Beragamnya data indeks yang digunakan untuk melihat capaian pembangunan desa menggugah pertanyaan kenapa ukuran-ukuran ini tidak diharmonisasikan. Indeks Pembangunan Desa (IPD) dan Indeks Desa Membangun (IDM) sama-sama untuk mengetahui perkembangan pembangunan desa. Selain itu, ada Indeks Kesulitan Geografis (IKG) untuk pengalokasian dana desa. Semua indeks ini memiliki sumber data sama: desa.
Tiga ukuran pembangunan desa tertuang dalam peraturan yang dikeluarkan pemangku kepentingan masing-masing. IPD dihitung oleh BPS dan diinisiasi Bappenas tahun 2015. IPD merupakan sintesis dari pelayanan dasar di desa yang sesuai dengan UU No 6/2014 tentang Desa.
Tujuannya, melihat keterjangkauan dan kemudahan warga desa terhadap pelayanan dasar. IPD mengklasifikasikan desa menjadi tiga status: tertinggal, berkembang, dan mandiri. Klasifikasi ini menjadi patokan capaian RPJMN 2015-2019 dalam rangka mengevaluasi kinerja pembangunan desa.
IDM dihitung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) mulai 2015. IDM pertama kali digulirkan melalui Permen Desa PDTT No 2/2016 tentang Indeks Desa Membangun.
IDM dikembangkan untuk mengetahui lokus pelaksanaan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa menurut tiga pendekatan: jaring komunitas wiradesa, lumbung ekonomi, dan lingkar budaya. IDM mengklasifikasi desa dalam lima kategori: sangat tertinggal, tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri.
IKG pertama disusun BPS, digulirkan melalui Peraturan Menkeu (PMK) No 247/PMK.07/2015. Rujukannya dari UU No 6/2014 tentang Desa. Tingkat kesulitan geografis menjadi salah satu variabel pengalokasian dana desa.
Penentuan variabelnya sesuai PP No 60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, yang selanjutnya diperbarui jadi PP No 22/2015. IKG sendiri merupakan cerminan dari ketersediaan prasarana pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, dan aksesibilitas/transportasi.
IKG merupakan bagian utuh dari IPD. Hanya saja, data dasar penyusun IPD ditambah informasi pelayanan umum desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa. IKG dan IPD memiliki makna terbalik. Semakin besar nilai IKG, kian sulit warga mengakses layanan dasar, sementara IPD sebaliknya.
Kedua ukuran ini dirancang sebagai alokator pembagian anggaran dan evaluator hasil pembangunan desa. Persoalannya, ketiga indeks tersebut memiliki kekurangan yang sama.
Ada informasi layanan dasar yang tidak mampu dibangun pemerintah desa. Seperti pembangunan infrastruktur sekolah dasar hingga menengah, rumah sakit, dan beragam infrastruktur lain yang tidak dapat dibangun dari kebijakan desa. Ketiga ukuran ini pun perlu dibedah untuk melihat kewajiban pemerintah desa dengan supra-desa.
Oleh karena itu, indikator pembangunan desa (IPD dan IDM) perlu diharmonisasikan, dijadikan satu dan disesuaikan kembali data penyusunnya, sementara IKG perlu disesuaikan setelah harmonisasi dilakukan. Tujuannya supaya fair terhadap kewenangan desa dalam membangun wilayahnya.
Harmonisasi data
Mewujudkan satu indeks desa butuh kerja sama di antara pemangku kepentingan terkait. Keluarnya Perpres No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia dapat dijadikan pijakan bagaimana membagi peran antara wali data dan produsen data, agar pemerintah desa sebagai pengguna tidak bingung mengimplementasikan.
Satu indeks desa hasil harmonisasi sebaiknya memiliki batas minimal yang harus dipenuhi. Jika mengambil pendekatan George T Doran (1981), ukuran harus spesifik, terukur, bisa dicapai/realistis, bisa dipercaya, dan punya target waktu.
Jika diimplementasikan pada indeks desa, sebaiknya mampu memenuhi kebijakan yang dapat dilakukan di tingkat desa, capaiannya sesuai yang dikerjakan di desa, relevan dengan prioritas penggunaan anggaran desa, siapa pun dapat dengan mudah menghitung dan memaknai, dan mampu menyesuaikan target prioritas pembangunan desa.
Sumber data yang diharmonisasikan perlu disesuaikan dengan kewenangan desa. Hal-hal yang dapat dilaksanakan di desa tertuang dalam Permen Desa PDTT tentang prioritas penggunaan dana desa yang dikeluarkan setiap tahun.
Lebih jauh lagi, jika indeks yang diharmonisasikan tetap melibatkan kewenangan pemerintah di luar desa, indeks desa hasil harmonisasi sebaiknya mampu mengukur pembagian tanggung jawab. Tujuannya, memudahkan siapa yang akan menindaklanjuti pembangunan infrastruktur pelayanan dasar karena desa merupakan muara dari semua kebijakan, mulai dari kementerian/lembaga, pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten, bahkan termasuk pemerintah desa sendiri.
Untuk memenuhi asas akuntabilitas, sebaiknya indeks desa mudah dihitung oleh siapa pun, termasuk perangkat desa. Selama ini, BPK telah memeriksa ukuran capaian pembangunan desa untuk pengalokasian dana desa. Inspektorat di pemda pun mudah  memastikan penggunaan dana desa dengan tepat.
BPS telah melakukan upaya perbaikan data desa secara progresif. Pengumpulan data desa dalam kegiatan pemutakhiran data potensi desa (podes) dilaksanakan setiap tahun mulai 2019. Bahkan, dalam rangka validasi dan verifikasi, setiap infrastruktur pelayanan dasar difoto dan direkam lokasi koordinatnya.
Namun, akan jauh lebih bermanfaat lagi jika kegiatan ini diimbangi dengan penguatan data statistik di tingkat desa. Harmonisasi sumber data di hulu dilakukan dengan penguatan monografi desa dari data infrastruktur yang dikumpulkan oleh BPS sehingga perangkat desa juga mulai memahami pentingnya membangun desa dengan data.
Tahun ini, pembahasan RPJMN 2020-2024 tengah berlangsung. Belum terlambat jika beragam indeks pembangunan desa diharmonisasikan menjadi satu data, mulai dari hulu (sumber data) hingga hilir (indeks yang dihasilkan). Dalam hal ini, pemerintah mengukur apa yang dibangun dan desa membangun apa yang diukur.
(Udin Suchaini  ; Fungsional Statistisi di Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, BPS)