Lapangan Merah, suatu hari di bulan Desember 1993. Ketika itu, salju leluasa turun di Moskwa.  Dingin dan basah. Ibu kota Rusia itu seketika pucat. Tak tertinggal sedikitpun kegarangannya, sebagai salah satu negara yang pernah disebut adikuasa.
Lapangan Merah juga tak lagi merah. Putih. Beku. Kepingan-kepingan kecil warna putih itu angkuh menjatuhi seluruh permukaan Moskwa: genteng-genteng, bangunan-bangunan, tanah, plaza, sungai, mobil, dan semuanya. Semuanya!
Bersama Aleksander Kiryl, pemuda usia 28 tahunan, yang secara khusus belajar bahasa Indonesia, kami mengunjungi mausoleum di Lapangan Merah. Di tempat itu, jenazah Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin dibaringkan. Lenin meninggal pada 24 Januari 1924. Dialah pendiri Uni Soviet, yang bubar pada 1991, setelah mengarungi zaman sejak Revolusi Bolsevhik, Oktober 1917.
Jenazah orang yang pernah mengguncang dunia itu terbaring dalam peti kaca di mausoleum. Meski tubuh pendek—untuk ukuran Eropa—165 cm itu tampak utuh, bahkan wajahnya bersih menyerupai manekin, kepala jenazah itu sudah kosong. Otaknya sudah diambil.
Pengambilan otak Lenin adalah atas ide Menteri Kesehatan (waktu itu) Nikolai Semashko dan asisten pribadi Stalin, Ivan Tovstukha. Otak Lenin akan dibawa ke Berlin untuk dipelajari guna mengetahui kegeniusan Lenin. Mereka akan meminta Prof Oskar Vogt, ahli saraf dari Institute Kaisar Wilhelm di Berlin untuk memerika di laboratoriumnya (Paul Gregory: 2007).
Stalin, pengganti Lenin menyetujui usul itu. Bagi Lenin, lebih baik yang menilai ”Lenin itu genius atau dungu adalah orang luar” bukan orang Rusia. Namun, ide itu tak terlaksana karena Vogt keburu dipecat Hitler. Namun, otak Lenin tetap diambil dan diteliti, tetapi tidak di bawah Vogt.
Menurut penelitian, Lenin orang genius. Namun, kegeniusannya tak mampu menyelamatkan dunia, tetapi justru sebaliknya. Lewat sosialisme komunismenya—menurut istilah Franz Magnis-Suseno—Uni Soviet menjadi penjara terbesar di dunia. Begitu banyak nyawa melayang percuma di negeri itu.
Kegeniusannya itulah yang berhasil mengobarkan Revolusi 1917; menggulung pemerintahan Tsar Nikolas II, meratakan seluruh tatanan masyarakat lama di Rusia. Mereka menghapus pemilikan pribadi atas semua bank dan usaha produktif dan menutup semua pasar. Mereka membangun suatu masyarakat yang sama sekali baru, dengan tangan besi. Mereka tidak menghitung korban yang jatuh. Segala perlawanan ditumpas habis. Banyak tahanan dan sandera ditembak mati (Franz Magnis-Suseno: 2005).
Semua itu berhasil karena memprovokasi, mengagitasi, jutaan petani untuk melawan penguasa. Tak mungkin para petani bergerak kalau tidak ada motornya yang melek politik, sekaligus menggenggam nafsu kekuasaan yang menderu-deru. Kecerdikan penghasut sekaligus kelicikan elite politik memanfaatkan kekuatan petani, mengobarkan revolusi. Akan tetapi, para petani itu akhirnya dibunuh karena melawan tanah mereka diambil paksa. Ratusan ribu petani tewas.
Para petani, rakyat kecil menjadi korban agitasi kaum penghasut yang dikomandani Lenin. Dialah agitator ulung. Agitator adalah orang yang mendesak, menghasut orang lain untuk melakukan protes, memberontak, melakukan pemogokan (Babylon English). Kata agitator, yang dalam bahasa Latin berarti ”sais” atau ”penggiring”; jadi menggiring opini masyarakat. Akar kata ”agitator” adalah agitare, yang antara lain berarti menghasut, mengganggu, mengolok-olok, menyindir, mengacau, dan mencaci maki.
Padanan kata agitator adalah demagog. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerjemahkan demagog sebagai penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Demagog adalah istilah politik yang berasal dari dari bahasa Yunani demos yang bermakna ”rakyat” dan agogos yang bermakna ”pimpinan” dalam arti negatif, yaitu pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.
Dalam rumusan lain (Haryatmoko: 2003), demagog adalah orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Seorang demagog akan meyakinkan kepada pendengarnya bahwa ia berpikir dan merasakan seperti mereka. Ia tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat pendengarnya.
Maka, demagogi mengandalkan kelenturan wacana. Kelenturan ini dibangun melalui khazanah politik yang ambigu supaya kata yang sama bisa ditafsirkan sesuai dengan harapan pendengarnya. Demagogi—wacana politik untuk tujuan ”mengobok-obok”, memancing dan mengeksploitasi hasrat serta perasaan massa—dalam rupa kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi. Dengan kata yang lebih tegas bisa dikatakan, demagogi adalah wacana manipulatif dan penuh kebencian.
Mekanisme yang biasa digunakan para demagog untuk menggalang dukungan adalah, pertama, mencari kambing hitam atas segala masalah sehingga kebencian terhadap suatu kelompok tertentu ditumbuhkan, dipelihara, bahkan diperdahsyat identitasnya. Kedua, argumen yang menjadi senjata dalam demagog biasanya ad hominem (menyerang pribadi orang) dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian. Dan, ketiga, seorang demagog lihai membuat skematisasi dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan.
Demagogi ini akan sangat berbahaya kalau media—baik utama maupun sosial—menelan mentah-mentah yang dimuntahkan oleh kaum demagog; atau malah bisa digunakan, diperalat oleh mereka. Akibatnya, wacana kebencian terhadap pihak-pihak tertentu, misalnya, akan mudah tersebar dan diterima dengan tanpa prasangka oleh masyarakat yang kurang pengetahuan, masyarakat sederhana. Akan tetapi, sekarang bahkan diterima juga oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai golongan intelektual, golongan tercerahkan.
Belakangan ini, kita saksikan banyak politisi, elite politik, elite masyarakat yang menjelma menjadi demagog. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Mereka bisa menunjukkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam. Bahkan juga memerankan diri  sebagai ”ahli” agama untuk kepentingan politiknya.
Memang, ”dunia ini panggung sandiwara”, begitu rocker Achmad Albar. Lagu ini mengajak para pendengarnya untuk tidak terus hidup dalam kepalsuan di dunia yang mudah berubah. Sebenarnya, anggapan bahwa dunia itu panggung sandiwara sudah ada sejak lama, sampai William Shakespeare lewat Jaques memperkenalkannya kembali dalam komedi pastoral, As You Like It (1599).
Di panggung itulah kaum agitator dan demagog memainkan perannya, bermain sandiwara seperti yang dikatakan oleh Jaques: All the world’s a stage, and all the men and women merely players: they have their exits and their entrances….
Dan, akhirnya silakan mengambil peran sendiri-sendiri para agitator bin demagog, sesuai dengan kepentingannya, entah sendiri atau kepentingan sang sutradara. ”Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng,” begitu  menurut Paulus.***