Perkembangan politik mutakhir di Tanah Air seperti kembali membenarkan observasi Clifford Geertz dalam “The Politics of Meaning” (Claire Holt, ed, Culture and Politics in Indonesia, 1972).
Baginya secara umum Indonesia terkesan sebagai “suatu state manque.” Tak mampu menemukan bangunan politik yang sesuai sifat bangsanya, Indonesia dilihatnya terbentur-bentur bolak-balik cemas dari suatu sistem politik ke sistem politik lain.
Hiruk-pikuk mendadak pembicaraan parpol-parpol di bawah kepeloporan pimpinan PDI Perjuangan (PDI-P) agar MPR periode 2019-2024 meneruskan agenda amendemen kelima kembali membenarkan suara Geertz. Beda dengan hajat rasional amendemen kelima untuk memperkuat DPD di sekitar 2006, hajat amendemen kelima kali ini didasari hasrat irasional agar MPR kembali jadi lembaga tertinggi negara yang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kita tahu UUD 1945 memang masih perlu sejumlah amendemen penting, tapi jelas tak dalam kerangka irasionalitas politik.
Negativitas irasional politik
Kehendak mendadak akan amendemen irasional ini setidaknya mengandung empat negativitas. Pertama, dan terpenting, di situ nalar terpenjara dalam suatu obsesi, dalam suatu idee fixe, yang sungguh bersifat menipu. Kedua, disepakati luas, kembali membuka pintu amendemen memunculkan risiko dibukanya Kotak Pandora lepas kendali pemicu krisis politik berkepanjangan. Ketiga, terbersit kebiasaan eskapisme di ketiga cabang pemerintahan yang suka mengalihkan pelbagai persoalan atau berlaku miopik dalam membenahi masalah kenegaraan. Terakhir, apa yang sepintas lalu tampak sebagai agenda politik progresif dengan GBHN itu sebetulnya lebih bersifat regresif.
Menitipkan upaya amendemen kelima atas Konstitusi pada MPR baru merupakan manifestasi hasrat kalangan politik yang kecewa pada apa yang mereka pandang sebagai ketakmenentuan arah politik pembangunan sepanjang dua dasawarsa Reformasi. Juga di sana-sini masih terbersit residu Soekarnoisme –kerinduan pada repetisi “Dekrit kembali ke UUD 1945.” Itu semua bagian dari obsesi. Obsesi GBHN membuat orang tak menyimak tumpukan irasionalitas dari dua “tikungan politik buruk”: dicampakkannya demokrasi oleh Soekarno dan demokrasi cum nasion oleh Soeharto. Itu yang membuat negara kita kian terbenam ke kubangan pemerintahan otoriter.
Penganjur amandemen kelima melupakan kenyataan GBHN yang mereka puja-puji itu berlaku atau terlaksana di dalam dan tak terpisahkan dari dua rezim otoriter-monopolistik dalam pergiliran dua “pasak sistemik”, Soekarno dan Soeharto, yang ditopang mesin-mesin kekuasaan pengaman politik monopolistik.
Obsesi GBHN juga ditopang oleh kesan permukaan perihal sukses Orde Baru dan melupakan deretan hasil celakanya. Orde Baru tampak sukses dari 1966 hingga 1996 tak lain karena konvergensi antara hasil persekusi politik besar-besaran plus boom minyak bumi serta pengelolaan berkelanjutan atas bantuan kelompok donor IGGI. Dari kesan permukaan itulah dibaca pelbagai prestasi Orde Baru, seperti stabilitas pemerintahan, peningkatan pendapatan per kapita, swasembada beras, perbaikan layanan kesehatan, kesempatan pendidikan, kesuksesan program transmigrasi dan Keluarga Berencana, penurunan angka pengangguran, dan seterusnya.
Tetapi praktis semua itu tertelan habis, muspra, atau runtuh bak bangunan kertas, sebagai facade –dan sungguh akhirnya tak lebih dari fatamorgana. Katalis utama kehancuran Orde Baru adalah pembalikan luar biasa parah dari pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen/tahun hingga 1997 menjadi pertumbuhan negatif sekitar 13 persen dari 1998. Inilah yang menelan semua prestasi permukaan itu. Tetapi penyebab utamanya tetap sistem otoriter itu sendiri lantaran menafikan prinsip checks and balances. Dengan itulah Orde Baru menumpuk aneka laku sesat dan zalim, menyimpang dari rasionalitas pemerintahan demokratis sehingga lambat tapi pasti menjadi bom waktu penghancur dirinya sendiri.
Rangkaian kebobrokan Orde Baru yang ber-GBHN itu mustahil disembunyikan. Di ambang dan di sepanjang Orde Baru berlaku masif genosida dan pelanggaran HAM, perampasan hak-hak sipil, penafian prinsip kedaulatan rakyat, dan diskriminasi budaya terhadap masyarakat Tionghoa. Begitu pula peruakan diskriminasi ekonomi/politik atas aneka lapisan dan kelompok saudara sebangsa di luar lingkaran kekuasaan Soeharto plus praktik KKN tak bertara dalam sejarah nasional/nternasional. Itu belum semua.
Orde Baru yang ber-GBHN itulah yang kembali menggalakkan ketimpangan ekonomi lintas komunal/sektoral di Tanah Air, sedemikian rupa sehingga praktis mengulang dan kian memperkokoh ketimpangan warisan Hindia Belanda. Kita tahu Orde Baru memang terang-terangan meneruskan praksis politik dan ekonomi Hindia Belanda. DPR/MPR Orde Baru adalah reinkarnasi Volksraad. Kebijakan ekonominya selalu tersimpul menguntungkan sektor modern/kota atas kerugian sektor tradisional/desa.
Di bawah retorika GBHN di sepanjang Orde Baru inilah berlaku akselerasi ketimpangan ekonomi di tengah-tengah bangsa kita. Di sinilah “keluarga Cendana” dan para kroni ekonomi Soeharto, yang didominasi para pelaku bisnis China, memperoleh aneka lisensi, fasilitas, dan monopoli untuk secara tak adil menggaruk keuntungan sebesar-besarnya di atas pemiskinan mayoritas rakyat di sektor-sektor tradisional. Di situlah terjadi pengambil-alihan aset-aset ekonomi rakyat secara luar biasa. Itu semua berlaku di bawah panji-panji GBHN dan Repelita.
Sebuah perbandingan angka dari masa kolonial mutakhir dan masa puncak Orde Baru akan sangat menyingkap masalah. Sumitro Djojohadikusumo menyatakan, pada 1936, sekitar 98 persen populasi memperoleh 20 persen pendapatan nasional. Dunia bisnis China, dengan porsi populasi kurang dari 2 persen, memperoleh 20 persen. Selebihnya, warga Eropa, yang mendekati 0,5 persen populasi, meraup 60 persen pendapatan nasional (Sritua Arief, Prisma, Februari 1991).
Bandingkan ini dengan angka-angka Didiek J Rachbini yang pada 1993 mengkalkulasi pembagian kue nasional itu sebagai berikut: 1 persen populasi menggaruk 80 persen pendapatan nasional dan 99 persen sisanya hanya memperoleh 20 persen. Hadapkan kenyataan ini dengan antara lain dengan isi Laporan Bank Dunia pada 2016, “Indonesia’s Rising Divide.”
Berhadapan dengan deretan fakta getir ini, apa yang diangkat Yudi Latif (Kompas, 22/8) sebagai “original intent” GBHN, yaitu sebagai “prinsip-prinsip direktif”, sulit untuk tak disebut sebagai lebih isapan jempol. Rangkaian agenda Repelita I-V di bawah GBHN itu jatuh-jatuhnya tak lebih dari topeng atau aling-aling bagi konsistensi pengkhianatan atas sila kedua hingga sila kelima Pancasila.
Masalah kedua, kembali mengamendemen UUD setelah empat kali amendemen sangat mungkin membuka Kotak Pandora liar dalam arti khusus. Harus diperhitungkan, lantaran itu didasari idee fixe lepas realitas, sungguh besar kemungkinan amendemen kelima, jika terlaksana, akan segera memicu tuntutan masyarakat yang bisa jauh lebih besar untuk kembali membatalkannya. Provisi amendemen jadinya terperangkap dalam lingkaran setan antagonisme atau kontestasi politik, suatu kalabendu politik yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kita tahu, demi irasionalitas sekalipun upaya amendemen kelima menghendaki komitmen koalisi yang konsisten dari setiap partai pendukung. Tanpa itu, hampir mustahil amendemen bisa tercapai. Kalau pun tercapai, usianya takkan lebih seumur jagung mengingat realitas miopia dan fragmentarisme parpol kita. Integritas kepartaian di era Reformasi terus merosot. Dan disayangkan, PDI-P, satu-satunya partai yang mengeksplisitkan demokrasi sebagai “perjuangan”, justru tampil paling gigih memperjuangkan kembalinya MPR ber-GBHN yang kiprahnya sulit dipisahkan dari kumulasi dua rezim otoriter.
Masalah ketiga, bagaimana menjelaskan kehendak amendemen kelima yang dilihat sebagai panasea dari tantangan-tantangan politik yang kita hadapi di sepanjang dua dekade Reformasi. Tantangan politik yang paling kerap diangkat oleh para penganjur amandemen demi GBHN ialah tiadanya kesinambungan dalam rangkaian agenda pembangunan bangsa kita, termasuk tiadanya koherensi agenda pembangunan antar sektor ekonomi, lintas daerah, antara pemerintah pusat dan daerah. Termasuk perilaku korupsi yang terus merajalela meski KPK jatuh bangun memberantasnya.
Di sini, kita perlu melakukan otokritik keras kepada kolektivitas politik kita, yaitu kebiasaan dan kemudahan melarikan diri dan/atau beralih pada solusi-solusi ad hoc secara yang menggampangkan masalah lantaran tak cukup fokus dan gigih menyelesaikan masalah-masalah konkret di depan mata. Dari rumusan ringkas permasalahan ini sudah terbaca, yang paling dibutuhkan bangsa kita bukanlah haluan-haluan besar yang sebetulnya sudah bisa diatasi dengan mengefektifkan atau mengoptimalkan RPJP-RPJM yang memang dirancang sebagai pengganti GBHN. Adalah meleset dan sudah pasti bersifat eskapis bahwa suatu himpunan garis-garis besar haluan negara diganti atau diperbaiki lagi-lagi dengan himpunan semacamnya.
Yang kita butuhkan kapan pun tak lain adalah kesiapan tekun menghadapi pelbagai masalah serta mengoreksi secara radikal setiap solusi rinci yang palsu atau menipu —bukan dengan abrakadabra solusi-solusi duplikatif. Ingat: “The devil is in the details” (Para setan bergayut pada kerincian). Maka inkoherensi pembangunan dalam pelbagai fasetnya haruslah disikapi dengan penajaman, pengayaan, dan kesigapan daya kontrol perundang-undangan disertai ketegaran penerapannya –penegakan prinsip supremasi hukum yang mampu mengantisipasi masalah secara komprehensif dan ditopang dengan, sekali lagi, langkah-langkah koreksi mendasar.
Dalam perumusan masalah demikian, bisa dikatakan obsesi GBHN juga eskapisme dari ketakmampuan parlemen dan lembaga-lembaga penegakan hukum kita untuk menyusun, mengesahkan, dan melaksanakan UU. Kumulasi kerancuan pemerintahan kita mustahil diatasi jika kerja legislasi DPR kian berjalan bagai siput. Korupsi yang merajalela juga mustahil diatasi dengan praktik-praktik berdampak berbalikan (baca: menggalakkan korupsi di atas tiap laku korupsi) lintas lembaga penegak hukum.
Politik regresif
Terakhir, bermimpi berpolitik progresif dengan GBHN sulit untuk tak berarti membuka pintu selebar-lebarnya bagi kiprah politik regresif. Sudah kita jabarkan betapa lepas realitas dan betapa menipu obsesi GBHN itu. Kembali menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan mengancam prinsip checks and balances dan/atau prinsip kesetaraan serta rasionalitas antar-ketiga cabang pemerintahan. Seperti diutarakan oleh Zainal Arifin Mochtar (“Fenomena Bola Salju …”, Kompas, 28/8), ia bahkan bisa mengancam supremasi Konstitusi itu sendiri. Kita semua wajib mewaspadai kemungkinan penyia-nyiaan masif dari rangkaian lembaga penopang demokrasi dan/atau segenap prestasi positif maupun peluang dan modal politik bangsa kita —berkah besar Reformasi di sepanjang dua puluh tahun terakhir.
Mari menilik satu lagi kritik cinta Geertz pada Indonesia sehubungan dengan obsesi GBHN itu: “Ini adalah negeri dengan sederet langkah awal keliru dan koreksi terburu-buru, yang amat merindukan suatu sistem politik yang gambarannya, ibarat fatamorgana, kian menjauh begitu ia kian didekati. Slogan penyelamat dari semua frustrasi ini adalah, ‘Revolusi belum selesai.’ Dan memang begitulah jadinya. Tetapi itu semata karena tak seorang pun yang tahu, juga mereka yang berteriak paling tahu, bagaimana menyelesaikan persoalan.” (Geertz, “After the Revolution: The Fate of Nationalism in New States” dalam Barber dan Inkeles, ed., Stability and Social Change, 1971, terj. MP).
Dan mari belajar bersyukur. Figur Joko Widodo adalah rahmat besar bagi bangsa kita. Begitu pula Tri Risma Harini, Khofifah Indar Parawansa, Nurdin Abdullah, dan berpuluh lainnya di deretan jenjang-jenjang kepala pemerintahan. Masih di dalam berkah kesetaraan alam demokrasi, ada beratus hingga berpuluh ribu, bahkan berjuta sosok Indonesia lain, yang berkiprah sarat bakti baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Pasti kita tak menginginkan amendemen yang menyia-nyiakan kebangkitan barisan pemimpin terpuji hasil proses demokratis dan/atau pemilu langsung di pusat maupun di daerah plus segenap dampak positifnya.
Merekalah penangkal signifikan dari pelbagai perilaku buruk dalam kepartaian, pemerintahan, di dunia bisnis, di ranah hukum, dan di segenap kalangan bangsa kita. Walau masih ditandai sejumlah kekurangan (yang pasti bisa diperbaiki), kita mensyukuri kehadiran Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya. Paling atas, kita mensyukuri gairah bangsa kita, terutama kalangan muda, untuk berlomba “fair” mengejar pelbagai prestasi maupun jabatan dalam gelanggang kebajikan publik. Tak sedikit figur teladan telah tampil membawakan angin segar.
Di alam demokrasi, mereka telah berjuang untuk menduduki dan melaksanakan rangkaian posisi tanggung-jawab di tengah kompleksitas tantangan kehidupan atas dasar kemampuan, integritas, dan rekam jejak terpuji dalam kehidupan kita bernegara-bangsa. Pada mereka semua telah tercipta lapis-lapis kepemimpinan yang tercerahkan dan berketeladanan—berprestasi nyata, konstruktif, dan progresif. Memang masih amat banyak yang harus dikerjakan. Tetapi prestasi-prestasi yang telah mereka capai demi bangsa kita pastilah bukan fatamorgana.
(Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI 2000-2010)