Game of Thrones, sebuah film fantasi serial televisi yang diangkat dari novel A Song of Ice and Fire karya George RR Martin, dirilis sejak April 2011 hingga episode terakhir Mei 2019. Film ini mengisahkan perseteruan, persaingan, dan persekutuan dari beberapa kerajaan yang berebut Tahta Besi, sebagai simbol penguasa semesta.
Di jagat otomotif, kita tahu pemegang ”tahta besi” yang menguasai pasar otomotif RI sejak zaman Malari adalah Jepang. Lalu, sempat muncul drama ”Mobnas” medio 1990 yang berakhir tragis di tangan Dana Moneter Internasional (IMF) pasca-krisis 1998.
Sejak dekade 2000-an, datanglah tantangan dari negeri China dengan masuknya berbagai produk/merek otomotifnya, seperti Jialing, Geely, dan Wuling, dan dari negara-negara lainnya, yakni Hyundai (Korea Selatan), Tata (India), dan Proton (Malaysia). Sebelumnya sudah ada merek-merek otomotif dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, seperti Ford, Chevrolet, Cherry, Volvo, dan lainnya, meramaikan pasar otomotif RI.
Namun, Chery tersingkir dari pasar RI 2013, disusul Chevrolet pada 2015, dan Ford pada 2016. Beberapa merek lainnya sudah terlebih dulu gulung tikar, yakni Holden pada 1987 dan Opel pada 2005. Geely dari Tiongkok pun tutup 2016. Sementara Volvo dan Proton hanya mampu jalan di tempat.
Berdasar data Gaikindo, peta pasar otomotif pada 2018, menunjukkan mobil-mobil Jepang masih menguasai pasar RI (97,53 persen), disusul Wuling dan DFSK (1,61 persen), mobil-mobil Eropa (0,41 persen), dan AS (0,22 persen) dari angka total penjualan 1,15 juta unit.
Setelah kegagalan Mobnas pada 1998, kesempatan kedua bagi RI kini adalah mobil listrik nasional. Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) akhir Agustus menegaskan dukungan politis pemerintah terhadap industri KBLBB. Perpres ini mengatur tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan insentif (fiskal dan nonfiskal), untuk KBLBB beroda dua dan tiga serta beroda empat atau lebih. Keluarnya perpres ini sekaligus dapat menjadi momentum untuk mempercepat pengembangan mobil listrik nasional dan menstimuliasi industri KBLBB nasional.
Urgensi untuk beralih ke KBLBB, antara lain, karena ketergantungan RI terhadap impor BBM dan minyak mentah sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut BPS, defisit perdagangan pada 2018, terburuk sepanjang lima tahun terakhir, paling banyak disumbang oleh impor minyak tersebut. Nilai impor minyak nyaris menyentuh angka 30 miliar dollar AS pada 2018.
Tren global dalam transportasi ramah lingkungan, termasuk di Eropa, sangat kuat mengarah ke mobil listrik. Dengan hadirnya era kendaraan listrik di Indonesia, paling tidak terdapat tiga harapan besar. Pertama, harga terjangkau oleh masyarakat umum (kelas menengah), khususnya untuk mobil penumpang. Kedua, biaya operasional untuk energi lebih murah dibandingkan dengan kendaraan bermesin pembakaran internal (internal combustion).
Ketiga, berkurangnya polusi udara perkotaan akibat emisi gas buangan kendaraan berbahan bakar fosil. Transportasi publik dapat memelopori transisi dari penggunaan bus bermesin pembakaran internal ke bus listrik.
PT TransJakarta sudah mulai menggunakan bus listrik. Demikian pula Bluebird mulai menggunakan mobil taksi listrik. Namun, baik bus maupun mobil sedan tersebut masih impor dari China dan AS. Kendati menggunakan mobil listrik impor dari AS, Bluebird dapat menghemat biaya operasional untuk energi hingga 35 persen (Kompas, 28/8/2019).
Harapan besar lainnya adalah bahwa RI tidak hanya menjadi pasar bagi produsen asing, baik melalui impor maupun Penanaman Modal Asing (PMA), akan tetapi mampu menjadi produsen kendaraan listrik secara mandiri, baik sepeda motor, mobil, dan bus dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) relatif tinggi.
Pemerintah menargetkan mobil listrik nasional mulai diproduksi pada 2022 dan pangsa pasar mobil lisrik mencapai 20 persen pada 2025 atau sekitar 400.000 unit. Dampak produksi massal berupa nilai tambah pada produk domestik bruto (PDB) dan penciptaan kesempatan kerja.
Kesiapan
Komitmen pemerintah dalam mendukung kendaraan listrik nasional ini menjadi prasyarat utama dalam membangun industri kendaraan listrik nasional. Sebab, secara prinsip sumber daya kita sudah siap.
Dari sisi kelembagaan, sinergi antarinstitusi terkait dengan ketersediaan sumber daya teknologi sangat berpotensi untuk merealisasikan kendaraan listrik nasional tersebut dengan TKDN tinggi. Sebut saja PT Pindad, perusahaan pelat merah produsen berbagai kendaraan tempur ini mampu membuat dan memasok motor listrik yang menjadi bagian dari electric powertrain bekerja sama dengan PT LEN yang membuat motor controller-nya.
Demikian pula sejumlah perguruan tinggi telah menunjukkan kapasitasnya masing-masing dalam riset dan karya-karya kendaraan listriknya. Konsorsium kendaraan bermotor listrik nasional sudah dibentuk sejak 2012 beranggotakan BPPT, Batan, LIPI, PT LEN, PT Pindad, dan lima perguruan tinggi, serta asosiasi produsen mobil listrik nasional.
Hasil kerja sama konsorsium, di samping electric powertrain adalah model baterai lithium-ion anti-eksplosif untuk sepeda motor dan model fast charging station berkapasitas 50 KW di BPPT dan smart charging station 20 KW di Puspiptek Serpong yang menggunakan panel surya. Proses pengisian ulang beterai untuk mobil taksi listrik hanya berlangsung 30 menit, padahal umumnya perlu tiga jam lebih.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), tidak diragukan RI cukup berlimpah dengan tenaga ahli di bidang kendaraan listrik.
Sementara dari sisi sumber daya (mineral) strategis, yakni litium (Li), nikel (Ni), dan kobalt (Co) sebagai bahan baku baterai, potensinya sangat mendukung.
Potensi nikel tersebar di Sulawesi, Halmahera, Papua, dan Papua Barat dengan deposit diperkirakan 3,4 miliar ton (ESDM, 2012). Puluhan lokasi telah ditambang, di antaranya yang terbesar di Sorowako, Sulawesi Selatan, dengan luas konsesi 70.566 hektar.
Lokasi terbaru sedang dieksplorasi di Halmahera dan Morowali yang juga sedang dibangun pabrik baterai lithium-ion skala besar. Mulai awal tahun depan ekspor nikel dalam bentuk bijih (ore) atau konsentrat dilarang, melainkan harus dilebur dulu pada fasilitas smelter menjadi produk ferronikel, nikelmatte, dan nikel pig iron yang bernilai tambah tinggi.
Produk sampingan dari tambang nikel adalah kobalt dan litium. Di samping itu, menurut BPPT, potensi litium terdapat di sepanjang aliran magma dan batuan pegmatik (terutama di Sumatera) serta air asin (terutama Laut Jawa). LIPI sedang mengembangkan teknologi ekstraktif litium dari air laut tersebut.
Saat ini beberapa komponen masih harus diimpor, yakni magnet permanen (untuk bahan motor listrik) dan baterai litium. Kedua komponen ini menyumbang sekitar 50-60 persen dalam struktur biaya produksi.
Namun, dalam beberapa tahun ke depan dengan beroperasinya pabrik baterai lithium-ion skala besar di Sulawesi Barat, biaya produksi mobil listrik akan turun secara signifikan.
Untuk kelanjutan program mobil listrik nasional, pemerintah bisa saja menugaskan PT Pindad untuk membuat prototipe mobil dan sekaligus bus listrik, kemudian diujicobakan untuk memperoleh kelaikan teknis terlebih dulu, sebelum mulai diproduksi massal tahun 2022. BUMN strategis ini terbukti mampu memproduksi ekskavator dan berbagai kendaraan tempur, termasuk tank medium.
Kita perlu berpandangan positif bahwa berbekal keunggulan komparatif sumber daya strategis dalam produksi mobil listrik beserta dukungan politis yang kuat dari pemerintah, akan segera terwujud mobil listrik nasional sebagai bagian dari industri kendaraan listrik nasional. Ketika tren global kini mengarah ke kendaraan listrik, RI sudah relatif siap dan memiliki peluang untuk muncul sebagai salah satu produsen terkemuka mobil listrik dunia.
Maka, jaga dan raihlah momentum ini, sehingga upaya keras kita akan happy ending, sebagaimana akhir cerita Game of Thrones, di mana sang tokoh pahlawannya akhirnya berhasil merebut kembali Iron Throne.
(Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM dan Staf Khusus Menteri Perhubungan)