban yang tak perlu pasti, tetapi memberikan harapan nyata dan jaminan bahwa dengan atau tanpa KPK, Indonesia pasti makmur, adil, dan sejahtera. Dalam kenyataannya, kita saksikan bahwa penegakan hukum merupakan titik sentral dan poros terciptanya keadilan dalam segala bidang, baik ekonomi, sosial, politik, maupun keragaman budaya dan etnis.
Proses pembangunan fisik berlanjut sebagai bagian penting pembangunan nasional, termasuk pembiayaannya. Suap dan korupsi telah merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap celah dalam proyek pembangunan infrastruktur. Namun, korupsi dan suap bak air yang mengalir dari hulu ke hilir tiada henti  dan institusi penegak hukum, termasuk KPK, tiada henti menangguk air kotor yang mengalir deras.
Inti masalah tersebut adalah strategi pencegahan (preventif) yang gagal dilaksanakan KPK sekalipun UU KPK memerintahkannya dan alat kelengkapan institusi negara juga  seharusnya efektif, tetapi tiada tidak kabar beritanya hampir 17 tahun. Kegagalan ini semua tidak hanya kesalahan KPK, tetapi juga banyak program penindakan tidak dikaitkan dengan program pencegahan dan banyak program pencegahan kehilangan arah dan tujuan.
Jika memperhatikan kegaduhan dalam pemilihan calon pimpinan KPK saat ini, jelas tak ada tali-temalinya dengan masa depan KPK, baik atau buruk; melainkan pertarungan aspirasi dan kehormatan lembaga KPK di satu sisi dan kehormatan korps kepolisian yang dijadikan sasaran kritik pegiat antikorupsi, sedangkan para tokoh penabuh gendang  tak memihak ke mana, tetapi ada di mana-mana.
Dan yang celaka jika penonton telah terbius oleh opini sesat seolah institusi kepolisian sebagai institusi negara telah dianggap rusak luar dalam, sedangkan fakta tidak diungkap tuntas oleh KPK ke ruang publik bagaimana kegaduhan-kegaduhan ini hanya berdasar rumor dan ”katanya-katanya”.
Keteguhan Pansel KPK V patut diapresiasi karena kepatuhan terhadap UU KPK yang jadi dasar melangkah untuk memegang teguh kepercayaan Presiden Jokowi yang mengangkatnya.
Finalisasi pemilihan calon pimpinan KPK bukan akhir segalanya karena masih menunggu uji kelayakan dan kepatutan di DPR, dan ke sanalah seharusnya masukan-masukan tentang calon tersebut ditujukan, bukan kepada pansel ini.
(Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan)