Peringkat perguruan tinggi (PT) Indonesia di dunia saat ini menduduki posisi ratusan. Hal ini mendorong berbagai kajian tentang cara tercepat untuk mendongkrak peringkat ini ke puluhan, bahkan nomor satu dunia.
Dapatkah impian ini direalisasikan dengan kondisi dan lingkungan pendidikan dan penelitian di Indonesia saat ini, setidaknya dalam kurun lima tahun ke depan? Ada banyak cara paling ekstrem hingga cara yang semestinya dilakukan sebagai negara dan bangsa yang memikirkan bagaimana wajah ideal pendidikan dan penelitian kita.
Pertama, kita harus tahu latar belakang pemberian peringkat PT di dunia yang tak lepas dari suatu bisnis besar lembaga pemeringkatan dunia untuk menyedot dana sebesar-besarnya dari PT di dunia, ‘hanya’ dari mengumpulkan informasi PT dan membuat peringkat. Sehingga, PT di dunia harus menyediakan dana cukup besar untuk meladeni agar dapat menempatkan diri atas permintaan “pasar pemeringkatan” dunia ini, sementara banyak PT kita masih kembang kempis melakukan proses waras ajar (pendidikan) dan penelitian karena keterbatasan dana.
Bersamaan hal di atas, pemerintah mendorong PT dan institusi penelitian menghasilkan sesuatu yang dapat mendukung peningkatan produksi oleh industri yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, budaya, bangsa, dan negara, khususnya SDM unggul dan infrastruktur pendukungnya sebagai sasaran utama kabinet mendatang.
Hal ini sama dengan tujuan PT dan institusi penelitian di negara-negara besar dan maju, hanya bedanya industri di negara kita tak banyak yang punya litbang yang baik dan menjalankan fungsinya sesuai pembentukannya. Bahkan setiap penulis berkunjung ke litbang-litbang sipil dan militer hingga pelosok negeri ini, yang terdengar adalah kelakaran “sulit berkembang (litbang)”.
Ini beda dengan negara maju, di mana industri banyak permintaan, tetapi memberi dana ke institusi pendidikan dan penelitian. Istilahnya “mau beri mulut, tetapi harus beri uang”. Sedangkan industri di dalam negeri Indonesia “maunya beri mulut saja, tetapi tidak mau keluar uang”. Ini jelas tidak fair dan adil bagi para peneliti dan staf pengajar di Indonesia.
Kita harus membuat lingkungan penelitian dan industri yang saling dukung, dalam bentuk penyediaan SDM dan hasil penelitian yang unggul untuk meningkatkan kualitas dan jumlah produksi di industri, sehingga akhirnya keuntungan industri harus sebagian (besar) dikembalikan untuk penelitian produk-produk baru selanjutnya.
Tak beres
Ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini walau telah merdeka 74 tahun, tetapi jumlah dan mutu hasil keluaran penelitian dan pendidikan kita jalan di tempat, bahkan sudah terlewati oleh negara lain yang jelas merdeka lebih muda dari Indonesia. Bila dilihat dari populasi dunia dan tingkat kemajuan PT dan institusi penelitian kita, kita sudah ditendang jauh hari. Apakah kita akan tetap menjadi pemain cadangan saja di luar lapangan, atau malah hanya jadi penonton saja di kompetisi pendidikan dan penelitian dunia saat ini?
Kadang kasihan melihat kiprah peneliti dan staf pengajar Indonesia di dunia yang masih jauh dibanding negara-negara sekeliling kita. Kita negara besar dengan jumlah populasi yang sangat besar, tetapi pada di mana kontribusi mereka kepada dunia? Walau pemerintah sudah menggencarkan pengiriman dosen dan mahasiswa beberapa tahun ini, sepertinya antara pemerintah dan pelaku penelitian dan warah ajar belum mempunyai persepsi yang sama.
Kita semua punya tujuan bersama untuk memosisikan Indonesia nomor satu di dunia, pada saat pemerintah mempunyai tujuan meningkatkan mutu SDM dan lapangan kerja lewat penguatan industri, sedangkan institusi pendidikan dan penelitian menjadi pemangku tugas sebagai penyedia SDM berkualitas dan berbagai jenis ‘produk’ yang dapat dijual. Jujur saja, selama ini arah vektor pemerintah dan institusi pendidikan dan penelitian seakan beda dan saling tak mau tahu, sehingga pemerintah dan semua institusi tak mendapatkan target yang berimbas pada peningkatan peringkat kita di dunia.
Berdasarkan pengalaman penulis yang berkiprah di dunia penelitian dan pendidikan, khususnya bidang penginderaan jarak jauh (remote sensing), sehingga produk, hasil penelitian, dan SDM (mahasiswa dan peneliti bimbingannya) yang dihasilkan telah bekerja di berbagai lembaga ruang angkasa dunia (ESA, JAXA, KARI, NSPO, Lapan, dan lain-lain) dan perguruan tinggi dunia lainnya.
Agar kondisi penelitian dan pendidikan di Indonesia membaik secara paket hemat, ada beberapa usaha perubahan seperti di bawah ini.
“Frontier” bukan “follower”
Setiap kita melahirkan dan menciptakan sesuatu pasti punya tujuan, demikian juga institusi pendidikan dan peneliti. Kedua institusi ini pada hakikatnya harus jadi ujung tombak (frontier) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia yang bersumber dari kearifan (lokal maupun global) penemunya. Selama ini pemimpin bidang penelitian dan pendidikan kita sering mendengungkan istilah “mengejar ketertinggalan”. Ketertinggalan secara fisik tak masalah, tetapi saat kita menanamkan modal dan memulai suatu program untuk mengejar ketertinggalan itu, maka kita sudah tertinggal kembali dan hanya buang-buang dana saja, dan negeri yang kita cintai ini terus jadi pengikut (follower) institusi-institusi dunia lain.
Konsekuensi sebagai frontier, kita harus selalu berpikir hal-hal baru yang dapat bersumberkan dari cara pikir dan tata cara networking Indonesia yang original di dunia. Kita harus menciptakan hal-hal baru yang dapat dikontribusikan untuk Indonesia, Asia, hingga dunia. Pada saat hasil pemikiran dan produk kita dipakai di dunia, kita jadi frontier di situ.
Kebetulan penulis orang Jawa (Kartasura, Solo), hingga saat ini masih berusaha menjaga baik tata krama dan cara pikir Jawa dalam penelitian radar untuk pesawat, pesawat tanpa awak, hingga satelit di tingkat dunia, yang hasilnya telah dipakai beberapa lembaga ruang angkasa dunia, di mana orang asing menghargai pengejawantahan budaya Jawa dalam produk tingkat tinggi dunia.
Masih banyak sekali produk dan pemikiran daerah Indonesia yang ‘Only One’ yang dapat dikemas dan “dijual” sebagai produk tingkat tinggi dunia, dan jelas dapat menjadi sumber devisa negara, dan pendapatan ini dapat diputar kembali untuk penguatan SDM dan infrastruktur pendidikan, dan penelitian di masa depan Indonesia.
Peringkas sistem kepegawaian
Kita sadar sistem kepegawaian kita sangat rumit dibanding negara maju, berdasarkan pengalaman penulis sebagai PNS Indonesia dulu. Proses perekrutan panjang, rumit, melelahkan, dan hasil SDM terpilih belum tentu dapat bersaing di kancah dunia, khususnya peneliti dan staf pengajar. Dari pengamatan terhadap peneliti dan staf pengajar Indonesia yang akan melanjutkan ke Jepang untuk program Master dan Doktor sejak 2005, banyak calon mahasiswa yang kurang baik (siap) dibanding calon dari Asia Tenggara dan Asia Selatan, padahal mereka peneliti dan staf pengajar di institusi penelitian dan PT yang jelas hasil saringan sistem kepegawaian Indonesia.
Peneliti dan staf pengajar di PT dan lembaga penelitian, bagaikan otak atau lembaga think tank suatu negara, jadi harus benar-benar dibuat lingkungan persaingan yang cepat, jujur, bebas, bersih, dan berprestasi. Agar kita benar-benar dapat bibit peneliti dan staf pengajar yang baik, perlu dibangun sistem kepegawaian yang ringkas, bebas, transparansi, dan meluas.
Sistem saat ini jangankan mengangkat rektor asing, pengangkatan staf pengajar asing saja sangat sulit. Kita perlu menerapkan sistem pengangkatan dan sirkulasi (perpindahan) peneliti dan pengajar secara nasional yang lebih mudah antar lembaga penelitian dari/ke/antar PT, sehingga setiap orang mudah bersaing untuk jadi peneliti dan staf pengajar terbaik.
Kriteria dan persyaratan yang jelas, adil, dan transparan untuk perekrutan pegawai dengan tim penilai yang netral dari pihak administrasi, staf peneliti senior, staf ahli bidang serupa dari lembaga peneliti lain dan asosiasi bidang kajian kandidat dll. Sehingga, setiap PT dan lembaga penelitian dapat memperoleh peneliti dan staf pengajar terbaik untuk setiap lowongan, serta sirkulasi peneliti dan staf pengajar nasional yang cepat dapat kita realisasikan.
Bahkan kita dapat lakukan sistem bedol ‘desa’ atau transmigrasi internasional laboratorium untuk dapat hasil penelitian terkini dunia, dengan merekrut laboratorium lengkap dengan profesor, staf, dan mahasiswanya dibawa ke Indonesia. Ini cara paling cepat meningkatkan jumlah dan kualitas paper hasil dari Indonesia, dan paten bisa dimiliki institusi (negara) Indonesia.
Perkuat peran diaspora.
Pemerintah lewat Kemenristekdikti telah mengadakan berbagai program cendikia diaspora untuk menghubungkan PT di luar negeri asal diaspora dengan PT-PT di Indonesia. Skema pendanaan untuk kerja sama peneliti dalam negeri dengan para diaspora juga sudah mulai dirintis, dan sangat baik. Hal ini akan lebih cantik bila dihubungkan dengan litbang-litbang teknis di departemen hingga pemerintah daerah, agar mereka dapat belajar bagaimana sebenarnya peran litbang hingga dapat akses ke informasi dunia, dan dapat kontribusi untuk Indonesia dan dunia secara nyata.
Independensi publikasi karya ilmiah
Karya ilmiah dalam bentuk tulisan atau paper bukanlah hasil akhir suatu proses penelitian atau kajian. Jujur, masyarakat bahkan peneliti kita sendiri masih banyak yang meremehkan publikasi karya ilmiah, karena diangkat sebagai hasil akhir setiap penelitian. Paper sangat penting sebagai catatan, referensi, duplikasi, dan pemasyarakatan suatu hasil penelitian, sehingga perlu dinilai dan dipublikasikan oleh instansi yang independen dan netral. Sehingga setiap paper atau hasil publikasi harus diterbitkan di jurnal yang punya obyektivitas dan netralitas tinggi.
Pemerintah punya peran penting menciptakan sistem pengawasan jurnal di bawah masyarakat ilmiah sesuai bidangnya, bukan di bawah suatu PT atau institusi penelitian seperti saat ini. Kemenristek perlu turun tangan untuk mengatur dan menaungi masyarakat ilmiah (asosiasi) dan mendukungnya untuk memperkuat bidang-bidang kajian di PT, lembaga penelitian, dan masyarakat untuk mempertahankan kualitas setiap jurnal yang mempublikasikan hasil-hasil riset peneliti, staf pengajar, industri, dan masyarakat dari Indonesia dan dunia.
Oasis iptek dunia
Selama ini peneliti, staf pengajar, hingga mahasiswa masih banyak mengacu pada iptek dari luar negeri. Padahal Indonesia punya banyak sekali hint atau sumber ide untuk penelitian tingkat dunia. Arah vektor penguatan pendidikan dan penelitian kita harus bersumberkan “keindonesiaan”, yaitu penelitian khas Indonesia dan menjadikannya tren dunia. Cara pikir, budaya, alam Indonesia perlu dikaji lebih dalam dan diejawantahkan ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern hingga masa depan. Bila perlu setiap pengajuan proposal penelitian harus mencantumkan kriteria apa untuk memperkaya dan kontribusi terhadap alam, budaya, dan pemikiran khas Indonesia.
Penulis selama ini menggunakan hint dari alam Indonesia, misalnya bentuk daun untuk menciptakan berbagai antena tipis mobile ground station satellite communications satelit ETS-VIII Jepang, suara jangkrik untuk synthetic aperture radar (SAR) yang telah dipasang di pesawat CN235MPA TNI-AU, satelit mikro lembaga ruang angkasa Jepang (JAXA), pesawat pengamat bencana Taiwan (NSPO), satelit observasi bumi Korea (KARI), satelit mikro Eropa (ESA) untuk observasi bumi dan sensor ruang angkasa masa depan.
Kita perlu arahkan penelitian kita untuk menggali nilai alam, budaya, dan pemikiran khas Indonesia lebih dalam, dan mempublikasikannya sebanyak mungkin ke dunia internasional, sehingga nanti kian banyak peneliti asing yang mengacu ke hasil penelitian peneliti Indonesia, akhirnya dapat mengangkat nama peneliti dan bangsa Indonesia, alias promosi gratis di dunia iptek. Akhirnya harkat martabat peneliti kita akan terangkat, dan niscaya suatu saat ada peraih penghargaan Nobel dari Indonesia.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo ; Guru Besar Chiba University, Jepang, Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE), Penerima Penghargaan Ikon Prestasi Pancasila 2019 (BPIP)