Berbicara suku bunga acuan, maka hampir semua negara akan berkiblat dan mengekor ke mana arah kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed). Aksi The Fed selalu ditunggu-tunggu pelaku pasar dan investor karena sering memberikan dampak negatif yang sangat signifikan terhadap pergerakan dan fluktuasi pasar valuta asing dan finansial global, khususnya negara-negara yang tersandera masalah defisit neraca transaksi berjalan.
Negara-negara yang kekurangan suplai dollar AS dari sektor riilnya, hampir bisa dipastikan akan goyah kursnya ketika The Fed menaikkan bunga secara tak terduga dan agresif.
Tahun lalu, masih segar dalam memori kita, satu-satunya negara yang akselerasi pertumbuhan ekonominya sangat impresif adalah AS, tumbuh 2,9 persen dari 2,2 persen tahun 2017. Sebaliknya, negara-negara berkembang, sebagian negara maju (Uni Eropa dan Jepang), dan perekonomian kedua terbesar dunia (China), pertumbuhan ekonominya cenderung terus mengalami tekanan, stagnan, dan menurun.
Pertumbuhan ekonomi yang tak seimbang dan tak merata ini disikapi dengan kebijakan moneter yang berbeda arah atau mendua (divergen) oleh setiap negara. AS memilih kebijakan moneter ketat dan sangat percaya diri menaikkan suku bunga acuannya dari 1,50 persen ke 2,50 persen (naik empat kali) pada 2018, padahal tahun sebelumnya sudah naik tiga kali (0,75 persen), dan masing-masing satu kali di 2015 dan 2016.
Sedangkan negara lain (Uni Eropa dan Jepang), lebih nyaman menerapkan kebijakan moneter longgar yaitu suku bunga rendah, untuk menstimulus dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berada dalam zona yang sulit.
Konsekuensi dari kenaikan suku bunga The Fed, negara-negara emerging markets yang biasanya dimanjakan dan dibanjiri oleh masuknya arus modal asing melalui investasi portofolio (obligasi dan saham) mengalami tekanan signifikan pada mata uangnya.
Sebagian besar mata uang dunia (termasuk rupiah) melemah terhadap dollar AS, karena berbaliknya arus modal asing ke AS dan dipicu pengurangan aset finansial The Fed secara bertahap. Saat itu, likuiditas dollar AS banyak berkurang di perekonomian global, sehingga dollar AS sangat perkasa dan menguat ke hampir semua mata uang di dunia.
Kondisi ini tidak hanya membuat negara lain sangat tidak nyaman karena pelemahan yang signifikan dan gejolak mata uangnya. AS pun sangat tak diuntungkan karena ekspor barang dan jasanya menjadi sangat tak kompetitif. Defisit neraca perdagangan AS kian melebar, terutama terhadap China. Perang dagang yang diinisiasi Presiden Trump terhadap China, bukanlah solusi jitu, bahkan kian menghambat dan mengancam pemulihan perekonomian global.
Berubah kiblat
Tekanan terhadap perekonomian AS mulai terasa di akhir 2018 dan diperkirakan akan berlanjut ke depannya. Oleh karena itu, sangat wajar jika reaksi pimpinan The Fed mulai berubah kiblat dan arah anginnya. Indikasi ini terlihat dari pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, Jeremy Powell, yang berubah dari optimistis (hawkish) ke netral pada tanggal 26 November 2018 dan terus berlanjut ke pesimistis (dovish) pada saat ini.
Hal ini mempertegas bahwa suku bunga naik sudah tidak relevan dan tidak rasional untuk dibicarakan pada saat ini, begitu juga suku bunga tetap. Sekarang berganti menjadi seberapa cepat dan besar suku bunga acuan The Fed turun pada tahun ini dan tahun depan?
Perekonomian ekonomi AS tahun ini tidak sedigjaya tahun lalu dan labil. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian AS diperkirakan hanya tumbuh 2,6 persen tahun ini, melambat dari 2,9 persen pada 2018. Perlambatan ini diperkirakan terus berlanjut dan sangat signifikan ke 1,9 persen pada tahun 2020.
Sementara itu, Uni Eropa, Jepang dan China juga menghadapi situasi yang hampir sama dan akan sulit sekali keluar dari zona perlambatan ekonomi. Tekanan perlambatan ekonomi global semakin tinggi karena perang dagang AS dan China yang on/off dan belum ada tanda-tanda yang jelas akan mereda. Apalagi saat ini, tidak terlihat ada negara yang bisa diharapkan menjadi penyangga dan motor penggerak perekonomian dunia supaya tidak terpuruk makin dalam.
Oleh karena itu, era suku bunga rendah akan kembali mewarnai perekonomian dunia dan sudah mulai kira rasakan. Beberapa negara sudah menurunkan suku bunga acuannya, mendahului penurunan suku bunga The Fed.
Tilik saja India, yang struktur ekonominya mirip Indonesia yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan, sudah lebih dulu menurunkan suku bunganya sebanyak tiga kali (0,75 persen) dari 6,50 persen ke 5,75 persen sejak Februari 2019. Sejalan dengan India, suku bunga acuan Filipina dan Malaysia telah turun masing-masing satu kali, sedangkan Indonesia sudah turun dua kali dari 6,00 persen ke 5,50 persen.
Arah penurunan suku bunga dunia ini kian kuat, ketika The Fed menurunkan bunganya ke 2,25 persen dari 2,50 persen per 31 Juli 2019. Peluang penurunan suku bunga lanjutan masih sangat terbuka lebar karena rentannya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Angin segar
Tren suku bunga acuan bank sentral dunia yang turun, tentunya menjadi angin segar dan napas bagi perekonomian domestik tahun 2019. Tidak seperti tahun 2018, rupiah sempat melemah ke Rp 15.238/dollar AS pada Oktober karena keluarnya arus modal asing secara masif dan bergelombang. Untungnya, perekonomian Indonesia terbukti cukup tangguh dan fleksibel, sehingga bisa membalikkan keadaan tersebut. Rupiah secara perlahan menguat kembali dan ditutup pada level 14.390/dollar AS pada akhir 2018.
Pertumbuhan ekonomi juga relatif sangat baik 5,17 persen tahun 2018, di saat sentimen negatif global begitu kuat mencengkeram pasar saham dan obligasi RI.
Harus diakui di 2018, sangat besar energi yang dihabiskan untuk menjaga stabilisasi rupiah. Bank Indonesia (BI) terpaksa menaikkan suku bunganya secara agresif dari 4,25 persen ke 6,00 persen, agar aset finansial Indonesia menjadi sangat menarik. Dan benar saja, arus modal asing masuk kembali ke Indonesia dan ditunjang oleh berubahnya arah kebijakan moneter The Fed yang semakin longgar.
Investor asing sangat percaya terhadap perekonomian Indonesia tahun 2019 dan ke depan, walaupun diwarnai perhelatan besar politik yaitu pemilu presiden. Terbukti lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) meningkatkan peringkat utang pemerintah (Sovereign Credit Rating) dari BBB- menjadi BBB pada 31 Mei 2019. Ini berarti Indonesia sudah memperoleh status layak investasi (Investment Grade) dengan level yang sama dari tiga lembaga pemeringkat utama dunia, S&P, Moody’s, dan Fitch.
Masuknya arus modal asing yang begitu deras, menjadi bantalan yang sangat empuk buat rupiah. Dengan inflasi yang diperkirakan relatif rendah dan terjaga, serta rupiah yang bergerak wajar, kami memperkirakan BI masih memiliki ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga acuannya lebih cepat dan besar lagi.
Dari siaran pers BI, cukup jelas tersirat, bahwa BI tidak akan ragu-ragu menurunkan suku bunganya kembali untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, selain stabilisasi rupiah. Apalagi beberapa bank sentral di negara maju dan berkembang merespons dinamika perekonomian dunia yang melemah ini dengan menempuh kebijakan moneter longgar melalui penurunan suku bunga.
Era suku bunga rendah sudah ada di hadapan kita, peluang perekonomian domestik untuk lebih bertenaga menjadi makin terbuka. Perekonomian domestik membutuhkan suku bunga kredit yang lebih rendah, walaupun tidak ada jaminan pertumbuhan kredit akan menggeliat seketika. Turunnya suku bunga kredit memang diperlukan, tapi belum tentu cukup kuat mendorong pertumbuhan kredit kalau likuiditas perbankan masih ketat dan permintaan domestik relatif terbatas.
Nampaknya, Indonesia masih memerlukan relaksasi kebijakan makroprudensial yang mampu secara instan dan efektif menambah likuiditas perbankan, seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM). Selain itu, dibutuhkan pengeluaran pemerintah yang lebih ekspansif di semester II-2019 untuk lebih menggairahkan permintaan domestik.
(Anton Hendranata ; Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk)