Politik hukum, dalam konsep Mahfud MD (2004), setidaknya bisa dibahasakan menjadi tiga hal. Pertama, “cetak biru” dari kebijakan dan peraturan yang dicita-citakan. Kedua, tarik-menarik politik pada proses di dalam ruangan pembahasan dan persetujuan legislasi. Ketiga, implementasi yang diharapkan dan dapat terkawal oleh kebijakan itu.
Dalam tragedi revisi UU KPK, ketiga konsep ini memperlihatkan posisi pelemahan. Alasan penguatan KPK yang ada hanyalah pembenar, jika diperiksa nyaris tanpa alasan yang benar. Tatkala DPR dan pemerintah membahas dan menyetujui bersama RUU itu, terlihat betapa buyarnya janji-janji antikorupsi dan penguatan kelembagaan KPK yang dibicarakan Presiden Jokowi dan partai-partai pada saat kampanye pemilu.
Cetak biru yang dibayangkan tak selaras dengan penguatan KPK. Semua berganti menjadi basa-basi politik penuh kepentingan, menghasilkan pasal-pasal lucu dan kontradiktif. Politik hukum penguatan KPK dicampakkan.
Cetak tak biru
Dari sisi substansi, RUU yang diajukan DPR tak jelas cetak biru penguatan KPK dan pemberantasan korupsinya. Dari kesemua yang dibahas, lebih nampak corak tak biru, tetapi hanya penuh kepentingan beragam warna partai. Kelihatan usulan itu lebih memperlihatkan nafsu DPR menjinakkan KPK dibanding bicara penguatan. Contoh sederhana, ketika usulan awal menempatkan adanya Dewan Pengawas (Dewas) yang penuh dengan beragam kewenangan pro justicia, dan pada saat yang sama Dewas ini dipilih di DPR. Hal yang seakan memindahkan kewenangan berkaitan hal-hal penting pro justicia di KPK ke Dewas yang dipilih oleh DPR.
Belum lagi soal isi KPK yang penyidiknya tak lagi bersifat independen. Apalagi jika digabung dengan berbagai usulan lain. Membacanya secara detail, sangat mudah paham jika itu kian nampak menepikan independensi KPK.
Presiden kemudian tampil dengan konferensi pers yang kelihatan garang dan menjanjikan, tapi ketika diperiksa dengan detail sebenarnya nyaris juga tanpa politik hukum penguatan KPK dan pemberantasan korupsi yang jelas. Ada empat poin utama Jokowi seiring dengan surat presiden (surpres) yang ia tandatangani.
Pertama, tak setuju jika KPK harus dapat izin pihak luar untuk melakukan penyadapan. Cukup memperoleh izin internal dari Dewas. Kedua, tak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya dari Kepolisian dan Kejaksaan. Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN) yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain, tetapi menjadi masuk ke konsep ASN.
Ketiga, tak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan, dan sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tak perlu diubah lagi. Keempat, tak setuju pengalihan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari lembaga antirasuah kepada kementerian atau lembaga lainnya.
Hampir semua terkesan basa-basi karena tak menjawab permasalahan. Semisal, Dewas itu sendiri bermasalah secara kelembagaan dan bukan hanya karena soal ia dipilih oleh siapa, pantaskah Dewas—yang sejatinya fungsi pengawasan—menjadi lembaga yang mengerjakan tindakan perizinan penyadapan, penggeledahan serta penyadapan yang merupakan bagian dari proses pro justicia?
Tak ada jawaban jelas dari konsep RUU KPK.  Juga ketika mengatakan pengawasan itu harus dalam bentuk lembaga, lupakah bahwa secara teori yang namanya pengawasan bisa berbentuk lembaga bisa juga sistem? Jika menggunakan logika harus lembaga, maka pertanyaan mendasar harusnya disampaikan, lembaga mana yang akan mengawasai DPR? Konsep pengawasan tak selamanya butuh lembaga tersendiri.
DPR diawasi oleh pemilih dengan menggunakan sistem pemilu. Dan selama ini, konsep serupa sistem pengawasan telah bekerja di KPK. BPK mengawasi keuangan. DPR mengawasi dengan rapat dengar pendapat (RDP), bahkan hingga bisa menggunakan hak angket (Putusan MK No 36/PUU-XV/ 2017). Bahkan DPR dan pemerintah bisa menilai keberhasilan komisioner KPK, sehingga pada proses seleksi berikutnya mereka menentukan akankah melanjutkan atau tidak melanjutkan mereka.
Jadi sebenarnya, problem Dewas terletak pada idenya, dan bukan pada siapa yang akan memilih. Presiden tak pas ketika hanya menyasar soal dipilih oleh siapa. Apalagi, terlihat benar upaya “menjinakkan” KPK dengan menjadikan Dewas sebagai perizinan untuk melakukan penyadapan, penggeledahan hingga penyitaan. Seakan memindahkan sebagian besar penindakan ke Dewas. Dengan besarnya kewenangan Dewas, siapa yang akan mengawasinya?
Begitu pun dengan memaksa masuk ke konsep ASN, seketika syarat ketat ASN di UU No 5 Tahun 2014 akan menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang selama ini telah menjadi pegawai dengan konsep keahlian yang berbeda dengan strata ASN. Belum lagi cek kosong diberikannya kewenangan yang besar kepada Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk melakukan pembahasan di DPR. Terbukti kemudian, UU itu masuk ke dalam proses super cepat. Tanpa cetak biru penguatan pemberantasan korupsi yang terjadi adalah pembunuhan atas KPK.
Persekongkolan kepentingan
Siapapun paham, UU memang merupakan resultante kepentingan politik. Tetapi di situlah fungsi konstitusi dan peraturan perundang-undangan memberikan ruang agar tak sekadar memenuhi kaidah politik. Karena itu, dibuka ruang berupa partisipasi, aspirasi dan berbagai tindakan penyesuaian serta masukan lainnya. Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya, jelas menyatakan bahwa partisipasi masyarakat amat penting. Tetapi semua diterabas dengan alasan inisiasi sudah dilakukan lama. Apakah karena pernah dibicarakan beberapa waktu silam kemudian menegasikan kewajiban untuk mendapatkan masukan masyarakat?
Alasan untuk proses pengajuan cepat yang dipakai adalah Pasal 23 Ayat 2 UU No 12 Tahun 2011 memungkinkan pengajuan UU dengan menerabas list UU yang ada dalam program legislasi nasional secara limitatif dengan dua alasan. Kedua alasan itu yakni untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU. Pertanyaan mendasarnya lagi-lagi adalah, apa keadaan luar biasa dan urgensi nasional itu, sehingga UU KPK harus diubah dengan terabasan luar biasa itu?
UU No 12 Tahun 2011 memberikan lima tahapan UU: pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan pengundangan. Pada pengajuan, digeber kencang tanpa melihat partisipasi masyarakat, dilanjutkan di tahapan persetujuan dan pengesahan. Dan ini dilakukan bersama-sama dengan Presiden. Pertama, Presiden langsung menandatangani surpres hanya dalam waktu tiga hari padahal waktu yang diberikan 60 hari. Apakah karena begitu kinerja presiden selama ini? Tak pernah begitu. Yang ada biasanya memakan waktu cukup lama karena presiden membentuk Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah dengan mengundang banyak pihak dan melibatkan ahli. Tetapi kali ini tidak, diterabas begitu saja. Sehingga mulus masuk dalam pembahasan dan persetujuan dengan dipimpin oleh Menkumham dan Menpan RB, untuk dan atas nama Presiden.
Jika bicara soal penyusunan perundang-undangan yang baik, harusnya dipisahkan tahapan pembahasan dan persetujuan. Pembahasan adalah proses take and give, yang memungkinkan terjadi pergeseran substansi UU sebagaimana yang digariskan oleh Presiden kepada menteri. Harusnya menteri yang ditugaskan melaporkan perkembangan itu ke Presiden untuk menjadi bahan bagi Presiden untuk melakukan persetujuan. Tetapi kemarin yang dipertontonkan tidak demikian, langsung dengan kilat pembahasan tahap satu selesai dan menuju persetujuan. Entah apa yang dikejar sehingga harus secepat itu.
Ini jauh bertolak-belakang dengan sikap Presiden dalam kasus RUU KUHP. Bayangkan, dengan alasan masih ada poin yang harus dibicarakan lebih lanjut, RUU KUHP yang sudah selesai dibahas dan tahap persetujuan di tingkat komisi, diputuskan ditunda. Presiden menolak melanjutkan persetujuan dengan DPR di tingkat paripurna. Jika ada yang mau dibicarakan dan ada keharusan menjaring masukan masyarakat, mengapa hal yang sama tidak diberlakukan untuk RUU KPK? Padahal, jika memeriksa UU KPK hasil persetujuan DPR bersama menteri-menteri (yang bertindak untuk dan atas nama Presiden), kelihatan ada yang berbeda dengan empat garis amanat Presiden di atas. Mengapa Presiden tidak mengambil langkah yang sama terhadap revisi UU KPK?
Bahkan, keputusan diambil dengan hanya dihadiri sekitar 80-100 orang anggota DPR. Selebihnya, menitipkan presensi. Secara formal, ini pelanggaran berat penyusunan peraturan perundang-undangan. Kesepakatan itu memerlukan kehadiran fisik dan bukan hadir di presensi. Merujuk ke Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, ini jelas merupakan pelanggaran formal. Dalam bahasa putusan MK tersebut, ini merupakan cacat prosedural. Tetapi dengan semua kesalahan itu, prosesnya tetap dilanjutkan begitu saja.
Gagap implementasi
Faktor yang tak kalah penting dari sekian keanehan di UU KPK adalah kemungkinan mandulnya KPK dengan segala upaya pemberantasan korupsinya. Bukan hanya sekadar konsep-konsep yang dibahas, tetapi ada begitu banyak pasal yang lahir dengan terburu-buru dan tak memikirkan implikasinya ke depan terhadap kinerja KPK, tanggung jawab komisioner KPK dan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Misalnya, hilangnya posisi komisioner sebagai “penyidik dan penuntut umum” di Pasal 21 Ayat (4) di UU KPK. Apakah berarti komisioner hanya menjadi pejabat administratif dan tidak lagi sebagai penegak hukum? Jangan samakan dengan Jaksa Agung di UU Kejaksaan, walaupun tak ada kalimat ia sebagai penyidik dan penuntut umum, tapi jelas ada Pasal 18 Ayat 1 UU No 16 Tahun tentang Kejaksaan yang memberikan kewenangan Jaksa Agung sebagai pemimpin dan penanggung jawab yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan seluruh kewenangan Kejaksaan. Tapi di UU KPK, dengan hilangnya pasal itu, mudah untuk mendebat komisioner atas penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) maupun proses penuntutan. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab dan menandatangani surat-surat tersebut?
Hal lainnya, terburu-burunya pembuatan UU sama sekali tak memikirkan nasib komisioner yang telah dipilih untuk periode 2019-2023. Ada komisioner terpilih belum berusia 50 tahun. Padahal UU hasil revisi menyebutkan, untuk dapat diangkat jadi komisioner usia sekurangnya harus 50 tahun. Jika UU ini jadi ditandatangani Presiden atau berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari disahkan DPR, maka sang komisioner menjadi rancu untuk diangkat. Logika yang menyatakan itu tak berlaku surut adalah logika tak pas karena seharusnya diatur dalam pasal-pasal peralihan jika mau mengatakan bahwa khusus untuk pemilihan komisioner, pasal-pasal itu berlaku setelah pelantikan komisioner yang sudah terpilih untuk 2019-2023. Dan ini terbukti, karena beberapa anggota DPR sendiri mengaku tidak pernah membicarakan hal itu.
Lalu apa?
Jika masih bisa berharap, saya mengharapkan kesadaran Presiden setidaknya pada dua level. Pertama, Presiden masih bisa memberikan posisi politiknya dengan menolak untuk mengesahkan. Walau tetap akan berlaku dalam jangka waktu 30 hari setelah disahkan DPR meski tanpa tanda tangan Presiden, paling tidak Presiden bisa menyatakan dirinya bahwa ia tak mau terlibat terlalu jauh dalam upaya politik hukum sesat membunuh KPK dan pemberantasan korupsi. Kedua, Presiden berani untuk mengoreksi langkah yang terlalu jauh ini dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu yang seharusnya berisi politik hukum yang benar dalam menguatkan KPK, menutup warna kepentingan politik menjinakkan KPK serta memperbaiki  UU ini agar tetap bisa terimplementasi dengan baik.
Jika tidak, berarti UU KPK serta semangat politik hukum antikorupsinya telah dibiarkan merapuh dan akhirnya merepih. Publik tetap akan mengingatkan proses legislasi kacau ini hingga ke uji materi (judicial review) di MK. Akan terpateri jelas dalam ingatan publik, siapa yang membuat merapuh dan merepihkan semangat antikorupsi ini.
(Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Peneliti PuKAT Korupsi FH UGM)