Alkitab pada Kitab Yesaya (30:21) berbunyi: ”dan telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu: ’Inilah jalan, berjalanlah mengikutinya,’ entah kamu menganan atau mengiri.”
Agak terkejut saya membaca menganan dan mengiri. Setelah merenungkannya, barulah saya paham bahwa menganan bukan dari kata penganan, melainkan  dari kanan. Demikian juga mengiri bukan dari iri, tetapi kiri. Dapat disimpulkan, menganan ’menuju (pergi) ke kanan’ dan mengiri ’menuju (pergi) ke kiri’.
Terus terang, selama membaca teks berbahasa Indonesia, inilah kali pertama  saya menemui kata menganan dan mengiri dan itu terdapat di dalam Alkitab yang, dalam penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, melibatkan pendekar-pendekar bahasa.
Kalau ada ”menuju  (pergi) ke kanan” dan ”menuju  (pergi) ke kiri”, mestinya ada ”menuju  (pergi) ke tengah”. Betul! Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV mencatatnya sebagai ”menengah”. Demikian pula dengan mengatas dengan arti ’membubung’, ’naik (ke atas)’.
Akan tetapi, kamus yang sama tidak mengandung membawah. Meskipun begitu, tak lantas kita tak bisa merekayasa membawah dengan makna ’menuju (pergi) ke bawah’.
Bagaimana dengan keterangan arah berdasarkan mata angin? Dalam KBBI tersua mengutara ’menuju arah utara’, ’berjalan ke utara’, dan menimur ’menuju ke arah timur’, tetapi kita tidak mendapati sublema menyelatan di bawah lema selatan.
Lema barat dalam KBBI tidak ada. Mungkin tim penyusun kamus itu, yang pengumpul datanya terdiri dari 137 orang, lupa. Meskipun demikian, sebagaimana halnya menyelatan, kata membarat tetap bisa digunakan dengan pengertian ’menuju ke arah barat’.
Tentang sublema menenggara yang diturunkan dari lema tenggara di kamus tersebut, kata menenggara rupanya terselip juga di bawah lema timur dalam bentuk ungkapan timur menenggara, yang artinya tak lain tak bukan ’antara timur dan tenggara’.
Aktualisasi pola ”menuju (pergï) ke” rupanya tidak saja berdasarkan ruang (kanan, kiri, tengah, atas, dan bawah; atau arah mata angin, seperti timur, baratutara, dan selatan), tetapi bisa juga berbasiskan waktu seperti pagi, siang, petang, dan malam.
Yang disebut terakhir ini tercatat bukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, melainkan pada sebuah cerpen yang dimuat Kompas edisi Minggu, 7 Juli 2019. Dalam ”Hantu Pohon Gayam”, R Giryadi menulis ”Hari mulai memetang”.  Kata memetang ini, berdasarkan cerpen tersebut, dapat diartikan sebagai ’menuju ke petang’ atau ’menjadi petang’.
Tentu kita bisa memperluasnya menjadi sebuah pradigma (daftar semua bentukan dari suatu kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut) sehingga kita bisa membentuk ”siang” menjadi menyiang, ”sore” menyore, serta ”malam” memalam.
Omong-omong, masih ingat dengan ngamar? Bentuk bakunya ialah mengamar  yang bermakna ’menuju ke kamar’ atau ’masuk kamar’. Akur dengan makna ”menuju (pergi) ke” yang disinggung di atas.
RICHARD TUWOLIU MANGANGUE, Pengajar pada Prodi Bahasa Jerman,  Universitas Negeri Manado di Tondano